kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Keteledoran Terhadap Isu Diskon Rokok


Selasa, 23 Juni 2020 / 09:50 WIB
Keteledoran Terhadap Isu Diskon Rokok
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Hari Tanpa Tembakau Dunia yang diperingati akhir Mei lalu selalu mengusung tema seksi demi menarik simpati pentingnya pengendalian konsumsi tembakau. Tahun 2016, perayaan ini menggulirkan isu level harga rokok Rp 50.000 per bungkus yang membuat konsumen berhenti.

Angka ini dikerek tahun berikutnya menjadi Rp 70.000 per bungkus. Isu lain yakni struktur tarif cukai rumit, prevalensi perokok pemula menanjak, dan untuk tahun 2020 adalah isu yang diangkat adalah diskon rokok. Akan tetapi, secara umum isu diskon rokok jika dilihat dari beberapa aspek adalah sebuah careless alias keteledoran.

Isu kenaikan tarif cukai rendah tenggelam kala Menteri Keuangan mengeluarkan beleid PMK Nomor 152/PMK.04/2019 yang menaikan tarif cukai 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) 35% secara weighted average. Lebih detail lagi Sigaret Kretek Mesin naik tarif cukainya 22%-25% dan HJE-nya 42% -52%.

Di negara yang tingkat inflasi tahunan di kisaran 3%, menaikkan tarif cukai 766% dari inflasi adalah langkah berani. Filipina yang menjadi "etalase" keberanian menaikan tarif cukai 150% kalah jika dibandingkan Indonesia.

Kenaikan 150% tarif cukai Filipina itu dilakukan setelah 13 tahun tarif cukai dibekukan. Industri terdampak hanya 9 pabrik sementara Indonesia 767 pabrik. Kontribusi ke APBN hanya 0,9% sedang Indonesia mencapai 10%.

Sebuah keteledoran dapat dilihat dari beberapa aspek karena menerjemahkan secara parsial Pasal 16 dalam PMK 146/PMK.010/20017 tanpa menimbang fantuliting memory -nya. Dua puluh tahun terakhir, Menteri Keuangan selalu menaikan tarif cukai kecuali tahun 2003, 2004, dan 2019 dan dituangkan dalam PMK namun Harga Transaksi Pasar (HTP) minimal 85% dari HJE tidak pernah diatur. Apa maksudnya, baru tahun 2017 mereka tidak mencermatinya.

Aktivis anti tembakau membidik pasal 16 ini sebagai aturan yang harus dicabut dan menyebutnya sebagai kebijakan diskon rokok. Pasal tersebut mengatur Bea Cukai untuk memantau HTP. Jika besaran HTP melampaui HJE atau sebaliknya HTP kurang dari 85% dari HJE Bea Cukai melakukan teguran ke pengusaha.

Teguran Bea cukai ke pengusaha yang HTP-nya melebihi HJE dikarenakan ada pungutan cukai, PPN, dan pajak rokok yang kurang bayar. HJE sebagai administered price yang di Undang-Undang Cukai didefinisikan, "harga sebagai dasar pengitungan cukai" tidak boleh dilampaui.

Adapun HTP yang di bawah 85% dari HJE kenapa perlu dilarang? Bukankah pengusaha sudah membayar sesuai HJE bahkan lebih dari seharusnya? Dari aspek fiskal tak ada yang kurang pungut satu rupiah pun. Jika hanya ditinjau dari aspek fiskal ada anomali.

Intervensi pemerintah

Pemerintah membuat aturan ini lebih mempertimbangkan persaingan untuk mencegah terjadinya oligopoli atau bahkan monopoli. Strategi predatory price dari pengusaha besar dengan menjual rokok dengan HTP jauh di bawah HJE sehingga mematikan pengusaha kecil. Backward shifting pengusaha dalam merespon kenaikan beban cukai biasa digunakan untuk memenangkan persaingan.

Strategi backward shifting di rokok memiliki sejarah panjang. Sebelum tahun 2007, hampir semua pengusaha melakukannya, dan biasanya ketika instrumen kebijakan adalah dengan menaikkan HJE. Sementara tahun 2017 strategi backward shifting hanya dilakukan pengusaha besar.

