Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Tri Adi
Turki tengah menjadi pusat perhatian investor dunia. Negeri yang masuk wilayah Eropa ini tengah dirundung masalah serius, yakni krisis mata uang.
Sepanjang tahun ini, mata uang lira terjun bebas hingga lebih dari 40% dan sempat menyentuh rekor terendah sepanjang masa terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pada Senin (13/8).
Depresiasi lira ini mencemaskan investor global. Mereka khawatir dengan efek domino krisis yang dialami Turki. Sebab, rontoknya kurs lira bisa berdampak serius ke perekonomian Turki yang memiliki produk domestik bruto (PDB) sekitar US$ 900 miliar tersebut.
Turki termasuk negara dengan tingkat utang luar negeri yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Turki banyak ditopang dari utang asing ini. Utang luar negeri swasta bahkan hampir setara 40% output perekonomian Turki. Korporasi Turki harus berjuang untuk membayar sekitar US$ 223 miliar utang dalam dollar AS dan euro.
Itu belum termasuk utang Pemerintah Turki. Alhasil, saat lira melempem risiko utang Pemerintah Turki makin meningkat. Imbal hasil surat utang tenor 10 tahun naik ke rekor tertinggi yakni 22,11%. imbasnya, credit default swap (CDS) Turki naik 75 basis poin menjadi sebesar 453 basis poin level tertinggi sejak Maret 2009.
Nah, krisis Turki bisa berefek karambol lantaran bank-bank Eropa banyak memiliki aset di Turki. Bukan itu saja, bila lira kian terpuruk akan berisiko memberi tekanan besar ke sektor perbankan Turki karena sepertiga dari pinjaman bank negara itu dalam mata uang asing.
Tak pelak, krisis mata uang Turki langsung mengundang kepanikan para investor global dengan melakukan aksi jual dan beralih ke aset safe haven sejak akhir pekan lalu. Mereka cemas, krisis keuangan Turki bisa merembet.
Pasar keuangan Indonesia pun tak luput dari efek krisis Turki. Senin (13/8), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) longsor 3,55% ke level 5.861,25. Pun kurs rupiah di pasar spot, ditutup melemah 0,9% ke level Rp 14.608 per dollar AS.
Efek domino dari pasar keuangan global seperti ini yang mesti diwaspadai Indonesia. Meski fundamental ekonomi Indonesia cukup baik tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang di atas perkiraan.
Namun sejatinya masih ada bolong yang bisa merusak kepercayaan pasar, yakni defisit transaksi berjalan yang kian melebar. Ini pekerjaan rumah yang harus segera diperbaiki Indonesia.•
Khomarul Hidayat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News