Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Tri Adi
Telah tiba musim panen bagi pemilik dollar AS. Mereka menyerbu gerai-gerai penukaran valas, memetik untung gurih saat nilai tukar uang hijau itu menyentuh Rp 15.000 per dollar AS.
Tak heran wajah mereka berseri-seri begitu menenteng segepok rupiah. Taruhlah kurs rupiah anjlok 10% sejak awal tahun, mereka bisa meraup laba Rp 1,4 juta dari hasil penukaran US$ 1.000. Kalau buat belanja bawang, cabai, beras, sampai ayam pun dapatnya melimpah. Bisa pesta makan enak.
Bila pengeraman dollar beberapa lembar saja sudah lumayan, bisa dibayangkan laba yang digaruk para peternak dollar. Tentu dompet mereka kian tambun, nilai portofolionya menebal.
Begitu halnya para pengusaha yang mampu menembus pasar ekspor, sebutlah komoditas kelapa sawit, kakao, kopi, udang, hingga minyak, gas, mineral, batubara. Tentu berlimpah nilai devisa yang mereka himpun. Pabrikan yang kerap mengapalkan produknya ke pasaran ekspor juga gembira, karena jualan mereka bisa makin laku.
Bahkan, negara pun bertambah penerimaannya akibat pelemahan rupiah. Hitungan Menteri Keuangan, setiap pelemahan Rp 100 per dollar AS, penerimaan negara positif Rp 1,6 triliun. Menteri ESDM pun menghitung, surplus penerimaan migas semester I-2018 mencapai Rp 28 triliun. Sedangkan tambahan subsidi BBM (solar) sampai akhir tahun Rp 21,75 triliun. Jadi tertutup dan justru surplus.
Boleh jadi pemerintah dapat windfall profit dari pelemahan rupiah, tapi bagaimana dengan keseluruhan perekonomian Indonesia? Tak usah jauh-jauh, akibat pemerintah mempertahankan harga premium yang non-subsidi, Pertamina harus menderita: kempis isi brankasnya. Ditaksir tahun ini laba bersihnya cuma Rp 15 triliun. Padahal tahun lalu menyabet Rp 34 triliun. Celakanya, Pertamina lagi butuh dana investasi besar untuk ladang-ladang migas eks-terminasi dan ekspansi bisnis lainnya.
Banyak perusahaan yang kesulitan menghadapi kondisi saat ini. Apalagi yang telah menumpuk utang valas, mereka kelimpungan untuk bayar utang yang membesar karena dollar AS menguat. Para pengusaha besar maupun wirausahawan kecil yang mengandalkan bahan baku impor juga harus berakrobat agar usahanya tetap jalan.
Pemerintah sendiri pun, walau menggaet surplus, sebenarnya bertambah risiko lantaran beban utang membengkak. Hingga Juli lalu, utang pemerintah mencapai Rp 4.253 triliun atau meningkat 12,51% dibanding dengan periode sama setahun sebelumnya. Beban utang melonjak karena 42,42% utang itu utang valas yang sebagian besar berdenominasi dollar AS.
Jelas pemerintah kudu hati-hati betul mengelola utang pasca-pelemahan rupiah. Anggaran defisit, yang harus ditambal utang, malah melanggengkan praktik gali utang timbun utang. Yang gawat, kini Indonesia menderita quarto deficits: defisit anggaran, defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, plus defisit neraca pembayaran. Banyak investor asing minta repatriasi segera dividen mereka ke dollar AS. Dus, ada masalah krusial yang harus diperbaiki di fundamental ekonomi kita.
Pelemahan rupiah, faktanya, telah membuat lebih banyak orang buntung ketimbang segelintir yang untung. Ke depan, pemerintah harus lebih serius menargetkan tercapainya anggaran berimbang. Pemerintah juga harus konsisten memperketat impor, apalagi untuk yang sudah dapat dipenuhi oleh produksi sendiri. Dorong industrialisasi yang memproduksi substitusi impor, serta hilirisasi untuk membikin produk jadi yang bernilai tambah tinggi.
Dan, yang tak kalah penting, jangan obral izin investasi kalau cuma mengejar pasar Indonesia dan memakai bahan baku impor. Terima dengan tangan terbuka bila investasi itu berorientasi ekspor dengan tingkat kandungan dalam negeri tinggi. •
Ardian Taufik Gesuri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News