kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan


Jumat, 21 Agustus 2020 / 11:37 WIB
Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Tujuan pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan akan sulit terealisasi tanpa kebijakan menjadikan desa sebagai fokus sasaran pembangunan berbasis pertanian. Apalagi, sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang tumbuh positif pada kuartal II tahun 2020.

Sementara itu, pandemi virus korona (Covid-19) telah menyebabkan kelesuan ekonomi, sehingga perlu ada jaminan kelancaran produksi sekaligus distribusi di sektor pertanian ini agar petani semangat berproduksi dan menjauh dari potensi kerawanan pangan yang menghantui.

Lima bulan setelah pengumuman pandemi pada Maret 2020 silam, perbaikan sejumlah indikator pertanian belum menunjukkan suatu yang berarti. Pasalnya, daya beli petani terlanjur menurun dan belum pulih, sehingga perlu strategi yang mumpuni untuk mewujudkan pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan.

Sektor pertanian menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 mengungkapkan bahwa pertanian satu dari tiga sektor yang tumbuh positif sebesar 16,24% pada periode April-Juni 2020.

Jika kondisi ini tidak dikelola dengan baik, sejumlah kekhawatiran akan mengemuka karena sektor pertanian berkontribusi cukup besar pada peningkatan kemiskinan. Alhasil, petani butuh jaminan menjaga kesejahteraan sekaligus menggairahkan produksi pertanian.

Sejak awal pandemi, upah buruh tani mengalami penurunan. Baru satu bulan terakhir, yakni dari Mei ke Juni 2020 terlihat mulai merangkak naik lagi. BPS mencatat, upah buruh tani pada Juni 2020 naik sebesar 0,19 % dibanding Mei 2020, yaitu dari Rp 55.396,00 menjadi Rp 55.503,00 per hari. Sementara itu, upah riil buruh tani mengalami kenaikan sebesar 0,11%. Kenaikan upah ini tidak cukup berdampak pada kesejahteraan karena daya beli petani masih rendah.

Hingga bulan Juni 2020 lalu, daya beli petani masih rendah. Nilai tukar petani (NTP) masih dibawah 100, artinya harga yang dibayar petani untuk memproduksi hasil pertanian masih jauh lebih tinggi dari yang diterimanya.

BPS mencatat, NTP pada bulan Juni 2020 sebesar 99,60 atau naik 0,13 dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Peningkatan terjadi karena indeks harga yang dibayarkan petani (Ib), naik 0,23%. Sementara indeks harga yang diterima petani (It) peningkatannya lebih kecil yaitu 0,11%.

Peningkatan NTP terjadi karena meningkatnya subsektor tanaman pangan, seperti peternakan dan perikanan. Sementara penurunan terjadi pada subsektor hortikultura sebesar 1,15% dan perkebunan rakyat sebesar 0,04%.

Pada subsektor hortikultura terjadi pelemahan harga yang diterima petani sayur karena tekanan rantai distribusi. Disisi lain, aktivitas pengepul cenderung turun seiring kebijakan pembatasan sosial (social distancing), hal ini menimbulkan ketidakpastian pada arus distribusi dan logistik.

Pada kondisi seperti saat ini, produsen pangan perlu solusi jangka pendek supaya pendapatan dan daya beli petani tak tergerus, yaitu jaminan kelancaran distribusi. Jika tidak, maka permintaan produk pangan semakin lesu dan harga hasil panen akan semakin tertekan. Dampaknya, petani semakin tidak bergairah berproduksi, ujungnya agregat stok pangan bakal menurun.

Menyejahterakan petani

Dukungan untuk penguatan cadangan pangan mendesak diperlukan. Hal ini untuk menstimulasi kinerja pertanian dalam jangka pendek. Selain jaminan kelancaran distribusi, perlu jaminan ketersediaan sarana produksi pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan sarana pertanian lain.

Hal ini seirama dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 18/2012 tentang Pangan yang telah memberi amanat ke pemerintah untuk menstabilkan harga pangan demi melindungi pendapatan dan daya beli petani, terlebih pandemi saat ini telah memukul sektor pertanian.

Penguatan cadangan pangan ini sejalan dengan strategi yang dipublikasikan badan pangan dunia Food Agriculture Organization (FAO) tahun 2020 melalui dokumen berjudul "Anticipating The Impacts of Covid-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts serta Addressing The Impacts of Covid-19 in Food Crises". Salah satu strateginya adalah dengan menjamin perlindungan terhadap petani gurem, buruh tani, serta semua buruh yang terlibat dalam produksi pangan dan perikanan. Hal ini lantaran ancaman krisis pangan semakin nyata, jika disrupsi rantai pasok penyediaan pangan akibat pandemi vius korona (Covid-19) tidak mampu diantisipasi kita semua.

Setidaknya terdapat lima hal yang dapat dilaksanakan untuk menghindari kerawanan pangan. Pertama, percepatan intensifikasi pertanian. Mempersiapkan lahan cetak sawah baru dalam waktu singkat akan sulit terealisasi, sehingga pemerintah perlu mengoptimalkan lahan yang ada untuk diperkuat dengan kesiapan logistik untuk produksi, seperti bibit unggul, pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya. Dengan demikian, dalam jangka pendek peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui penguatan infrastruktur pertanian.

Kedua, menyelamatkan harga di tingkat produsen dengan cara menyerap hasil produksi pertanian. Pemerintah melalui badan usaha milik negara (BUMN) bisa bekerja sama dengan badan usaha milik desa (BUMDes), sekaligus mobilisasi usaha rintisan berbasis teknologi digital di bidang pertanian. Kerjasama ini dapat menggerakkan ekonomi desa, mempertahankan sirkulasi ekonomi di tingkat desa. Jika diterapkan mampu mengatasi praktik spekulan yang menekan harga di tingkat petani.

Ketiga, memotong rantai distribusi dengan memanfaatkan BUMDes, Koperasi Unit Desa (KUD), toko tani atau pasar tani yang dikelola oleh desa, lembaga masyarakat, atau lembaga pemerintahan. Hingga saat ini, catatan kementerian-kementerian memiliki 5.051 Toko Tani Indonesia secara nasional. Pemerintah daerah tingkat II juga dapat membantu memperkuat penyaluran hasil pertanian antardaerah, terutama ke daerah yang berbatasan langsung dengan daerah sentra produksi.

Keempat, mendorong produktivitas dengan restrukturisasi kredit usaha rakyat (KUR) untuk membantu permodalan petani, sekaligus memperluas subsidi asuransi gagal panen. Sementara itu, pandemi virus korona (Covid-19) telah memukul subsektor hortikultura akibat hambatan distribusi sehingga serapan yang terbatas. Alhasil, untuk memulai usaha kembali perlu stimulus dengan pinjaman ringan melalui Badan Layanan Usaha (BLU).

Sekarang, UU Nomor 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan telah diberlakukan guna mewujudkan pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Sehingga, situasi pandemi ini menjadi momentum yang tepat untuk menguji dan menjadi pijakan baru bahwa aturan yang baru telah membantu menjadi penopang ketahanan pangan di Tanah Air.

Penulis : Udi Suchaini

Pemehati Pembangunan Desa, bekerja di Badan Pusat Statistik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×