kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kualitas wisatawan semakin penting


Senin, 02 September 2019 / 12:00 WIB
Kualitas wisatawan semakin penting


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Baru-baru ini beredar rekaman perilaku tidak etis sepasang wisatawan asing di sebuah pura di Bali. Sikap tidak pantas yang kerap kali ditunjukkan para tamu asing di Bali melukai tidak hanya warga Bali, tetapi para pecinta alam dan budaya Bali. Selama ini, masyarakat bangsa ini berupaya menjaga tatanan Bali, agar terjaga kesucian dan kelestarian nilai-nilai luhur yang lama berakar dalam kehidupan sehari-hari di Bali.

Tak hanya itu, ulah wisatawan asing di Bali juga merugikan, mencelakakan, dan membahayakan masyarakat kita. Seorang bule yang mengaku mabuk, menabrakkan diri ke sebuah mobil yang sedang melintas di area Kuta. Dia juga menendang pengendara motor yang akan berangkat kerja hingga korban jatuh dari kendaraannya. Bukan cuma itu, kemarahan juga dia lanjutkan di sebuah minimarket. Dua perilaku tak pantas dari para tamu kita itu semakin memperjelas pentingnya penyaringan dari setiap tamu yang akan datang.

Hal yang kontras, film dokumenter budaya Bali karya sutradara Livi Zheng berjudul Bali: Beats of Paradise yang tayang di bioskop di Tanah Air pada 22 Agustus 2019. Sebelumnya, film yang mengangkat kisah seniman gamelan Bali yang menjadi dosen di Amerika Serikat itu tercatat masuk dalam seleksi Piala Oscar 2019 untuk nominasi Best Picture. Kehadiran film tersebut di satu sisi menjadi promosi yang baik untuk pariwisata Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Di sisi lain menjadi perhatian publik dalam negeri akan eksistensi Bali akhir-akhir ini.

Bahkan, di tengah antusiasme publik di dalam negeri menyambut film tentang gamelan Bali yang mendunia, fakta tentang perilaku tidak etis, brutal, dan arogan yang ditampilkan para tamu asing menjadi kontradiksi yang menyedihkan. Telah lama digagas pentingnya seleksi bagi para tamu asing yang akan masuk ke Bali. Namun, secara teknis hal tersebut belum diatur dan dipikirkan secara detil.

Meski demikian, rintisan untuk menerima tamu secara lebih selektif perlu dimulai. Dasarnya adalah, semakin dibutuhkan tamu mancanegara yang berkualitas, tidak lagi mengejar jumlah kunjungan tetapi tingkat pengeluaran dan lama tinggal. Asumsinya, saat ini dengan tingkat kunjungan yang ada, di masa selanjutnya perlu dipertimbangkan potensi tingkat konsumsi dan perilaku wisatawan mancanegara yang tidak merugikan kehidupan sosial di destinasi yang mereka kunjungi.

Model wisata yang ditawarkan pun perlu semakin diprioritaskan pada segmentasi yang relevan dengan turis berkualitas. Pertama, meeting, incentive, conference, exhibition (MICE). Segmentasi pasar MICE hampir dipastikan memiliki daya beli yang bagus, lebih well educated, dan punya kecenderungan perilaku yang adaptif dengan norma sosial di dalam negeri. Karena itu, segenap potensi yang dimiliki daerah, dianjurkan untuk berbenah lebih serius untuk mendatangkan tamu dari segmentasi industri ini.

Event atau acara yang kerap kali mendatangkan wisatawan berkualitas terdiri dari budaya, olahraga, dan musik. Lombok, misalnya, dengan kehadiran Mandalika yang akan memiliki sirkuit MotoGP dan Formula 1 bisa menarik minat berkunjung para pecinta olahraga tersebut. Sport tourism menjadi acara berkualitas yang diharapkan juga akan mampu menarik segmen wisatawan yang memiliki motivasi yang baik untuk berkunjung. Bahkan kabarnya, potensi pasar internasional untuk dua olahraga itu tidak hanya disediakan akomodasi di Lombok tapi juga Bali.

Dampak berganda dari wisata olahraga ini tidak hanya bagi tempat penyelenggaraan dan terbatas pada waktu penyelenggaraan saja. Citra daerah sebagai tuan rumah penyelenggara acara juga akan terdongkrak positif. Persiapan sebelum penyelenggaraan juga memberikan manfaat ekonomi tuan rumah.

Wisata alam dan budaya

Kedua, segmentasi ekowisata. Jenis wisata yang menyelaraskan kelestarian alam dan budaya dengan kegiatan wisata berbasis masyarakat ini kurang tergarap dengan baik di Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki 50 taman nasional (TN) yang tersebar di berbagai pulau. Yakni, Bali dan Nusa Tenggara (6 TN), Jawa (12 TN), Kalimantan (8 TN), Maluku dan Papua (5 TN), Sulawesi (8 TN), dan Sumatra (11 TN). Sekitar enam dari 50 TN tersebut diakui UNESCO sebagai world heritage sites. Misalnya, TN Komodo dan TN Ujung Kulon (diakui tahun 1991), TN Lorentz (diakui tahun 1999), TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan (diakui 2004).

Segmentasi ekowisata meskipun memiliki karakter selektif dalam kunjungan, diprediksi memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi. Dalam sebuah wawancara yang penulis lakukan penulis dengan pelaku usaha adventure, bahwa pengeluaran per wisatawan asing untuk mendaki gunung di Indonesia di atas Rp 100 juta dengan durasi waktu seminggu. Wisatawan ekowisata lebih serius dan niat dalam berwisata. Selain bisa dipastikan, mereka tidak akan mengganggu apalagi merusak tatanan nilai sosial budaya dan kelestarian alam di Indonesia. Juga, mereka tak segan untuk mengeluarkan dana dalam jumlah yang besar sebagai apresiasi terhadap lingkungan hidup di negara-negara yang dikunjungi.

Melalui momentum penayangan film Bali: Beats of Paradise, maka prinsip dan praktik responsible tourism sebagai bagian dari gelombang baru new tourism menjadi market leader.

Ini bisa jadi salah satu pertimbangan penting ketika seseorang melakukan perjalanan wisata ke suatu daerah atau negara dan layak untuk mulai diterapkan di Bali.

Selain itu, berkah yang dimiliki bangsa Indonesia melalui keberadaan TN yang eksotik, unik, dan tiada duanya di dunia, juga perlu dikelola sedemikian rupa untuk kepentingan pariwisata yang bertanggungjawab di satu sisi. Sisi lain berarti mengedepankan prinsip serta praktik konservasi di dalamnya.

Bali telah memikat banyak orang untuk datang. Pendasaran yang kuat dalam paham dan praksis hidup penghargaan dan penghormatan yang tinggi dalam hal relasi dengan Sang Pencipta, alam, dan semesta, terasa nyata. Juga, praksis tidak berdendam dan Tat Twam Asi yang menjadi inti moral dalam menjaga pluralitas, terasa melengkapi keindahan alam dan budaya Bali. Untuk itu, seharusnya wisatawan mancanegara yang datang ke Bali juga memiliki personifikasi yang serupa.

Bali yang menjadi "dentuman Surga" akan menjadi berkah bagi yang memiliki niat baik untuk datang dan tinggal di dalamnya. Elizabeth Gilbert yang populer dalam buku dan film berjudul Eat, Pray, Love, persis menggambarkan Bali yang akan menjadi berkat bagi semua orang yang punya niat baik.♦

Dewa Gde Satrya
Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya, Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×