kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kelas menengah dan perpajakan Indonesia


Kamis, 30 Mei 2019 / 09:05 WIB
Kelas menengah dan perpajakan Indonesia


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Memasuki pertengahan kedua bulan Ramadan, kondisi di Tanah Air lebih terasa religius dibandingkan dengan situasi politik akhir-akhir ini. Masalah keagamaan (religiusitas) sangat penting bagi penduduk di Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin.

Berdasarkan hasil survei Pew Research Center, Indonesia ternyata termasuk salah satu bangsa yang memiliki religiusitas sangat tinggi, sekitar 93% dari penduduk meyakini hal tersebut. Kondisi ini rupanya tidak terjadi di benua Eropa, Amerika Utara, Asia Timur, atau Australia.

Dapat disimpulkan bahwa rata-rata penghasilan penduduk berkorelasi negatif dengan tingkat religiusitas suatu negara. Semakin tinggi penghasilannya akan semakin tidak religius.

Selama kurun waktu dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai kestabilan dan relatif tinggi. Efeknya adalah telah mendongkrak pendapatan per kapita yang mencapai US$ 3.927 atau sekitar Rp 56 juta per tahun pada 2018.

Jumlah kelas menengah di Indonesia juga terus bertambah. Diproyeksi pada 2021 nanti jumlah kelas menengah bisa tembus 45 juta penduduk dan meningkat dua kali lipat menjadi 85 juta penduduk di tahun berikutnya. Pertambahan kelas menengah ini, sejatinya bisa membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesejahteraan.

Saat ini, setidaknya 52 juta orang masuk kelas menengah yang punya kontribusi sekitar 43% dari total konsumsi rumah tangga. Kelas menengah yang lebih besar bisa membantu mempercepat pertumbuhan konsumsi.

Kelas menengah juga dapat menjadi pendukung kuat tata kelola yang lebih baik dan memberi pendapatan lewat pajak. Ini diperlukan sebagai sarana menyediakan layanan umum seperti infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, serta memulai usaha yang menciptakan lapangan kerja.

Sayangnya, terkait dengan penerimaan pajak dari kelas menengah (dikategorikan sebagai pengusaha dan pekerjaan bebas) satu dekade terakhir menunjukkan stagnasi. Pada 2006 kontribusinya mencapai Rp 1,8 triliun dan meningkat menjadi Rp 7,4 triliun pada tahun 2017.

Tingkat partisipasi wajib pajak kategori ini dalam pembayaran pajak juga terhitung sangat kecil dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak. Pelaksanaan program pengampunan pajak pun hanya mampu menarik minat dan kesadaran 400.000 Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Pajak dalam religiusitas

Tentu kebanyakan dari kelas menengah ini adalah muslim dan mayoritas penduduk Indonesia juga muslim sehingga masa depan negara ini tergantung di tangan mereka. Kelas menengah memegang kunci untuk membuka potensi Indonesia dan seharusnya menjadi kunci stabilitas penerimaan pajak Indonesia di masa mendatang.

Namun, fenomena yang ada di tengah masyarakat tidak mendukung hal ini. Beberapa wacana, terutama dari figur pemimpin agama yang berpengaruh, masih beranggapan bahwa pajak masih dianggap bertentangan dengan fikih Islam. Pajak dianggap haram karena lebih mirip dhariibah yaitu suatu beban tambahan kepada masyarakat. Tidak ada dukungan yang berasal dari perspektif bahwa pajak merupakan solusi utama untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh umat.

Sebenarnya ajaran Islam juga mengajarkan perlunya distribusi kekayaan kepada mereka yang tidak mampu atau yang dikenal dengan zakat. Perintah zakat disebutkan tegas dalam Alquran sebanyak 30 kali dan 27 diantaranya bergandengan dengan salat. Hal ini mengisyaratkan bahwa menjadi seorang muslim tidak cukup hanya baik dari segi ibadah ritual, tetapi juga mampu menjalin hubungan sosial yang baik kepada sesama manusia.

Konsep pungutan dalam Alquran adalah dalam bentuk jizyah (QS Attaubah ayat 29). Menurut tafsir Imam Maliki, Sayyid Sabiq, Said Hawaa, Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Mawardi, jizyah lebih bermakna upeti yang dikenakan terhadap non-muslimin. Akan tetapi, kalau dilihat secara konteks, maka pungutan merupakan hal yang bisa dikenakan.

Konteks yang lebih moderat dapat dilihat dalam buku Shabbir Ahmed The Quran as it explain itself. Perintah salat dan zakat tidaklah bersifat ritual keagamaan semata, tetapi membentuk sistem (jalan) yang diridai Allah dan mewujudkan perekonomian zakat yang berkeadilan.

Selama ini, otoritas pajak bekerja sesuai dengan hukum positif sebagaimana disebutkan dalam pasal 23 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang." Pemungutan pajak di Indonesia seluruhnya melalui proses legislasi, mulai dari pemungutan, tata cara maupun jenis-jenis pajaknya.

Demokratisasi pajak di Indonesia mengikuti kesepakatan Magna Charta pada abad 13, yaitu "taxes are to be levied by common counsel" yaitu pajak tidak dipungut tanpa persetujuan dari rakyat melalui wakil-wakilnya. Proses pemungutan pajak saat ini jauh berkembang dibandingkan dengan periode Magna Charta atau awal-awal tahun masehi saat ajaran-ajaran agama diperkenalkan.

Hasil studi Torgler (2006) menunjukkan bahwa peningkatan religiusitas dan kualitas institusi (otoritas pajak) juga dapat meningkatkan tax morale para pembayar pajak, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak. Lagi-lagi hal itu tidak terjadi di Indonesia.

Tidak mudah memutuskan adanya dikotomi antara pendekatan religius dengan hukum positif di Indonesia. Apalagi, sumber daya manusia Direktorat Jenderal Pajak juga termasuk kelas menengah yang religius. Mereka memiliki keengganan ketika bersentuhan dengan hal sensitif tersebut.

Akibatnya, pemungutan pajak di Indonesia ke depannya masih lebih bertumpu kepada pembayaran yang dilakukan oleh entitas bisnis dan bukan kepada kelas menengah yang terus bertumbuh tersebut. Hal ini kurang menjamin sustainabilitas penerimaan pajak pada jangka waktu panjang. Apalagi konsep penghasilan di masa yang akan datang akan lebih bersifat profit sharing sehingga penghasilan akan langsung menuju ke orang pribadi, tanpa melewati entitas bisnis.

Untuk itu, sebaiknya pemerintah (atau DJP) sudah mulai membangun komunikasi dengan pemuka agama untuk mewujudkan pameo pajak untuk semua.♦

Benny Gunawan
Dosen Politeknik Keuangan STAN, Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×