kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kelangsungan usaha pascabencana


Jumat, 04 Januari 2019 / 14:55 WIB
Kelangsungan usaha pascabencana


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Sejumlah peristiwa bencana alam Tanah Air perlu juga dibaca sebagai urgensi peningkatan resiliensi atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam kondisi dan situasi sulit. Khususnya bagi sebuah perusahaan dalam menghadapi risiko operasional mereka. Dari sudut pandang yang lain, hal ini dilihat sebagai kemampuan dari sebuah perusahaan untuk segera bangkit, dari dampak bencana akan membantu pemulihan pascabencana di wilayah tersebut.

Ketika suatu perusahaan lumpuh diterjang bencana, sebagaimana tsunami Selat Sunda, atau gempa bumi yang disusul dengan likuifaksi di Palu Sulawesi Tengah yang terjadi sebelumnya, yang dihadapi oleh perusahaan bukan saja kerusakan aset (bangunan, peralatan kantor, mobil, dll). Bukan juga hilangnya sumber daya manusia akibat kematian atau cedera berat. Namun, perusahaan juga mengalami kerugian akibat lumpuhnya wilayah tempat mereka bekerja dan beroperasi, baik dalam sosial, ekonomi dan pemerintahan akibat bencana.

Sebagaimana dikutip Eric Krell dalam bukunya Business Continuity Management (2006), riset University of Minnesota menemukan, sekitar 90% perusahaan yang tidak dapat bangkit setelah 10 hari mengalami kerusakan critical system akibat bencana, karena mereka mengalami kebangkrutan setelah diterpa bencana.

Studi lain menemukan, 90% organisasi yang mengalami kehilangan data dan peralatan yang sangat parah akibat bencana sehingga mereka tidak memiliki rencana kelanjutan usaha atau business continuity plan yang disingkat dengan BCP, usianya hanya bertahan 24 bulan kemudian setelah terjadinya bencana.

Karena itu, mengingat negeri kita berada di daerah cincin Api yang rawan bencana, manajemen kelanjutan usaha atau business continuity management (BCM) sebagai bagian dari manajemen risiko menjadi keharusan untuk dimiliki oleh dunia usaha Indonesia. BCM tidak saja berfungsi untuk memitigasi bencana dan dampak bencana, namun yang lebih penting adalah BCM membangun kesiapan dan kapabilitas perusahaan dalam menghadapi bencana alam. Dengan BCM bisa memandu perusahaan mulai dari antisipasi dan mitigasi risiko bencana, penanganan tanggap darurat, dan rekonstruksi serta pemulihan operasi pasca bencana.

BCM harus dikembangkan bukan sekadar bermotivasi kepatuhan, melainkan menjadi keunggulan daya saing perusahaan. Dengan BCM perusahaan dapat melakukan analisis dampak bencana yang lebih terukur dan menemukan inefisiensi dalam proses antisipasi dan mitigasi bencana, bahkan dalam proses bisnis secara umum.

Implementasi BCM juga memberi kepastian kelanjutan operasional yang memberi ketenangan kepada pelanggan. Mempertahankan pelanggan memang tidak mudah, namun jauh lebih murah dibandingkan dengan mencari pelanggan baru. Dengan kepastian operasi pascabencana, kemungkinan hilangnya pelanggan dapat ditekan.

Lebih jauh lagi, kelanjutan usaha pasca bencana yang terkelola dengan baik akan meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan serta kepercayaan dan moral pegawai yang tentu juga terdampak oleh bencana tersebut.

Membangun kapabilitas

Setelah memahami bahwa pengelolaan kelanjutan usaha merupakan kapabilitas yang harus dibangun di dalam perusahaan, pertanyaan selanjutnya adalah, dari mana kita memulainya?

Dalam tulisan ini saya mengajukan dua faktor kunci pengembangan dan penerapan BCM. Pertama, membuat perencanaan yang baik.

BCM sejatinya merupakan post-event activity. Ini yang membedakan dengan manajemen risiko yang bersifat preventif atau pre-event activity. Namun demikian, keandalan dalam perencanaan, termasuk rencana pengembangan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan BCM tetap penting.

Jabaran pertama BCM tertuang dalam Business Continuity Plan (BCP) yang menyangkut penilaian situasi (assessment), penentuan tujuan, identifikasi, cara melakukan analisis dampak dan ukuran-ukurannya, strategi tanggap darurat, serta pemantauan, pengujian dan pengembang aspek-aspek di dalam rencana tersebut secara berkelanjutan. Pada prinsipnya, gagal dalam perencanaan adalah rencana untuk kegagalan.

Kedua, faktor kepemimpinan atau "tone at the top". Memiliki pedoman BCM dan infrastruktur pendukungnya baru merupakan tahap hard side yang bersifat elementer atau mendasar.

Internalisasi BCM dalam proses bisnis akan berfungsi optimal tatkala perusahaan telah melengkapinya dengan soft side, yaitu budaya di perusahaan. Faktor inilah yang menentukan dan membentuk BCM tidak hanya menjadi sebuah kumpulan dokumen dan perangkat lunak saja. Yang utama dan akan menyelamatkan perusahaan adalah kesadaran pada semua lini mulai dari pucuk pimpinan hingga unit pendukung terkecil tentang pentingnya menjalankan BCM.

Kesadaran itu harus dimulai dari manajemen puncak. Kesadaran harus tampak dari komitmen manajemen untuk terus mengembangkan kapabilitas perusahaan.

Dari komitmen manajemen puncak itulah akan terjadi perubahan dan transformasi dari budaya mengabaikan bencana, menjadi budaya sadar bencana. Hal ini bisa mendorong sikap antisipatif dan responsif terhadap bencana mungkin akan bergulir. Komitmen kuat itu pastinya harus dilengkapi dengan arahan yang jelas (clear direction) serta keteladanan.

Selanjutnya untuk mengukur resiliensi suatu perusahaan secara sederhana dapat dilihat dari proses pemulihan pascabencana. Misalnya, berapa hari setelah bencana dengan magnitudo dan dampak kerusakan tertentu, sebuah perusahaan dapat kembali beroperasi?

Apalagi bagi perusahaan di sektor strategis seperti penyedia tenaga dan jaringan listrik, penyedia distribusi bahan bakar minyak, layanan perbankan, atau telekomunikasi. Perusahaan seperti ini perlu memiliki matriks target beroperasi kembali disandingkan dengan tingkat kerusakan akibat bencana. Dari matriks itu, akan tampak apa saja sumber daya yang harus disiapkan dan mengerahkan sumberdaya tersebut agar target itu tercapai.

Ketika perusahaan mampu segera bangkit pasca dari bencana, ia tidak hanya menjaga kinerja dan reputasinya sendiri, melainkan juga telah membantu pemerintah dan masyarakat luas. Menapaki tahun 2019 tentunya kita harus memulai dengan optimisme yang disandarkan pada prinsip, "hope for the best, prepare for the worst". (Tulisan ini merupakan pendapat pribadi). •

Kun Wahyu Wardana
Kepala Divisi Manajemen Risiko PT Jasa Raharja 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×