Reporter: Cipta Wahyana | Editor: Mesti Sinaga
Di pengujung tahun 2017, PT Jasa Marga Tbk. mendapatkan sumber pendanaan baru untuk membangun proyek infrastruktur. Pengelola jalan tol itu menerbitkan obligasi rupiah di London.
Obligasi yang populer disebut Komodo Bond itu, menurut Menteri BUMN Rini M. Soemarno hanya satu opsi pendanaan baru. Apa saja opsi lain? Lalu, seperti apa rencana pengembangan BUMN di tahun mendatang?
Pertengahan Desember lalu, Menteri BUMN Rini M. Soemarno tampak menghadiri sebuah acara di London Stock Exchange (LSE), yakni pencatatan (listing) Komodo Bond PT Jasa Marga (Persero) Tbk.
Acara ini spesial karena Komodo Bond tersebut merupakan surat utang rupiah terbitan institusi Indonesia pertama yang dijual dan dicatatkan di luar negeri. Kebetulan, yang menjadi penerbitnya adalah Jasa Marga, salah satu anak asuh Menteri Rini.
Sukses? Laporan PT Mandiri Sekuritas sebagai penjamin emisi memperlihatkan hasil yang cukup meyakinkan. Total permintaan yang masuk dari para investor asal Asia, Amerika dan Eropa mencapai Rp 15,7 triliun. Meski akhirnya Jasa Marga hanya menerbitkan utang senilai Rp 4 triliun sesuai dengan izin pagu yang telah dikantonginya.
Rini, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santosa, dan para bos BUMN yang turut hadir di London sepakat bahwa penerbitan jenis surat utang baru ini memiliki arti penting bagi pengelolaan keuangan korporasi secara umum maupun manajemen finansial BUMN secara khusus.
Komodo Bond Jasa Marga membuka pintu bagi kemungkinan penerbitan surat utang sejenis oleh korporasi maupun BUMN lain. Peluang ini bisa menjawab kebutuhan banyak BUMN yang tengah haus dana untuk menopang proyek-proyek infrastruktur.
Di sela-sela rangkaian acara pencatatan Komodo Bond Jasa Marga itu, sambil menikmati sarapan, Rini menyempatkan diri untuk berbincang-bincang bersama sejumlah jurnalis, termasuk Cipta Wahyana dari KONTAN. Berbagai topik dibahas, mulai dari evaluasi penerbitan Komodo Bond sampai visi Rini tentang pengelolaan BUMN. Berikut nukilan dialog:
KONTAN: Apa arti penting penerbitan Komodo Bond Jasa Marga ini bagi Indonesia?
RINI: Melihat hasilnya, tentu saja, kita happy. Sebelumnya, dengan Jasa Marga, kita sudah berhasil melakukan sekuritisasi (pendapatan jalan tol Jagorawi) yang menjadi salah satu strategi asset recycle.
Ini membuat BUMN memiliki alternatif sumber-sumber dana baru. Struktur Komodo Bond juga sangat bermanfaat bagi kita. Karena diterbitkan dalam rupiah, risikonya bisa dikelola dengan lebih baik dan struktur biayanya juga lebih menarik.
KONTAN: Untuk penerbitan Komodo Bond, yang merupakan obligasi rupiah di luar negeri, apakah Bank Indonesia (BI) sebagai regulator moneter ikut mendukung?
RINI: Kerjasama antara regulator memang semakin penting. Saya bersyukur Pak Wimboh (Ketua OJK) turut hadir di London. Kami bisa komunikasi konsern regulator seperti apa. Untuk bisa berutang ke luar negeri, tentu kita harus memperoleh izin pinjaman luar negeri.
Awalnya, BI sedikit konsern, nanti ada swap di luar negeri yang tidak terkelola. Tapi, kami mengatakan bahwa ini jumlahnya sangat kecil. Dan kalau kita ke domestic market saja, dana di pasar domestik tidak cukup untuk membiayai proyek infrastruktur.
Untuk kita mengejar ketertinggalan kita dalam infrastruktur, kalau kita mau mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita harus siap dalam pembangunan jalan, pembangkit listrik, pelabuhan, bandara. Nah, pasar domestik tidak cukup.
Sebagai conversion rate, kami pakai JISDOR. Investor comfortable, confidence karena JISDOR sudah lama dan tidak ada bias. Dulu, mereka maunya memakai Singapore Non Delivery Forward (NDF).
Kalau sekarang pakai JISDOR artinya investor sudah confidence bahwa market forex di dalam negeri sudah realistis dan stabil.
