Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Penyebaran virus korona atau Covid-19 di berbagai wilayah dunia saat ini menggoyang perekonomian global, termasuk Indonesia. Kebijakan lockdown atau penguncian suatu wilayah dari akses luar di berbagai belahan dunia menyebabkan kegiatan ekonomi termasuk logistik menurun drastis.
Berbagai maskapai penerbangan telah menutup usahanya sementara waktu untuk mengatasi penyebaran virus Covid-19. Demikian pula dengan industri lainnya seperti manufaktur, pertanian, perkebunan, perikanan, industri kesehatan, hiburan, pariwisata hingga ekonomi kreatif.
Kondisi ekonomi global yang belum pulih pasca perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin mengalami gejolak yang mengarah pada resesi di seluruh dunia. Meskipun ancaman resesi terasa semakin nyata di berbagai belahan dunia, pangan tetap menjadi hal terpenting yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia. Di sinilah ketahanan pangan menjadi kunci utama dalam ketahanan suatu negara.
Tanpa adanya strategi ketahanan pangan yang baik, suatu negara akan mengalami masalah yang serius dalam menangani penyebaran virus Covid-19. Sebagian negara menerapkan kebijakan lockdown sehingga pasokan bahan pokok seperti makanan menjadi kunci utama keberhasilan lockdown tersebut.
Demikian pula dengan kebijakan pemerintah saat ini menerapkan social distancing dan physical distancing bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah di Indonesia. Tanpa kebijakan dan tindakan yang tepat dalam penanganan distribusi pangan, penerapan jaga jarak akan menuai masalah. Bagaimanapun, masyarakat di berbagai wilayah sangat membutuhkan dukungan bahan-bahan pokok khususnya pangan dalam menyukseskan upaya menghambat penyebaran virus Covid-19.
Ketahanan pangan sangat diperlukan di tengah situasi darurat seperti saat ini. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, ketahanan pangan Indonesia tidak hanya berasal dari sektor pertanian saja namun juga dari sektor perikanan. Sayangnya seringkali sektor perikanan tidak menjadi agenda prioritas pemerintah.
Pangan sektor perikanan
Di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan peran laut dan sektor perikanan dalam ketahanan pangan. Maka, mewujudkan peran laut tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia.
Di sini masyarakat nelayan harus mendapatkan peran yang seimbang antara penyediaan ikan dengan kesejahteraannya. Hal tersebut yang sering terpinggirkan dalam kebijakan pemerintah.
Tanpa mempertimbangkan kesejahteraan nelayan, ketahanan pangan tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan. Inilah yang harus menjadi perhatian khusus dari Pemerintah terhadap nelayan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Pembangunan ketahanan pangan dari sektor perikanan harus bertumpu tidak hanya untuk mendukung kebutuhan pokok masyarakat namun juga untuk menyelamatkan sosial ekonomi sektor perikanan khususnya nelayan. Terlebih nelayan kecil merupakan profesi yang paling marjinal di Indonesia dan seringkali disebut sebagai the last resort employment karena menjadi profesi terakhir yang dicari setelah seluruh profesi lain gagal diandalkan.
Di Indonesia, nelayan kecil didefinisikan berdasarkan kepemilikan ukuran kapal, yaitu kepemilikan kapal berukuran maksimum 5 gross ton (GT) menurut Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Berdasarkan definisi tersebut, struktur perikanan Indonesia didominasi oleh nelayan kecil dengan prosentase 90% (KKP: 2015).
Adapun jumlah nelayan di Indonesia mencapai 2,64 juta orang. Apabila estimasi keluarga yang ditanggung per nelayan adalah 4 orang, maka jumlah masyarakat nelayan mencapai 11 juta orang.
Meskipun jumlahnya dominan, nelayan kecil justru paling minim mendapatkan perlindungan sosial ekonomi dan lingkungan. Nelayan kecil sangat rentan terhadap aktivitas ekonomi skala menengah dan besar yang mengancam wilayah pesisir dan laut yang menjadi penopang hidupnya.
Peningkatan aktivitas ekonomi skala menengah dan besar seperti pertambangan, perkebunan, pemukiman, energi seringkali menjadi predator bagi nelayan kecil. Terlebih di era otonomi daerah seperti saat ini.
Tantangan terbesar bagi nelayan saat ini adalah darurat nasional penyebaran virus Covid-19 yang mengancam sistem rantai nilai perikanan termasuk operasional pelabuhan pendaratan, lelang produk perikanan hingga perusahaan pengolahan. Apabila sistem rantai nilai tersebut terganggu, hasil tangkapan nelayan tidak mendapatkan akses pasar. Otomatis nelayan tidak memiliki penghasilan. Inilah tantangan sesungguhnya.
Diperlukan tindakan cepat dan tepat dari pemerintah. Integrasi dan kolaborasi harus dilakukan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Badan Urusan Logistik (BULOG), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan BUMN seperti PT Perinus, PT Perindo, PT Garam, PELNI, ASDP, PT Garuda Indonesia, PT Angkasa Pura, PT Pelindo termasuk keterlibatan swasta nasional.
Kemudian sistem rantai nilai produk perikanan harus dijaga. Hal ini harus ditangani pemerintah secara cepat dan terintegrasi.
Seluruh pihak harus bekerja bahu-membahu tidak hanya untuk menyelamatkan harkat hidup para pemangku kepentingan di sektor perikanan namun juga kebutuhan paling mendasar seluruh warga negara yaitu ketahanan pangan nasional. Kolaborasi dan integrasi merupakan kata kunci yang harus diwujudkan saat ini.
Di sisi lain, pemberian bantuan dari pemerintah terhadap masyarakat pesisir di saat pelemahan kondisi ekonomi nasional seperti saat ini sangat dibutuhkan. Kolaborasi antara berbagai lembaga pemerintah seperti KKP, Kementerian Sosial, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) dan lainnya sangat diperlukan.
Upaya Pemerintah menyelamatkan penduduk Indonesia dari penyebaran virus Covid-19 saat ini perlu didorong sejalan dengan kebijakan ketahanan pangan nasional termasuk perikanan. Diharapkan masyarakat pesisir termasuk nelayan dapat terhindar dari krisis ekonomi yang lebih serius.
Penulis : Andre Notohamijoyo
Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News