| Editor: Tri Adi
Merajalelanya praktik korupsi di Indonesia saat ini berdampak buruk terhadap kinerja perekonomian. Efek korupsi telah menghambat roda pembangunan atau secara teorinya disebut sand the wheels hypothesis.
Buktinya adalah walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi, tapi ketimpangan ekonomi (inequality) juga tinggi. Ini terjadi karena terhalangnya distribusi sumber daya ekonomi ke semua lapisan masyarakat karena disandera oleh praktik korupsi.
Kenapa hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah perekonomian Indonesia dijalankan dengan sistem kroni. Contohnya terjadi di sektor kelapa sawit, hanya lima perusahaan yang menguasai 75% tata niaga minyak sawit di Indonesia. Selain menguasai sektor kelapa sawit, mereka juga menguasai sektor keuangan, pertambangan, kehutanan dan sebagainya. Inilah yang mendorong Crony-Capitalism Index (CCI) Indonesia tertinggi nomor ketujuh di dunia.
Karena itu, ketimpangan ekonomi di Indonesia sangat tinggi. Laporan Oxfam (2017) menunjukan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan melebihi kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan produktif di Indonesia.
Penyebab semua ini adalah para kroni tersebut memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan usaha mereka. Malahan, banyak desain kebijakan ditelurkan berdasarkan kepentingan mereka. Sehingga negara menjadi terbelenggu oleh kekuatan tersebut.
Menghapus ketimpangan
Menurut salah seorang ekonom terkemuka dari Harvard University, Vito Tanzi dalam bukunya ‘Government versus Markets: The Changing Economic Role of the State’ (2011) menyebutkan korupsi menurunkan kemampuan pemerintah mencegah dan mengendalikan kegagalan pasar. Kondisi ini terjadi di Indonesia.
Bukannya memperbaiki dan memberantas sistem kroni ekonomi melalui pemberantasan korupsi, yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan pelemahan pemberantasan korupsi justru sering terjadi dari unsur pemerintah sendiri.
Kasus pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu bentuk tidak adanya komitmen pemerintah memberantas korupsi dan memperbaiki struktur ekonomi yang sudah tersandera oleh koruptor.
Malahan, Pansus Hak Angket DPR sudah sampai pada titik nadir ingin membekukan KPK dan mempreteli sebagian wewenangnya, seperti: penyadapan, penuntutan dan operasi tangkap tangan. Ini jelas menjadi ancaman besar terhadap pembenahan pembangunan ekonomi ke depannya.
Jelas, pembiaran terhadap pelemahan KPK akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi terutama upaya memperbaiki ketimpangan ekonomi yang menjadi agenda pemerintah. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus ditempatkan sebagai garda depan merestrukturisasi pembangunan ekonomi dengan target menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (good growth).
Untuk mencapai hal tesebut, ada beberapa kebijakan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mengutamakan upaya pemberantasan korupsi yang bersentuhan langsung terhadap ketimpangan ekonomi, seperti: sektor sumber daya alam, pendidikan dan kesehatan.
Sektor ini harus diawasi dengan ketat terhadap praktik lancung tikus-tikus koruptor karena menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber utama pertumbuhan ekonomi. Negara tidak boleh kalah terhadap para koruptor.
Kedua, pemerintah harus mendesain ulang model penguasaan ekonomi yang terlalu berpihak pada segelintir kelompok yang menjalankan praktik bisnis secara kroni terutama di sektor sumber daya alam. Perlu adanya pembatasan penguasaan sumber daya alam dan memperluas akses masyarakat kecil serta memperkuat peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketiga, memperkuat KPK, tidak saja dalam hal penindakan tapi memperkuat fungsi pencegahan. Dalam model korupsi yang sistemik, mengakar di semua lapisan dan dikuasai oleh sistem kroni, perlu upaya keras untuk mengatasinya. Fungsi penindakan tidak cukup, harus adanya upaya sistematis dalam fungsi pencegahan yang saling terintegrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News