KONTAN: Apakah BUMN lain akan menyusul menerbitkan surat utang yang sama?
RINI: Iya ada, tapi saya belum boleh mengungkapkan. Program seperti ini harus kontinyu karena kami harus konsisten untuk menciptakan likuiditas di pasar. Tetapi, tentu tetap menjaga agar tidak berlebihan atau overcrowding.
Banyak investor internasional besar yang membeli Komodo Bond. Dan, dengan masuk, itu berarti mereka bersedia mengambil risiko kurs, risiko politik, maupun risiko ekonomi Indonesia.
Jadi, satu paket Indonesia mereka ambil. Kita yakin bahwa Indonesia berada di jalur yang benar untuk membuat investor-investor besar nyaman dan masuk Indonesia.
Selain Komodo Bond, kita juga bisa jajaki instrumen lainnya. Misalnya, India mulai melihat green bond. Nah, kita mulai menanyakan persyaratan green bond itu ke LSE.
Karena, saya yakin, jenis investor green bond itu lain lagi, yaitu mereka yang sangat peduli lingkungan. Nah, kita ingin jaring investor ini juga. Misalnya, green bond bisa untuk membiayai proyek-proyek panel surya PLN atau proyek geothermal Pertamina.
KONTAN: Untuk mendorong pembangunan proyek infrastruktur, apakah Anda akan mendorong BUMN untuk semakin giat berutang?
RINI: Harap dicatat, BUMN utang, bukan karena modalnya kurang. Untuk mendorong pertumbuhan perusahaan, kita harus juga leveraging; tidak hanya mengandalkan modal. Utang adalah bagian dari pengelolaan bisnis. Jika tidak berutang, Anda bukan pengelola perusahaan yang baik.
Tapi, saya selalu mengingatkan agar rasio utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio (DER) maksimal 3 kali. Untuk BUMN karya, jika sudah mendekati angka itu, berarti sudah harus mulai memikirkan untuk membuka kerjasama pengelolaan dengan pihak lain.
Di luar itu, pinjaman harus selalu dihubungkan dengan aset yang produktif. Jangan, misalnya, berutang untuk membayar deviden atau tantiem, seperti yang biasa dilakukan dahulu. Itu tidak produktif! Bisa saya getokin kalau seperti itu!
KONTAN: Berbicara tentang pengelolaan BUMN, bagaimana soal rumitnya pengelolaan BUMN di 2018. Misal soal pembentukan berbagai holding BUMN yang sering mengundang kontroversi?
RINI: Pembentukan induk Migas dan Keuangan menjadi prioritas di tahun 2018. Memang seringkali, saat kita merestrukturisasi balance sheet (neraca), banyak orang yang salah persepsi bahwa itu merger, bahwa itu menghilangkan satu aktivitas, atau yang lain.
Padahal, saya selalu menekankan bahwa holding ini untuk memperkuat neraca dan mengefisiensikan kegiatan operasi. Tidak ada perubahan yang drastis.
Karyawan tidak ada yang dikurangi. Semua tetap apa adanya. Soal efisiensi, umpamanya, di holding tambang. Untuk menambang nikel dan batubara, semua BUMN membeli alat berat sendiri-sendiri. Ngapain? Ini seharusnya dikelola secara bersama-sama agar lebih efisien. Kita bisa atur timing-nya. Itu salah satu optimalisasi aset.
Kedua, jika neraca di holding kuat, ini bisa membantu perusahaan untuk melakukan hilirisasi. Ini kelemahan kita. Kita kurang investasi di proses lanjutan. Padahal, nilai tambah proses lanjutan itu jauh lebih tinggi.
Contoh, belajar dari perusahaan China, kalau kita bisa mengubah bauksit menjadi aluminium slab, nilai tambahnya bisa 32 kali. Kita semestinya ke arah sana.
Memang investasi ke proses lanjutan mahal karena membutuhkan teknologi. Kalau Antam, misalnya, melakukan investasi sendiri, ya tidak kuat. Tetapi, jika sudah ada holding, dia bisa investasi bersama-sama. Ini yang akan kami wujudkan.
KONTAN: Soal pembentukan holding migas?
RINI: Soal holding migas juga demikian. Selalu ditekankan agar Indonesia mandiri dalam energi. Ini artinya apa? Kita harus pandai mencari alternatif sumber-sumber energi, termasuk, harus aktif mencari sumur-sumur di luar Indonesia.
Nah, ini hanya bisa terjadi jika ada induk yang punya neraca kuat. Dengan neraca yang kuat, kita bisa pinjam untuk punya aset atau tambang di luar negeri.
