kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kontroversi Impor Beras


Rabu, 24 Maret 2021 / 07:14 WIB
Kontroversi Impor Beras
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Wacana impor beras yang digulirkan pemerintah belum lama ini menuai banyak kontroversi hingga pada hari ini. Mulai dari para petani yang tergabung dalam organisasi di berbagai daerah sentra produksi padi tanah air hingga seorang gubernur, semua menyuarakan penolakan terhadap rencana impor beras tersebut.

Pada umumnya mereka menyampaikan bahwa saat ini para petani ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sebelumnya, saat tanam padi para petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun ketika panen tiba, harga jual gabah terpuruk. Saat ini gabah kering panen (GKP) harganya jatuh dalam kisaran Rp 3.400 hingga Rp 3.600 per kilogram. Tahun-tahun sebelumnya harga selalu di atas Rp 4. 000 per kilogram, bahkan pada 2020 lalu mencapai Rp 4.700 per kilogram. Mereka berharap pemerintah dan Perum Bulog segera menolong, bukan malah mewacanakan impor beras.

Seperti sudah banyak diberitakan, dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan Tahun 2021, Kamis (4/3/2021), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan bahwa pemerintah akan mengimpor beras satu juta ton. Adapun rinciannya, 500.000 ton untuk cadangan beras pemerintah (CBP), sedangkan sisanya yang sebanyak 500.000 ton untuk kebutuhan komersial Bulog.

Menurut hemat penulis, rencana impor beras yang akan dilakukan pemerintah tersebut sangat ironis dan sangat melukai hati petani. Betapa tidak, di tengah harga jual gabah petani terpuruk serta di tengah prediksi membaiknya capaian kinerja produksi padi nasional, namun pemerintah justru membuat kebijakan yang tidak berpihak pada petani.

Berdasarkan data kerangka sampling area (KSA), Badan Pusat Statistik memprediksi produksi gabah kering giling (GKG) sepanjang Januari 2021-April 2021 akan mencapai 25,54 juta ton (14,54 juta ton setara beras). Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan produksi pada periode yang sama Januari 2019-April 2019 yang mencapai 23,78 juta ton GKG (13,63 juta ton setara beras) serta periode Januari 2020-April 2020 yang mencapai 19,99 juta ton GKG (11,46 juta ton setara beras).

Nah, rencana impor beras kali ini menjadi bukti tak terbantahkan dari kekhawatiran penulis terhadap ancaman liberalisasi pangan di negeri ini setelah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan.

Banyak pasal perlindungan petani berkaitan dengan impor pangan yang dihapus dalam Undang Undang Cipta Kerja. Satu diantaranya yang dihapus adalah pasal 15 (1) Undang Undang No 18/2012 tentang Pangan yang berbunyi: "Pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan".

Kanal baru penyaluran

Kondisi terpuruknya harga gabah petani ini sudah diprediksi para pengamat jauh hari sebelumnya. Seperti kita ketahui, sejak tahun 2018 program beras bersubsidi untuk warga miskin atau raskin juga beras bagi keluarga pra sejahtera sejahtera (rastra) berubah menjadi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan kepada masyarakat tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja penyaluran beras pemerintah.

Sebelumnya, melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, mengamanatkan kepada Perum Bulog sebagai public service obligation (PSO), untuk melakukan pembelian gabah dan beras petani untuk kebutuhan cadangan beras pemerintah (CBP) dan program raskin serta rastra. Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan tersebut menjadikan kanal penyaluran beras pemerintah menyempit.

Akibat kebijakan ini stok beras pemerintah menumpuk di gudang-gudang Bulog. Hal itu disebabkan kontribusi beras Bantuan Program Non tunai (BPNT) terhadap kebutuhan beras keluarga penerima manfaat (KPM) sangat kecil.

Studi yang dilakukan Benny Rachman dkk (2018), menyebutkan bahwa kontribusi beras BPNT terhadap kebutuhan beras KPM hanya mencapai 25%-34%. Kinerja Perum Bulog sebagai stabilisator harga gabah/beras petani melalui mekanisme harga pembelian pemerintah (HPP) seperti amanat Inpres Nomor 5/2015 juga nyaris tidak berjalan.

Untuk itu pemerintah harus secepatnya menciptakan kanal baru penyaluran beras. Salah diantaranya dengan kebijakan penyaluran beras melalui golongan anggaran. Pada era tahun 90-an pemerintah pernah memberikan tunjangan dalam bentuk beras bagi PNS/TNI/Polri pada komponen gaji bulanan.

Saat ini tunjangan pangan tersebut diwujudkan dalam bentuk uang. Sebagai bentuk pembelaan kepada petani, pemerintah dapat mengembalikan tunjangan pangan tersebut dalam bentuk beras yang diperoleh dari hasil pembelian gabah/beras petani tanpa membebani APBN.

Upaya pembelaan petani sebenarnya sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi pernah menyampaikan pernyataan yang viral terkait ajakan membenci produk luar negeri.

Ketika beberapa hari kemudian diumumkan rencana impor beras satu juta ton, penulis membacanya sebagai kondisi disharmoni dari orkestrasi penyelenggaraan pemerintahan rezim ini. Instruksi presiden selaku dirigen tidak serta merta diindahkan dan dipatuhi oleh anak buah.

Oleh karena itu untuk menghindari kesan bahwa komitmennya sekedar lip service, selayaknya Presiden Jokowi mengevaluasi para penentu kebijakan pangan yang masih terjangkiti penyakit myopic. Penyakit yang memandang peran pangan dalam domain sempit, karena akses impor sangat mudah dilakukan.

Tidak terpikir di benak mereka bahwa kebiasaan impor pangan ini menyakiti petani dan bisa mengakibatkan negeri ini masuk dalam jebakan pangan (food trap). Langkah tegas Presiden Jokowi diperlukan karena Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sudah mengingatkan bahwa negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak akan pernah dapat menyejahterakan rakyatnya selama kebutuhan pangan selalu diimpor.

Lagi pula, pengalaman empiris tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan panen beras di pelabuhan (baca: impor beras) semangatnya lebih kental perburuan nuansa rente yang mesti dihentikan.

Seharusnya kebijakan impor pangan ditempatkan sebagai bagian dari solusi dan strategi pangan bangsa dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Bukan sekedar kebijakan ad hoc layaknya pemadam kebakaran.

Penulis : Toto Subandriyo

Pengamat Sosial Ekonomi Pertanian, Alumnus Institut Pertanian Bogor

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×