Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Kekisruhan panas di media sosial yang terjadi belum lama berselang antara dua musikus kenamaan Indonesia, Via Vallen dan I Gede Ari Astina atau lebih dikenal dengan Jerinx Supermen Is Dead (SID), dapat dikategorikan terjadi dalam konteks pengenaan hak cipta. Meskipun Via Vallen dalam klarifikasi singkat yang dipublikasikannya lewat akun instagram menyatakan tidak pernah mencairkan satu rupiah pun dari pemasukan di Youtube dan tidak pernah menjual VCD atas lagu-lagu orang yang di-cover-nya, tentu persoalannya tidak sesederhana itu.
Kegiatan menyanyi Via Vallen dari panggung ke panggung pun dengan menyanyikan karya Jerinx Supermen Is Dead atau karya orang lain, yang mana konser yang diisi oleh Via itu memungut bayaran, maka itu termasuk dalam penggunaan hak ekonomi dalam karya cipta seseorang.
Menyanyikan ulang karya orang lain pada prinsipnya mesti dipilah antara dengan tujuan komersial dan yang tidak. Maksud komersil disini adalah melakukan pembacaan, penyiaran atau pameran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain, dan lantas yang bersangkutan mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaan orang lain tersebut.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, disebutkan bahwa mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan adalah hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta. Sehingga, setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi seorang pencipta wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta tersebut. Pelanggaran atas kewajiban itu dapat berakibat pada penjatuhan sanksi seperti yang tercantum pada Bab XVII tentang Ketentuan Pidana dalam UU Hak Cipta.
UU Hak Cipta tidak mengenal pengecualian meski terhadap pengamen sekalipun. Namun tentu saja dalam penerapannya tidak sekejam itu. Musikus ternama barangkali enggan menggugat pengamen jalanan yang cuma kecipratan rezeki kecil-kecilan dengan menyanyikan lagu yang bukan ciptaannya.
Kedua, barangkali tidak ada lembaga yang mampu untuk menertibkan seluruh pengamen di Tanah Air, yang jumlahnya tak terhitung, menggunakan lagu yang bukan ciptaanya untuk mengamen.
Akan tetapi, sebagai penyanyi yang sudah naik daun dan tentu dengan bayaran yang tidak kecil lagi, manajemen Via Vallen mesti berhati-hati menggunakan karya orang lain. Adalah suatu hal yang wajar, dalam dunia industri musik yang kompetitif ini, orang yang telah menciptakan suatu karya ingin menikmati hasil jerih payahnya itu.
Lisensi pemegang hak cipta
Penghargaan terhadap kreativitas itu penting untuk menghidupkan semangat para seniman untuk berkarya. Bayangkan bila seseorang pencipta suatu karya malah lebih kurang dihargai daripada orang lain yang mereplikasi karyanya. Hal tersebut tidak sehat untuk industri kreatif.
Berbeda kasus apabila penggunaan hak cipta orang lain tersebut bukan untuk komersial dan digunakan untuk pementasan yang tidak dipungut bayaran sehingga merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Lebih rincinya ada dalam Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014. Bahwa penggunaan suatu ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika digunakan untuk keperluan pendidikan, penyelenggaraan pemerintahan, ceramah, dan keperluan pementasan yang tidak dipungut bayaran. Dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak cipta asalkan sumbernya itu disebutkan.
Ketentuan dalam hukum hak cipta bukan berarti menegasikan kesempatan setiap orang untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan menggunakan karya ciptaan seseorang.
Agar tidak melanggar hak cipta orang lain, untuk mereproduksi, merekam, mendistribusikan dan atau mengumumkan sebuah lagu milik orang lain, terutama untuk tujuan komersial, seseorang perlu memperoleh lisensi dari pencipta atau pemegang hak cipta. Di antaranya adalah lisensi atas hak mekanikal (mechanical rights), dan hak mengumumkan (performing rights).
Yang pertama ialah hak untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang) dan merekam sebuah komposisi musik/lagu pada CD, kaset rekaman dan media rekam lainnya. Kemudian yang kedua, merupakan hak untuk mengumumkan sebuah lagu/komposisi musik, termasuk menyanyikan, memainkan, baik berupa rekaman atau pertunjukan secara live (langsung). Baik itu melalui jalur radio dan televisi, termasuk melalui media lainnya seperti misalnya internet, konser secara langsung serta layanan-layanan musik terprogram.
Royalti atas hak mekanikal yang diterima dibayarkan oleh pihak yang mereproduksi atau merekam langsung kepada pemegang hak (biasanya perusahaan penerbit musik (publisher) yang mewakili komposer/pencipta lagu).
Untuk penggunaan tersebut di atas dapat juga dilaksanakan tanpa meminta izin langsung ke pencipta tetapi melalui Lembaga Manajemen Kolektif yang mana pemegang hak cipta yang hendak digunakan karyanya menjadi anggota. Lembaga Manajemen Kolektif itu menjadi sarana atau agen penagih atau tempat membayar dan kemudian menyalurkan royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
Saat ini ada sembilan Lembaga Manajemen Kolektif yang telah mengantongi izin operasional dari Kementerian Hukum dan HAM. Kesembilan Lembaga Manajemen Kolektif tersebut diantaranya adalah Royalti Anugrah Indonesia (RAI), Karya Cipta Indonesia (KCI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), Persatuan Artis Pemusik Indonesia (PAPRI), Artis Dangdut Indonesua (ARDI), Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI), Armondo, dan Starmusic.
Nah, lembaga-lembaga di atas itulah yang bakal mempermudah setiap pengguna karya cipta orang lain untuk bisa memperoleh legalitas dalam meraup keuntungan ekonomi.•
Marlis Kwan
Analis Fair Business for Environment dan Alumnus UNSW, Sydney
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News