Pertamina memiliki Pertagas, lalu ada PGN. Padahal aktivitas Pertagas dan PGN sama. Why? Kita tahu bisa ada pipa sebelah-sebelahan milik kedua perusahaan itu. Pemegang sahamnya sama, tetapi mereka melakukan investasi sendiri-sendiri. Kalau investasinya disatukan, you can save so much money.
Di Pertamina sendiri, banyak sekali yang bisa diefisiensikan. Juga perlu ada perubahan kultur di sana. Saya tidak bicara tentang baik atau buruk, tetapi kita harus melihat realita.
KONTAN: Bagaimana dengan rencana pengurangan anak-anak perusahaan BUMN?
RINI: Itu juga menjadi perhatian kami. Terus terang, zaman dahulu itu BUMN beranak-pinak tanpa KB. Tapi memang, ada beberapa anak usaha yang muncul sesuai dengan kebutuhan. Ambil contoh jalan tol. Di tiap ruas itu memang harus memakai PT sendiri, sesuai ketentuan di undang-undang (UU).
Tapi untuk usaha jasa tunda kapal, masak semua punya sendiri-sendiri. Pelindo 1, Pelindo 2, Pelindo 3 masing-masing punya. Saya nggak mau tahu, yang seperti ini ya harus merger.
Dan kemudian, hasil merger itu bisa go public. Kalau digabungkan, usaha pengelolaan tug boat itu akan optimium. Kondisi yang sama berlaku juga untuk perusahaan crane. Tapi memang ini pekerjaan yang melelahkan karena harus cerewet.
KONTAN: Ada target intial public offering BUMN untuk tahun depan?
RINI: Lagi kami lihat. Ada beberapa anak BUMN. Tahun ini ada lima anak. Tahun depan mungkin lebih sedikit, tetapi size-nya better karena akan dimerger dulu. Atau mungkin, kami masukkan ke perusahaan yang sudah public.
KONTAN: Secara umum, apa harapan Anda untuk para pengelola BUMN?
RINI: Saya selalu mengingatkan para pengelola BUMN agar berpikir jangka panjang. Target mereka bukan hanya keuntungan saat ini, tapi bagaimana BUMN bisa survive selama 20 tahun sampai 30 tahun ke depan, dan bisa terus berkembang hingga generasi anak cucu.
Saya meyakini, BUMN bisa membantu Indonesia keluar dari kemiskinan. Itu saya yakin betul! Saat ini, kita masih memiliki penduduk rentan miskin di atas 60 juta. Ini tidak bisa diatasi hanya dengan APBN. Saya meyakini BUMN yang punya aktivitas di mana-mana bisa turut membantu.
Lihat saja, dalam program bansos (bantuan sosial) dan sejenisnya, perbankan BUMN ikut semua. Kerja mereka banyak sekali. Misalnya untuk bikin kartu, mereka harus ke lapangan karena saat buka rekening mereka harus verifikasi bahwa orang tersebut tinggal di lokasi yang disebutkan. Bank harus melihat manfaatnya 10 tahun dari sekarang.
Kalau bisnis si pemegang kartu membaik, mereka akan ingat kepada bank BUMN, bukan swasta.
Di luar itu, saya selalu melihat, BUMN itu milik negara, milik rakyat. Jadi, kita harus melakukan yang lebih daripada swasta. Jangan disamakan. BUMN harus bisa menjadi panutan, bukan kebalikan. Bukan melihat swasta, orang seharusnya melihat BUMN!
KONTAN: Ada kritik dari kalangan pebisnis swasta bahwa perusahaan BUMN terlalu banyak menguasai bisnis. Pendapat Anda?
RINI: BUMN itu milik siapa? Milik rakyat, termasuk swasta. Swasta juga semestinya ikut mendukung upaya penguatan BUMN. Kalau BUMN-nya bagus, swasta juga akan terbantu. Misal, Astra bermitra dengan Jasa Marga di jalan tol. Di banyak titik, ada banyak kerjasama BUMN dengan swasta.
Biodata Rini M. Soemarno, Menteri BUMN
Riwayat pendidikan:
- Sarjana Ekonomi Wellesley College, Massachusetts, Amerika Serikat
Riwayat pekerjaan:
- Menteri BUMN
- Menteri Perindustrian dan Perdagangan
- Presiden Direktur PT Astra International Tbk
- Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
- Vice President Citibank N.A. Jakarta
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 8 - 14 Januari 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Kita Kurang Investasi di Proses Lanjutan"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News