kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketahanan Keluarga


Jumat, 21 Februari 2020 / 11:34 WIB
Ketahanan Keluarga
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Beberapa hari ini jagat maya di negeri ini dihebohkan oleh meluncurnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Memang RUU yang diusulkan oleh lima anggota DPR ini baru masuk 7 Februari 2020. Tapi berbagai "keajaiban" di draf RUU ini sudah cukup membuat berbagai isu besar lainnya tersisihkan.

Ada cukup banyak pasal yang membuat banyak orang bereaksi keras terhadap RUU ini. Entah kenapa perancang undang-undang ini berpikir pemerintah harus ikut campur tangan masuk dalam semua ruang keluarga di negeri ini.

Ada banyak pasal yang dianggap ganjil, seperti kewajiban pasangan suami istri untuk saling mencintai, atau kewajiban istri untuk mengurusi rumah tangga. RUU ini seperti tidak menerima ruang privasi para warga negaranya sendiri. Ia akan mengatur hal-hal yang tidak akan pernah bisa diatur oleh hukum positif sebuah negara.

Kalau saja UU ini berlaku, saya tidak tahu apa gunanya, selain mempertebal jumlah undang-undang dan menambah jumlah badan birokrasi dalam pemerintahan. Tak akan ada sanksi hukum pidana atau denda uang yang bisa membuatnya berfungsi untuk menciptakan sebuah keluarga lebih baik.

Walau namanya ketahanan keluarga--yang diartikan dalam RUU sebagai kondisi dinamika keluarga dalam mengelola sumberdaya fisik dan non fisik dan mengelola masalah yang dihadapi untuk mencapai keluarga berkualitas dan tangguh-- banyak orang melihat RUU ini tidak akan pernah bisa membuat keluarga-keluarga di Indonesia lebih sejahtera dan bahagia.

Ide membangun negara lebih baik dari kesatuan terkecil masyarakat yaitu sebuah keluarga, memang bukan ide yang baru. Tapi proses pembangunan keluarga sejahtera tentulah bukan urusan pemerintah, apalagi mengikat setiap warga negaranya dengan hukum positif dengan berbagai ukuran abstrak. Siapa sih yang bisa mengukur cinta? Saya juga tidak bisa membayangkan, apa sanksi untuk sang ayah yang gagal menunaikan kewajibannya karena salah satu anaknya mengonsumsi alkohol atau narkoba, menonton film porno, atau melakukan seks bebas.

Beberapa analisis mengatakan RUU ini diusung untuk membuat keramaian. Ada juga yang mengatakan untuk menandingi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Entah mana yang benar, tapi kita harusnya sadar membangun kesejahteraan keluarga tak akan pernah bisa dengan "pedang" hukum.

Penulis : Djumyati Partawidjaja

Redaktur Pelaksana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×