kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kompleksitas harga tiket pesawat


Selasa, 14 Mei 2019 / 15:08 WIB
Kompleksitas harga tiket pesawat


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Mengutip data Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo), kenaikan harga tiket pesawat mulai terjadi pada Juni 2018. Saat itu, Garuda Indonesia dan Citilink kompak menaikkan harga tiket mereka masing-masing 14% dan 1%. Hal ini berlanjut pada Oktober 2018, selain dua maskapai tersebut, Lion Air juga ikut menaikkan harga tiket sebesar 36%. Sedangkan pada Januari tahun ini, giliran Sriwijaya Air yang menaikkan harga tiket hingga 51%. Secara rata-rata, kenaikan harga tiket dalam enam bulan terakhir hampir 50% untuk masing-masing maskapai.

Tingginya harga tiket pesawat yang dimotori Grup Lion dan Garuda Group tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Sebagai contoh, harga tiket rute Bandara SoekarnoHatta Jakarta ke Bandara Juanda Surabaya pada hari kerja sekitar Rp 700.000 untuk Lion Air dan Citilink. Sedangkan untuk Batik Air, Sriwijaya Air, dan Garuda Indonesia memasang harga di kisaran Rp 1,3 juta hingga Rp 1,6 juta. Hal berbeda terjadi pada AirAsia. Maskapai ini hanya mematok harga berkisar Rp 500.000 untuk rute sama dan waktu yang berdekatan. Angka tersebut masih sama dengan harga pada Juni Juli 2018, sebelum terjadi kenaikan masif harga tiket di berbagai maskapai.

Buntut panjang dari mahalnya tiket pesawat domestik mulai terlihat dari penurunan jumlah penumpang. Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang angkutan udara domestik pada Februari 2019 sebesar 5,6 juta orang atau anjlok 18,5% dari Februari 2018 sebanyak 6,9 juta. Dibandingkan dengan Januari 2019, jumlah penumpang domestik juga turun 15,46%. Penurunan tersebut lebih besar dari tahun sebelumnya. Pada Februari 2018, penumpang pesawat hanya turun 9,2%.

Tren penurunan jumlah penumpang domestik mulai terlihat sejak Juli 2018 dan berlanjut hingga Februari 2019. Jadi, kecenderungan penurunan jumlah penumpang sejalan tren kenaikan harga tiket pesawat. Tren jumlah penumpang domestik di pertengahan hingga akhir 2018 juga terlihat stagnan dan cenderung turun dibanding 2017. Padahal, sejak awal 2018 penumpang pesawat selalu tumbuh dari bulan yang sama pada 2017.

Selain penurunan penumpang, tingginya harga tiket pesawat juga berkontribusi besar pada inflasi di awal tahun. BPS mencatat, pada Maret 2019, inflasi bertambah 0,11%. Inflasi berjalan sebesar 0,35%. Dari catatan tersebut, kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan terjadi inflasi 0,10%, dengan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,02%. Jika dilihat perkembangannya, andil dari tarif angkutan udara pada Desember 2018 sebesar 0,19%. Kemudian, di Januari 2019 sebesar 0,02%. Angka itu naik sedikit pada Februari 2019 yang sebesar 0,03%. Selanjutnya, pada Maret andilnya sama seperti bulan sebelumnya.

Peta bisnis mengerucut

Yang dikhawatirkan bukan saja perlambatan pertumbuhan pengguna jasa angkutan udara, tapi juga memburuknya iklim bisnis di sektor penerbangan. Karena, ada praktik oligopoli yang kerap memicu terjadinya pengaturan harga oleh para penguasa pasar. Indikasi tersebut terlihat beberapa waktu lalu, saat maskapai yang saling terafiliasi kompak menaikkan harga tiket untuk rute domestik. Sedikitnya jumlah pemain bisnis penerbangan di kancah domestik bisa dilihat dari data rentang waktu 10 tahun terakhir. Yakni, hanya ada satu pemain baru, Batik Air yang melayani full service agency (FSA) dari Grup Lion.

Jika disederhanakan, delapan maskapai besar yang saat ini beroperasi pada rute domestik mengerucut pada empat grup besar. Pertama, Grup Garuda Indonesia dengan Garuda Indonesia di FSA dan Citilink di kelas low cost carrier (LCC). Kedua, Lion dengan tiga maskapai utama, yakni Lion Air untuk LCC, Batik Air di kelas FSA, dan Wings Air untuk rute pendek yang menjangkau wilayah terluar Indonesia. Ketiga, Sriwijaya Group dengan dua maskapai yakni Sriwijaya Air dan Nam Air. Keempat, adalah AirAsia Indonesia, berinduk pada perusahaan Malaysia. Sisanya, empat maskapai yakni Kal Star, Express Air, Trans Nusa, dan Susi Air hanya menjadi maskapai perintis dan menerbangi sebagian kecil rute di wilayah terluar Indonesia.

Belakangan, peta bisnis penerbangan di Indonesia kian mengerucut dengan bergabungnya Sriwijaya dalam kerjasama operasional (KSO) di bawah Citilink pada akhir tahun lalu. Hanya ada tiga pemain besar yang menerbangi langit Indonesia: Garuda Group, Lion Group, dan AirAsia. Kondisi ini berpotensi memunculkan praktik oligopoli. Bahkan, ada kecenderungan mengarah pada duopoli, dominasi pasar oleh dua grup maskapai saja.

Minimnya pemain dalam bisnis penerbangan juga terlihat dari dominasi rute domestik oleh segelintir maskapai. Garuda dan Lion memiliki rute ke semua kota besar yang memiliki arus penumpang yang gemuk. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari flightradar24.com, Garuda setidaknya memiliki 1.054 penerbangan domestik dalam sehari. Angka tersebut disumbang oleh Garuda Indonesia 505 penerbangan, Citilink 284 penerbangan, dan Sriwijaya dengan 265 penerbangan domestik. Sedangkan Lion Group memiliki sedikitnya 819 penerbangan domestik dalam sehari. Sebanyak 543 untuk Lion Air dan 276 penerbangan Batik Air. Adapun AirAsia Indonesia hanya mempunyai 48 penerbangan dalam sehari.

Namun, kendati rute domestik dikuasai oleh Garuda Group, peta pangsa pasar penumpangnya terlihat berbeda. Merujuk data Capa Centre of Aviation, pada 2017 lalu Lion Group menguasai separuh dari pangsa pasar penumpang domestik di Indonesia. Dengan memasukkan Sriwijaya Group ke Garuda, maka pangsa pasar maskapai BUMN itu menjadi 46%. Selanjutnya yang 2% dikuasai AirAsia Indonesia dan sisanya 2% maskapai lain yang tak terafiliasi pada grup manapun.

Apakah harga tiket hanya dipengaruhi faktor asumsi oligopoli tersebut? Rasanya tidak. Ada banyak komponen pembentuk harga tiket angkutan udara. Yang paling krusial adalah harga bahan bakar (avtur), kenaikan biaya operasional, dan depresiasi mata uang. Boleh jadi, pemerintah berhasil mengintervensi Pertamina terkait penurunan 20% harga avtur. Namun, diyakini tidak akan serta merta membuat harga merangsek ke bawah. Misalnya, faktor depresiasi. Dari data yang ada, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) tidak sebanding dengan harga tiket pesawat domestik. Di satu sisi, dari 2016 sampai 2018, kurs rupiah tercatat sudah melemah 170%. Sedangkan di sisi lain, maskapai dari April 2016 belum melakukan penyesuaian harga tiket, padahal harga avtur sudah meroket 165% dalam periode tersebut.♦

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×