kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Lampu hijau mobil listrik


Jumat, 23 Agustus 2019 / 11:10 WIB
Lampu hijau mobil listrik


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Selamat datang babak baru industri otomotif. Indonesia resmi memasuki era kendaraan ramah lingkungan. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan. Beleid ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan menjadi lampu hijau bagi mobil listrik untuk melaju di jalanan.

Pelaku industri pun menyambut sumringah. Pasalnya, aturan tersebut bakal memuluskan pabrikan otomotif untuk memboyong barisan mobil listriknya ke Indonesia. Sebelumnya, mereka hanya menunggu kepastian yang tak menentu soal regulasi tersebut. Padahal, di tingkat dunia, berbagai negara telah memberi karpet merah bagi mobil listrik ini.

Regulasi mobil listrik mengingatkan kita pada letupan ekonomi digital yang dipelopori ojek dan taksi dalam jaringan (daring) atau online, serta jual beli berbasis elektronik (e-commerce) beberapa tahun lalu. Aturan terkait kedua industri digital ini berburu waktu dengan arus ekonomi berbasis internet yang tak terbendung. Era mobil listrik memang merupakan bagian dari derap revolusi industri 4.0 yang riuh dibicarakan.

Kendaraan ramah lingkungan adalah tren global. Terlihat dari armada mobil listrik yang tumbuh eksponensial. Per 2019, populasi mobil listrik yang lalu lalang di seantero dunia sudah menembus angka 5,6 juta unit. Jumlah ini merangsek naik 64% dari jumlah tahun 2018. Demikian dilansir oleh yayasan nonprofit, Centre for Solar Energy and Hydrogen Research Baden-Wrttemberg yang berbasis di Stuttgart, Jerman.

Ada banyak konsekuensi dari Perpres mobil listrik, salah satunya harga yang lebih terjangkau menjadi harapan utama konsumen. Mobil listrik memang harusnya lebih murah agar jadi mobil rakyat atau biasa disebut mobil sejuta umat. Bila bisa terealisasi, dampak kebijakan ini cukup masif, termasuk dalam mengurangi polusi udara. Mobil listrik ini bisa menurunkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang membebani neraca perdagangan (impor) dan APBN karena subsidi.

Perpres 55/2019 yang memuat banyak insentif diharapkan mendorong pabrikan memproduksi mobil listrik sesuai dengan profil pendapatan masyarakat Indonesia dan tanpa struktur pajak berlapis yang membuat harganya wah. Sebab di tingkat global pun mobil listrik yang dijual saat ini sebetulnya termasuk masih berharga premium.

Kabar baiknya, Perpres mobil listrik sudah mengatur secara komplit dalam skala industri, termasuk mendorong manufaktur sebagai elemen pendukung. Alhasil, rantai pasok (supply chain) industri mobil listrik dapat diandalkan berkontribusi bagi perekonomian.

Dalam beleid ini juga tertuang secara rigid angka Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Pabrikan otomotif harus memenuhi angka 80% kandungan lokal hingga tahun 2029. Di masa transisi 2019 sampai 2021 bahkan, TKDN sudah harus mencapai angka minimum 35%. Artinya, pabrikan harus konkret menyatakan komitmen investasinya di industri. Agar dapat menikmati serangkaian insentif yang diberikan oleh pemerintah, termasuk pembebasan aneka jenis pajak yang berpengaruh terhadap harga (pasar).

Sebagai acuan, TKDN mobil bermesin bahan bakar fosil saat ini mencapai 85%. Angka ini diperoleh setelah puluhan tahun. Membangun industri otomotif dari hulu ke hilir memang butuh waktu dan periode transisi.

Jenis mobil listrik

Masa peralihan merupakan ajang edukasi bagi masyarakat dalam mengenal teknologi mobil listrik. Teknologi yang sama sekali berbeda dengan era mobil bahan bakar, termasuk bakal mengubah pola perilaku masyarakat selaku pengguna kendaraan.

Dalam perkembangannya, kita mengenal empat jenis mobil listrik. Pertama, Mild hybrid. Ini sistem paling sederhana dari adopsi mobil listrik. Beberapa pabrikan yang menerapkan ini bahkan tidak mengklaim sebagai mobil listrik. Pasalnya, memang hanya merekayasa aspek kelistrikan internal yang tak berkonsekuensi langsung ke mesin penggerak.

Mild hybrid ditanam dan bekerja pada kendaraan berbahan bakar minyak. Ia menyimpan listrik dari energi yang terbuang seperti saat pengereman. Energi tersimpan tersebut akan digunakan ketika mobil butuh elektrifikasi ringan. Misalnya untuk menyalakan komponen kelistrikan seperti lampu, AC hingga menjaga mesin tetap on di lampu merah (idle).

Kedua, hybrid. Sistem yang sebetulnya tidak sesederhana mobil elektrik penuh. Hybrid mengombinasikan mesin listrik yang ditenagai baterai dengan mesin bahan bakar. Kelebihannya, mobil hybrid beradaptasi di situasi lalu lintas beragam. Pada kondisi kemacetan, kendaraan ini mengandalkan mesin listrik. Ketika akselerasi, mesin bakar menyuplai tenaga paralel dengan mesin elektrik. Pengisian daya juga terjadi secara internal, yakni diregenerasi dari energi terbuang, sedangkan mesin bakar berfungsi sebagai generator pengisi daya.

Namun, kendaraan jenis ini tak luput dari kekurangan, yakni dari aspek komponen yang lebih kompleks daripada mobil yang murni mesin bakar atau elektrik penuh. Sebab mobil ini secara teknikal menggendong dua mesin : listrik dan bensin. Output dari mesin bakar umumnya jauh lebih besar dari mesin listrik.

Ketiga, plug in hybrid. Mobil listrik yang dapat di-charge. Namun tetap menggendong mesin bakar. Mobil jenis ini paling mendekati mobil full elektrik. Dapat melaju dengan hanya mengandalkan motor listrik. Mesin bakar di mobil plug in hybrid tak ubahnya sekadar cadangan. Sebab energi dari baterai punya jarak tempuh yang lebih jauh dari mobil hybrid biasa. Mesin bakar dapat digunakan ketika daya baterai habis.

Keempat, mobil full elektrik. Inilah mobil listrik murni. Mobil yang tak meminum BBM sama sekali. Mobil ini tak punya mesin bakar. Hanya mesin listrik yang sistem kerjanya amat ringkas. Beda dengan mobil mesin bakar yang melibatkan ratusan komponen bergerak. Di mobil listrik, yang bergerak hanya rotor. Tanpa silinder, valve, alternator, cincin piston, dan lusinan elemen lainnya.

Meski terdengar menggoda, mobil full elektrik tak lepas dari kekurangan. Diskursus utamanya adalah soal bobot yang lebih berat dan siklus hidup baterai yang belum terjawab. Wet Lithium Ion adalah grade tertinggi dari rechargeable battery. Menurut berbagai riset, siklus hidup baterai dari bahan dasar kobal/nikel ini 300–500 kali isi ulang, setelah itu, daya penyimpanan merosot hingga maksimum 70%..♦

Jusman Dalle
Praktisi Ekonomi Digital dan Direktur Eksekutif Tali Foundation

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×