kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Khitah uang elektronik


Selasa, 19 September 2017 / 12:39 WIB
Khitah uang elektronik


| Editor: Tri Adi

There is no free lunch. Tidak ada makan siang gratis! Kredo ini benar-benar disembah oleh para bankir dan pemangku kepentingan industri keuangan.

Nyaris semua jenis layanan dan fasilitas di dunia keuangan dan perbankan dikenai charge. Fasilitas transfer, tarik tunai, jasa pembayaran dan segambreng layanan lainnya ada tarifnya. Pendek kata, bank tak mau rugi melewatkan setiap peluang menangguk komisi.

Transaksi uang elektronik (e-money) juga tak lepas incaran bankir. Bank Indonesia (BI) bahkan tengah menggodok aturan biaya isi ulang (top up) uang elektronik yang berkisar Rp 1.500-Rp 2.000 per transaksi.

Kalangan bankir berjanji memanfaatkan biaya itu untuk memodali investasi infrastruktur uang elektronik dan peningkatan layanan. Dengan kata lain, mereka menjamin tak menjadikan biaya top up sebagai sumber pemupuk laba perbankan. Bank juga mencatatkan akumulasi uang elektronik sebagai liabilitas (kewajiban) dalam pembukuannya, bukan dalam kolom pendapatan.   

Meski demikian, ide pungutan fee isi ulang uang elektronik telanjur menuai kontra. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai contoh, menolak gagasan ini karena tidak fair bagi nasabah. Maklum, perbankan menerima uang setoran nasabah di muka, sementara proses transaksinya belakangan.

Nah, lebih dari sekadar menggugat perlakuan fair bagi nasabah, BI dan bankir sebaiknya melihat kembali proposal awal dan khitah program uang elektronik ini. Beberapa tahun lalu, gagasan ini dirilis sebagai bagian dari edukasi dan literasi keuangan masyarakat. Rezim uang elektronik digadang-gadang sebagai sarana  untuk membuka akses layanan finansial, mengajari transaksi secara aman dan efisien, serta mencapai prinsip less cash society.

Kini, uang elektronik kian mewabah dan berlaku hampir di semua transaksi vital. Mulai dari pembayaran jalan tol, parkir dan transaksi pembayaran kebutuhan sehari-hari. Apalagi ruang lingkup transaksi uang tunai juga kian dipersempit.

Otoritas keuangan dan moneter juga menikmati manfaat besar dari target pemanfaatan uang elektronik. BI, misalnya, bisa menghemat biaya pencetakan dan pengelolaan uang yang sekitar Rp 4 triliun per tahun.

Alhasil, kendati pungutannya kecil saja, biaya top up uang elektronik adalah kontra-produktif dan bertentangan dengan upaya mewujudkan less cash society. Mumpung masih sebatas rencana, BI sebaiknya membatalkan niat tersebut dan menguburnya dalam-dalam.             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×