Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Tri Adi
Film Hollywood acapkali menyajikan adegan penunjuk waktu yang berjalan mundur. Semakin dekat dengan angka 0—yang artinya bom meledak—penonton dibuat tegang. Biasanya dalam adegan, para jagoan atau pihak berwajib berupaya menjinakkan berjalannya penunjuk waktu tersebut.
Mereka harus berlomba dengan waktu. Itulah yang terjadi dengan kondisi dua perusahaan asuransi Indonesia: Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Seperti yang kita tahu, kedua perusahaan asuransi paling uzur tersebut terantuk masalah likuiditas.
Masalah Jiwasraya, perusahaan asuransi milik pemerintah ini harus menerbitkan medium term notes (MTN) Rp 500 miliar untuk mencicil klaim asuransi yang jatuh tempo. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menunggu upaya penyehatan yang akan ditempuh Jiwasraya. "Mereka menawarkan roll over. Kalau mau diperpanjang, diberi insentif bunga 7,7% untuk satu tahun ke depan," ujar Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi (Harian KONTAN, 28 Juni 2019).
Berdasarkan informasi yang diterima KONTAN, masalah likuiditas Jiwasraya berasal dari kesalahan meracik strategi penempatan dana investasi oleh manajemen lama Jiwasraya dari produk JS Proteksi yang diterbitkan pada tahun 2013.
Investasi dari premi yang terkumpul dipindahkan dari surat utang negara ke saham lapis ketiga. Hasil investasi minus, Jiwasraya kesulitan likuiditas. Klaim jatuh tempo per bulan sekitar Rp 1,9 triliun.
Sementara di AJB, OJK menyebut ketidakcocokan (mismatch) likuiditas hingga Rp 20 triliun itu total kewajiban AJB Bumiputera baik yang belum dan sudah jatuh tempo dibanding total aset. Nilai itu berdasarkan periode keuangan Mei 2019. Dari nilai itu, ada yang sudah dibayar dan sebagian ditunda.
Persoalan AJB Bumiputera bertambah ruwet setelah Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912 Nurhasanah terkesan jalan sendiri, mencopot Direktur Utama AJB Bumiputera Sutikno Widodo Sjarif.
Jiwasraya memiliki 6 juta pemegang polis. Adapun AJB 5,5 juta. Keduanya merupakan perusahaan kakap yang boleh dibilang masuk kategori too big to fail. Pemerintah dan OJK harus segera bergerak cepat. Mereka berlomba dengan waktu. Jumlah klaim berjalan terus. Jangan sampai klaim tersebut tak terbayar dan membesar. Sampai akhirnya meledak. Amit-amit.♦
Ahmad Febrian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News