kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.953.000   -3.000   -0,15%
  • USD/IDR 16.555   0,00   0,00%
  • IDX 6.890   -36,55   -0,53%
  • KOMPAS100 999   -5,91   -0,59%
  • LQ45 772   -5,21   -0,67%
  • ISSI 220   -1,07   -0,48%
  • IDX30 400   -2,40   -0,59%
  • IDXHIDIV20 471   -4,62   -0,97%
  • IDX80 113   -0,69   -0,61%
  • IDXV30 115   -0,40   -0,35%
  • IDXQ30 130   -0,98   -0,75%

Kesamaan Aset Bank dan Risiko Sistemik


Selasa, 09 Februari 2021 / 07:28 WIB
Kesamaan Aset Bank dan Risiko Sistemik
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Saat ini pandemi Covid-19 telah memukul aktivitas utama perbankan dalam memberikan kredit kepada pelaku usaha. Kondisi ini terlihat dari laju penyaluran kredit yang menurun atau tumbuh negatif 2,41% secara tahunan (yoy) hingga Desember 2020. Terkontraksinya pertumbuhan kredit itu tidak lepas dari aktivitas sektor riil yang memang sedang melemah, terkonfirmasi dari pertumbuhan kredit modal kerja dan investasi yang masing-masing minus 4,31% (yoy) dan 0,85% (yoy).

Meskipun begitu, sebagai unit bisnis yang berorientasi profit, perbankan tetap harus menyalurkan kredit agar mampu bertahan hidup. Terlebih, korporasi dan masyarakat masih terus menempatkan dananya yang belum terpakai di bank. Bagaimanapun dana tersebut harus disalurkan agar tidak membebani bank.

Persoalannya, pilihan debitur yang dapat dibiayai bank saat ini relatif cukup terbatas. Pembiayaan bank tidak jauh-jauh dari perusahaan pelat merah, korporasi besar dan debitur eksisting yang telah lama dikenal bank.

Kelompok debitur ini memang dinilai memiliki profil risiko kredit yang relatif lebih rendah dan terkendali. Bahkan, seringkali debitur tersebut menjadi rebutan bank sehingga melambungkan daya tawar mereka. Sementara perilaku bank yang cenderung menghindari risiko (risk averse) kian menahan ekspansi kredit bank lebih dalam.

Sebagai alternatif penempatan dananya, bank lantas memborong Surat Berharga Negara (SBN). Risiko SBN yang rendah dengan imbas hasil yang lumayan tinggi menjadi pilihan masuk akal.

Kementerian Keuangan mencatat, hingga Desember 2020 kepemilikan bank atas SBN yang dapat diperdagangkan telah mencapai Rp 1.375,57 triliun, tumbuh 136,61 % atau Rp 794,20 triliun dibandingkan Desember 2019 yang mencapai Rp 581,37 triliun. Secara persentase, kepemilikan bank tersebut berada pada level 35,54%, melonjak ketimbang 2019 yang baru mencapai 21,12%.

Keterbatasan pilihan debitur dan beramai-ramai menanamkan dana bank dalam SBN tanpa disadari telah membuat aset bank memiliki kesamaan satu sama lain (common exposures). Dalam perspektif stabilitas sistem keuangan, fenomena kesamaan aset bank itu bisa mendorong munculnya risiko sistemik yang akan mengancam kestabilan sistem keuangan.

Pada kegiatan perkreditan misalnya, penyaluran kredit kepada debitur yang sama sebenarnya lazim dilakukan perbankan, tidak hanya dalam bentuk kredit sindikasi namun juga kredit bilateral namun dengan banyak bank. Sebagai contoh, berdasarkan laporan keuangan publikasi PLN, penyaluran kredit kepada perusahaan penyedia listrik terbesar itu secara konsolidasi hingga semester I-2020 mencapai Rp 222,40 triliun, antara lain berasal lebih dari 15 bank nasional.

Pada aspek pengawasan mikro-prudensial, penyaluran kredit seperti itu memang menguntungkan karena mendistribusikan risiko di antara bank penyalur (risk sharing). Namun dari perspektif pengawasan makroprudensial, kondisi itu membuat sejumlah bank terpapar risiko kredit dalam waktu yang bersamaan bila debitur yang dibiayai mengalami gagal bayar.

