kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.159   41,00   0,25%
  • IDX 7.068   84,02   1,20%
  • KOMPAS100 1.055   14,87   1,43%
  • LQ45 830   12,78   1,56%
  • ISSI 214   1,72   0,81%
  • IDX30 423   6,78   1,63%
  • IDXHIDIV20 510   7,73   1,54%
  • IDX80 120   1,71   1,44%
  • IDXV30 125   0,57   0,46%
  • IDXQ30 141   1,92   1,38%

Keseimbangan Baru Pasar Properti


Kamis, 16 Juli 2020 / 11:43 WIB
Keseimbangan Baru Pasar Properti
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Selama beberapa tahun terakhir, sektor properti telah mengalami stagnasi pertumbuhan harga dan tingkat permintaan. Hal ini dapat dicermati sejak tahun 2018 ketika pertumbuhan harga properti residensial cenderung menurun. Tren yang sama ditunjukkan dengan sub sektor komersial properti seperti ruang kantor dan ritel yang menunjukkan stagnasi tingkat permintaan dalam beberapa tahun terakhir.

Terdapat dua hal utama yang menyebabkan penurunan harga dan stagnasi permintaan properti secara umum. Pertama, kecenderungan over supply akibat tingkat penawaran yang tidak disertai dengan pertumbuhan tingkat permintaan. Kedua, kenaikan harga yang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Belum mampu bangkit dari over-supply dan over-yield, pandemi Covid-19 semakin memperparah pasar properti di Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat tingkat penjualan properti residensial yang terkoreksi tajam pada kuartal I-2020 -30,52% (qtq), dengan price growth yang hanya sebesar 0,46% (qtq). Begitu juga sektor perkantoran yang tiba-tiba menjadi tidak berpenghuni, dengan proyeksi penurunan okupansi hingga -20%. Termasuk sektor perhotelan yang terpukul sangat keras mengingat pembatasan pariwisata, baik domestik maupun internasional. Hingga saat ini, okupansi hotel hanya berkisar 10-30%, baik hotel bisnis maupun hotel wisata.

Tidak hanya sektor perkantoran dan hotel, sektor ritel juga terdampak signifikan. Bahkan sebelum Covid-19 mewabah, sektor ritel sudah harus mengalami disrupsi serius akibat perkembangan online marketplace yang bahkan telah memaksa beberapa brand besar harus menutup gerai di beberapa shopping centre ternama. Tercatat selama tahun 2019, performa ritel di Jakarta dan sekitarnya menurun dengan tingkat okupansi yang stagnan sebesar 85%, sedangkan net absorption hanya sepertiga tingkat new supply.

Antara nilai dan harga

Pengeluaran yang sifatnya besar seperti pembelian properti adalah opsi ke sekian bagi kebanyakan orang saat ini karena lebih memilih menjaga uang cash untuk berjaga-jaga. Sementara itu, pengembang saat ini berusaha untuk meningkatkan likuiditas dengan melakukan pengurangan biaya secara signifikan di tengah lesunya tingkat penjualan untuk produk properti baik perumahan, ruang kantor, maupun pusat perbelanjaan. Efisiensi biaya adalah langkah yang saat ini banyak dilakukan oleh pelaku bisnis, termaksud pengembang. Mulai dari revisi budget tahunan, menerapkan cuti tidak dibayar hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerja.

Harus diakui, kondisi pasar properti Indonesia beberapa tahun ke belakang mencerminkan keadaan yang tidak sesuai antara keseimbangan harga dan nilai. Ekspektasi pasar yang berlebihan mengakibatkan ekspansi suplai yang terlampau agresif dan tidak diiringi dengan real demand serta peningkatan daya beli. Saat ini, posisi harga properti sudah jauh melebihi nilai ekonomisnya (over price).

Dalam konteks yang paling sederhana, nilai dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, berdasarkan manfaat yang diterima oleh pembeli. Kedua, berdasarkan biaya yang dibutuhkan untuk bisa memberikan manfaat tersebut oleh penjual. Seperti memotong dengan menggunakan gunting, terkadang sulit untuk mengetahui bagian atas atau bagian bawah gunting yang memotong kertas tersebut.

New normal atau kenormalan baru adalah kata yang saat ini sering terdengar di banyak kegiatan webinar dan workshop daring akhir-akhir ini, tidak terkecuali terhadap sektor properti. Sebagai sektor yang sangat berkaitan dengan ruang, maka sangat mungkin pemaknaan properti sebelum pandemi akan berbeda di masa yang akan datang.

Pandemi Covid-19 telah mengubah cara pandang seseorang untuk dapat melihat properti sebagai suatu produk, termaksud ekspektasinya terhadap manfaat yang dihasilkan. Bagi mereka yang terpenting saat ini adalah apakah mereka merasa aman dan terlindungi jika masuk ke suatu properti, apakah ruangan tersebut telah di disinfektan secara berkala, apakah liftnya masih menggunakan tombol fisik, dan pertanyaan lain yang berkaitan dengan protokol kesehatan.

Titik keseimbangan baru

Sesungguhnya krisis Covid-19 menghadirkan peluang bagi kita untuk berimajinasi ulang membayangkan tempat-tempat dan ruang-ruang baru sebagai satu produk yang dapat mencerminkan real value dalam paradigma kenormalan baru saat ini. Properti seperti apartemen, hotel, perkantoran, shopping center, bahkan lahan industri ke depan membutuhkan format baru dan perlu dilakukan perubahan.

Pergeseran pemaknaan terhadap nilai sebagai manfaat yang dihasilkan dari suatu properti memaksa partisipan pasar untuk meninjau ulang produk propertinya. Tidak hanya berfokus pada pemotongan biaya dan harga, pengembang harus mampu melakukan inovasi untuk bisa bertahan menghadapi persaingan dan kondisi pasar yang masih tidak menentu.

Mungkin saja pembangunan perumahan dengan sistem kluster akan semakin berkembang dengan konsep rumah pintar atau smart home. Desain sirkulasi udara dengan konsep smart building akan menjadi pilihan menarik bagi pengembangan ruang kantor di masa yang akan datang. Implementasi teknologi yang memungkinkan penghuni tidak bersentuhan langsung dengan tombol-tombol elevator atau pintu masuk yang dilengkapi dengan sistem sensor otomatis juga akan menjadi demand faktor yang menarik.

Begitu juga terhadap perubahan model bisnis, misalnya perubahan tarif rental konvensional menjadi sharing fee atau gross turnover yakni biaya rental akan bergantung pada pendapatan kotor tenant mungkin akan menjadi strategi menarik bagi pengusaha ruang ritel untuk mempertahankan tingkat okupansinya. Termasuk skema pemasaran yang harus lebih banyak memanfaatkan saluran digital dibandingkan tatap muka langsung.

Namun, tentu saja pengembangan tersebut membutuhkan tambahan biaya, alih-alih pengurangan biaya. Selain inovasi, penurunan harga mau tidak mau akan terjadi sebagai satu proses yang harus dilalui untuk memantik tingkat permintaan agar naik kembali di tengah kondisi yang tidak menentu dan penurunan daya beli.

Pada titik inilah pasar akan menguji titik keseimbangan barunya, apakah harga akan semakin mendekati nilai, atau justru semakin menjauhi nilai.

Penulis : Harizul Akbar Nazwar

Penilai dan Analis Properti Bersertifikat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×