kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Korupsi, politisi, dan masyarakat permisif


Minggu, 18 Agustus 2019 / 09:05 WIB
Korupsi, politisi, dan masyarakat permisif


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Patologi korupsi tak kunjung berhenti mencekik bangsa ini. Meski silih berganti koruptor, mulai dari kelas teri sampai mastodon, dijebloskan ke penjara, namun nyatanya belum bisa menghentikan adrenalin membegal uang rakyat.

Kamis lalu (8/8), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat negara terkait suap impor bawang putih. 11 orang diamankan dalam OTT tersebut, mulai dari pengusaha importir hingga orang kepercayaan anggota DPR-RI. Dugaan besar uang suap senilai Rp 2 miliar, yang merupakan bukti transaksi dan sudah diamankan KPK, akan diserahkan ke salah satu anggota DPR bagian komisi perdagangan.

Terakhir (Selasa 13/8), KPK baru saja menetapkan empat tersangka baru kasus e-KTP yang menelan kerugian negara sebesar Rp. 2,3 triliun. Salah satu dari keempatnya itu adalah mantan anggota DPR.

Hembusan aroma korupsi melibatkan elite negara khususnya anggota DPR bukan menjadi hal baru di sini. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada 254 anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi sepanjang 2014-2019 dan 22 orang di antaranya adalah anggota DPR-RI. Yang lebih memprihatinkan, sebagian justru adalah orang-orang penting di DPR, seperti mantan Ketua DPR Setya Novanto dan mantan Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan, yang kini sudah mendekam dalam hotel prodeo.

Ketagihan para aktor politik melakukan praktik yang menelikungi prinsip etika dan moral kekuasaan tersebut sepertinya sudah mengubun-ubun dalam konstruksi penadbiran kita. Ini tidak bisa dilepaskan dari gejolak ekspansi politik monetisme ke dalam ruang-ruang demokrasi kita dalam beberapa tahun terakhir.

Demokrasi yang mengakomodasi sistem perwakilan daftar terbuka dengan konsekuensi pada politik berbiaya tinggi, menjadikan para politisi kita semakin terperangkap di dalam ruang kebutuhan absolut untuk mengadopsi mental dan perilaku predator (suka menjarah/merampok) ke dalam prinsip dan habitus politik elektoralnya.

Para politisi berlomba-lomba berafiliasi dengan para sponsor/pemodal untuk mempermulus seorang kandidat dan kemenangannya di pemilu. Setelah terpilih, dimulailah transaksi balas budi politik lewat berbagai kebijakan (kontrak pemerintah dalam hal pembangunan jalan, penyediaan barang, perijinan, akses terhadap program kesejahteraan sosial, dan lainnya) yang bukan saja bersifat subjektif-pragmatis, namun juga kebijakan itu dirancang untuk lebih berpihak kepada kepentingan para penyokong dana.

Akibatnya momentum bagi pemimpin atau kepala daerah untuk menunaikan janji kepada rakyat digerogoti oleh kesibukan mengembalikan modal.

Jefrey Winters dalam Oligarchy (2011) menyebut pola tersebut sebagai etos bagi-bagi, yakni pemilik modal, politisi, termasuk perangkat birokrasi yang memiliki andil di balik kemenangan politik, saling berbagi saham. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Aspinall dan Ward Brenschot yang dibukukan dengan judul: Democracy for Sale (2019), hampir 70% pengamat menilai bahwa lebih dari 40% dari kontrak besar yang disediakan oleh pemerintah diberikan sebagai imbalan kepada para pendukungnya selama pemilihan. Sebagian besar pengamat juga menilai bahwa lebih dari 60% PNS papan atas menerima posisi mereka sekarang sebagai imbalan dukungan mereka selama kampanye.

Tidak heran jika budaya dan mental pelayanan publik kita masih memburuk karena diisi oleh politisi atau birokrat medioker yang nir-kapabel. Mereka memperoleh kemenangan dalam kontestasi ataupun seleksi jabatan bukan karena kompetensi yang dimiliki tetapi karena relasi mutualisme pragmatisme yang membajak objektifitas dan akal sehat.

Masyarakat permisif

Lebih mengenaskan lagi, di Indonesia korupsi makin menjadi-jadi sebagai budaya karena masyarakat pun bersikap pragmatis, lebih memedulikan isi kantong calon pemimpinnya daripada kompetensi dan sepak terjang etika dan moralnya. Rekam jejak prestasi dan integritas bukanlah perhitungan utama bagi masyarakat dalam memilih pemimpin atau wakil rakyat.

Permisifitas masyarakat ini boleh jadi karena mereka tidak pernah melihat sikap otentik para elitenya dalam melawan praktik korupsi, misalnya memberi hukuman tegas dan maksimal (seumur hidup dan pemiskinan) kepada para elite yang telah merampok uang negara.

Menurut Kitschelt dalam Linkage Beetwen Citizen and Politicians in Democratic Politics (2000), masyarakat seperti itu lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada menjaga rasionalitas dalam memilih karena bagi mereka kualifikasi dan integritas calon tidak berimplikasi langsung bagi kesejahteraannya. Sedangkan mereka tengah dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan hidup setiap detik.

Dalam tata kelola demokrasi yang efektif dan substansial, eliminasi korupsi di level elite mestinya bisa diperkuat seandainya masyarakat memiliki daya kritis menghukum (calon) pemimpin korup terutama di dalam proses rekrutmen hingga pemilihan calon pemimpinnya. Jika masyarakat kita masih terus mementingkan kepentingan sesaat, maka rakyat tak ubahnya ikut menabuh genderang tarian bagi parpol untuk terus mempromosikan kader-kader cacat integritas atau eks-koruptor di pilkada maupun di pemilu. Hal ini juga akan berefek buruk bagi pembangunan demokrasi kita.

Bagaimanapun banalitas korupsi di parpol maupun masyarakat haruslah dipotong sampai akar-akarnya. Kita ingin negeri ini tidak menjadi tempat persemaian benih-benih koruptor yang menggerus dana-dana kesejahteraan rakyat. Menurut data The Borgen Project tahun 2018, korupsi terbukti telah memakan uang negara sebesar US$ 401,45 juta. Nilai tersebut jelas sangat berharga di tengah bangsa ini sedang berupaya membangun jangkar basis ekonominya untuk menjadi kampiun ekonomi dunia.

Sambil berharap institusi hukum tegas dan tak pandang bulu menghukum koruptor, kita menuntut adanya kesadaran revolusioner dari elite parpol untuk melindungi proses pemilihan kandidat di tubuh parpol dari rezim politik uang, termasuk dengan sejak dini membangun dan membangun tradisi nalar programatik dan meritokratis di dalam kerja ideologis parpol. Ini penting untuk menghasilkan elite parpol yang bekerja dengan standar ideologis dan moral, sehingga proses reformasi institusi kepartaian bisa berjalan dengan baik.

Ke depan untuk menghasilkan antibodi terhadap korupsi, parpol harus segera mendesain sistem pembiayaan politik yang murah sebelum pemilu 2024, dalam rangka mendestruksi siklus politik monetisme di tubuh parpol. Karena kita tahu, politik uang akan terus memberikan magnitudo korupsi yang besar. Dan ini akan mengancam masa depan demokrasi serta kesejahteraan rakyat di negeri ini.♦

Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×