Begitu pula saat bank ramai-ramai membeli SBN sebagai alternatif penanaman dananya. Masalah akan muncul tatkala harga SBN menurun. Dan karena standar akuntansi yang berlaku umum mengatakan bahwa pencatatan harga SBN di neraca bank harus berdasarkan harga yang sedang berlaku saat itu (market price), maka banyak bank akan mengalami rugi pada kondisi semacam itu.

Kerugian akan semakin dalam, bila bank yang memiliki SBN yang karena kebutuhan likuiditas terpaksa harus menjual obral SBN nya (fire sale). Tindakan bank seperti ini akan menekan harga semakin dalam.

Beberapa tahun yang silam, Indonesia pernah mengalami kejadian seperti itu, dimana pasar SBN sempat terguncang hebat tatkala terjadi tapering off, tepatnya pada Mei 2013. Saat itu, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, berencana untuk mengakhiri program quantitave easing-nya.

Tindakan normalisasi kebijakan The Fed tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan taper tantrum kemudian dipersepsikan sebagai sinyal pemulihan ekonomi Amerika. Hal ini lantas mendorong investor asing beramai-ramai melikuidasi kepemilikan SBN mereka (sudden stop).

Harga SBN lantas merosot tajam. Dampaknya, pasar keuangan domestik bergejolak dan mengalami tekanan. Perbankan kita pun sempat menderita kerugian yang cukup besar.

Mitigasi risiko

Kendati berpotensi menimbulkan risiko sistemik yang dapat mengancam kestabilan sistem keuangan, namun sebenarnya potensi itu telah dimitigasi dengan baik. 

Pertama, modal bank saat ini cukup kuat untuk menyerap risiko, baik yang bersumber dari risiko gagal bayar maupun risiko penurunan harga SBN (risiko pasar). Pada 2020, OJK melaporkan rasio permodalan bank mencapai 23,78%, sedikit meningkat dari 2019 yang tercatat 23,31%.

Kedua, porsi domestik dalam kepemilikan SBN sudah cukup dominan. Menurut catatan Kementerian Keuangan, pada tahun lalu kepemilikan domestik telah meroket menjadi 74,84%, sedangkan pihak asing masih menggenggam sebanyak 25,16%.

Kepemilikan SBN oleh investor domestik ini meningkat dibandingkan dengan 2019 yang mencapai 61,43%. Sedangkan dominasi asing menyusut signifikan yang sebelumnya ada di level 38,57%.

Tingginya kepemilikan domestik juga ditopang dari penerbitan SBN ritel yang meningkat signifikan. Sebagai gambaran, penerbitan SBN ritel selama 2020 sebanyak Rp 76,81 triliun. Angka ini lebih besar daripada periode 2019 yang mencapai Rp 49,89 triliun. Tingginya penguasaan SBN oleh domestik membuat volatilitas pasar SBN menurun dan cenderung lebih resiliens terhadap gejolak, terutama bersumber dari faktor global.

Ketiga, Bank Indonesia selalu berada di pasar, menjaga volatilitas harga SBN melalui penerapan bauran kebijakan (policy mix) dengan menyerap SBN di pasar sekunder tatkala terjadi penjualan masif, terutama oleh investor asing. Peran krusial Bank Indonesia di SBN tersebut sejatinya merupakan bagian dari kebijakan triple intervention dalam menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya dan pasar keuangan yang dijalankan Bank Indonesia secara konsisten.

Selain saat kejadian taper tantrum Mei 2013, keterlibatan aktif di SBN juga ditunjukkan Bank Indonesia sepanjang periode Maret April 2020 tatkala terjadi gejolak global akibat pandemi Covid-19. Waktu itu, Bank Indonesia membeli SBN di pasar sekunder tidak kurang dari Rp 166,2 triliun.

Tidak kalah penting juga bahwa serangkaian langkah mitigasi risiko itu ada baiknya dibarengi dengan pembentukan cadangan sebagai antisipasi bila terjadi penurunan harga SBN secara drastis. Persis seperti cadangan kredit yang dialokasikan untuk mengantisipasi risiko kredit.

Penulis : Ardhienus

Asisten Direktur Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×