Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Tri Adi
Dua puluh tahun sudah kita menjalani reformasi setelah melalui gelombang krisis moneter yang amat dahsyat di tahun 1997-1998. Ibarat bahtera, selama dua dekade itu pula Indonesia mengarungi samudera yang penuh gelombang. Banyak kemajuan sudah kita capai, namun masih ada pula berbagai masalah serius yang harus dibenahi. Salah satunya di industri perbankan.
Sedikit kilas balik, akibat badai krisis moneter (krismon) Asia yang bertiup mulai tahun 1997, kurs rupiah pun anjlok, dana asing berebut keluar (capital outflow), politik bergejolak, dan ekonomi terpuruk. Perbankan pun terlilit masalah serius. Himpitan kredit valas yang begitu besar, kredit macet yang menggunung, ditambah rush money besar-besaran, membuat ratusan bank sakit parah.
Selaku lender of the last resort, Bank Indonesia melakukan operasi penyelamatan. Sejumlah bank memperoleh suntikan BLBI dan obligasi rekapitalisasi ratusan triliun rupiah, yang kuponnya terus membeba- ni keuangan negara hingga bertahun-tahun kemudian. Namun sebagian bank terpaksa mati. Di tahun 2000, tersisa 151 bank dari sekitar 238 bank sebelum krisis.
Dua puluh tahun reformasi, industri perbankan sudah berbenah dan jauh lebih kuat. Hal ini bisa dilihat dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) yang per Maret lalu mencapai 22,67% dan rasio kredit bermasalah (non performing loan/ NPL) gross 2,75%. Bandingkan dengan CAR perbankan nasional yang di puncak krisis 1998 sebesar
-15,68% (minus 15,68%) dengan NPL 72,37%.
Namun, ada masalah yang masih membelit. Konsolidasi perbankan kita masih tercecer jauh di belakang negara tetangga. Per Maret 2018 jumlah bank di Indonesia masih begitu banyak: 115 bank. Padahal menurut pakar, jumlah ideal bank di Indonesia sekitar 20 bank, atau maksimal 50 bank.
Bandingkan dengan negara tetangga yang sudah berhasil konsolidasi melalui akuisisi dan merger, seperti Singapura dan Malaysia yang jumlah banknya tak sampai 10 bank. Alhasil, meskipun jumlah bank mereka jauh lebih sedikit, namun aset dan kapasitasnya jauh lebih jumbo.
Di 2017 lalu, tak ada satu pun bank dari Indonesia yang masuk dalam daftar 10 besar bank di ASEAN dengan aset terbesar. BRI dan Bank Mandiri berada di urutan 11 dan 12 dengan aset masing-masing sekitar Rp 1.100 triliun, cuma 1/5 dari total aset DBS Group Holding, bank dengan aset terbesar di ASEAN, yakni sebesar Rp 5.300 triliun.
Andai kata ada konsolidasi, semisal Bank Mandiri dan BNI, maka asetnya akan langsung melejit ke posisi lima besar ASEAN dengan nilai aset sekitar Rp 1.800 triliun. Agaknya benar kata ekonom UI Faisal Basri, konsolidasi perbankan kita tertinggal dari negara tetangga, “Karena solusinya bukan merger dan akuisisi, melainkan pembentukan holding!”
Menjelang berlakunya pasar bebas ASEAN di sektor keuangan mulai tahun 2020, Indonesia harus ngebut mengonsolidasi perbankan. Agar mampu bersaing di level regional, perbankan perlu konsolidasi untuk memperbesar modal dan kapasitas. Konsolidasi juga membuat bank memiliki jaringan lebih luas, lebih efisien, dan lebih gesit melakukan investasi dan inovasi di bidang teknologi. Konsolidasi perbankan juga akan mempermudah pengawasan oleh regulator.
Agar bisa berlari lebih kencang, perekonomian Indonesia mutlak membutuhkan perbankan yang kuat sebagai jantung yang akan memompakan darah ke seluruh jaringan perekonomian. Untuk itu, alih-alih butuh entitas bank dalam jumlah ratusan, Indonesia butuh bank besar, kuat, memiliki jaringan yang luas, dan kemampuan penetrasi yang tajam. Tak ada jalan lain, pemerintah harus mendorong konsolidasi itu secara cepat melalui strategi dan kebijakan yang lebih mengena. Waktu tak banyak, sebelum pasar bebas keuangan ASEAN terbuka lebar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News