Pemerintah memandang perlu beleid baru untuk mengatasi ini dan tak hanya menaikkan tarif cukai atau HJE. Karena pasal 5 dan 6 Undang Undang Cukai fokus instrumen fiskal oleh karenanya beleid HTP minimum 85% dari HJE mengacu prinsip umum pengenaan cukai yakni untuk pengendalian konsumsi.

Kenapa tidak mengatur harga sampai konsumen akhir saja dalam PMK? Ini perlu diketahui cukai adalah jenis pajak tak langsung sebagai bagian intervensi pemerintah secara tidak langsung (fiskal). Intervensi harga fixed sampai konsumen secara langsung oleh pemerintah menyalahi prinsip untuk rokok.

Intervensi langsung dalam bentuk harga minimum (floor Price). Tujuannya melindungi produsen. Intervensi harga maksimum (ceiling price) ini dalam rangka melindungi konsumen. Dua kategori intervensi pemerintah ini tidak mungkin dilakukan untuk rokok yang barangnya dikendalikan.

Sebenarnya HTP lebih kecil 85% dari HJE tidak akan ada ketika instrumen pemerintah fokus menaikan tarif cukai seperti 2012.

Pengusaha mau tidak mau akan forward shifting ke konsumen ketika HJE di diserahkan ke pasar. Survei Bea Cukai tahun 2019 menunjukan rerata HTP di pasaran mencapai 108% dari HJE. Demi pengendalian konsumsi pemerintah kembali menggunakan HJE dalam kebijakannya. Ketika daya beli tidak naik setinggi kenaikan HJE maka terjadilah backward shifting.

Terobosan hukum ini memang mengena pengusaha besar. Barangkali karena faktor ini terobosan kebijakan ini melenggang hingga sekarang.

Biasanya kebijakan rokok kalau sudah menyentuh pengusaha kecil gaduhnya luar biasa dan biasa mendapat perlawanan hukum. Ataukah yang beleid HTP minimal 85% dari HJE akan kembali diuji?

Seperti pepatah menepuk air di dulang tepercik ke muka sendiri. Instrumen pengendalian yang bisa menaikan HTP dari 50% hingga minimal 85% bahkan tahun 2019 mencapai 108% akan dihapus.

Jika mengamati detail kebijakannya, pemerintah selalu berorientasi pada pengendalian konsumsi rokok melalui PMK 152/PMK.010/2020. Pemilihan rerata tertimbang 23% itu telah melampaui titik optimum laffer curve sebesar 14,7% saat itu.

Setelah titik tersebut tambahan kenaikan beban cukai seberapa pun efektifitasnya ke penerimaan, selisihnya tidak sebanyak jika dibanding sebelum titik 14,7%. Karena penurunan produksi jauh lebih besar tak kuasa menopang penambahan penerimaan karena kenaikan tarif cukai.

Data tahun 2020 menunjukan per Mei 2020 produksi rokok turun 12%. Pada saat yang sama Covid-19 melanda Indonesia. Fakta ini akan kembali mendapat tantangan bahwa penurunan produksi lebih banyak dampak Covid-19. Ini pun jika menjadi alasan akan menjadi koreksi "postulat" dikalangan anti rokok bahwa sektor rokok adalah sektor tahan krisis ekonomi karena sifat adiktif-nya. Akankah kembali, menepuk air di dulang memercik kemuka anti rokok untuk kedua kalinya?

Kini di meja pemerintah telah ada surat dari berbagai lembaga pengendali tembakau meminta penghapusan pasal 16 PMK 146/PMK.010/2017 yang ditafsirkan sebagai diskon rokok. Jika sekedar pertimbangan penerimaan, penghapusan itu tak ada ruginya.

Yang harus diingat, aturan HTP 85% telah mengerek HTP bahkan dari 50% sampai dengan 109% dari HJE di tahun 2019. Uniknya berbagai lembaga itu tidak menyadari. Atau mungkin baru menyadari setelah beleid diganti nanti?

Kalau meminjam istilah di media sosial (medsos), jika ini yang terjadi, hidup kadang begitu. Dan untung saja pemerintah tidak seperti istilah medsos yang boleh saja begitu.

Penulis : Sunarso Kartodiwiryo

Kasubdit Tarif Cukai Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×