Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga
Sesuai proyeksi, The Fed kembali menaikkan suku bunga. Buntutnya, pasca libur panjang Lebaran, rupiah langsung tersungkur, kembali ke level Rp 14.000 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan, mata uang garuda melemah ke posisi Rp 14.090, Kamis (21/6).
Celakanya, perang dagang AS dan China yang semakin memanas memperparah kondisi rupiah. BI langsung merespons, dengan siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve.
Kebijakan ini akan lahir dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar Rabu (27/6) dan Kamis (28/6).
Bahkan, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah mengirim sinyal, kebijakan lanjutan itu bisa berupa kenaikan suku bunga acuan yang dibarengi relaksasi loan to value ratio (LTV) sektor perumahan. Ini bisa jadi langkah akomodatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Apakah langkah bank sentral mengerek BI 7-day reverse repo rate tepat? Kalau iya, berapa basis poin kenaikan suku bunga acuan? Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih menyampaikan pandangannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo pada Kamis (21/6) lalu. Berikut nukilannya:
KONTAN: Rupiah kembali bergerak ke level Rp 14.000, apakah ini cuma gara-gara The Fed semakin agresif menaikkan suku bunga?
LANA: Kalau The Fed sebenarnya sudah terfaktorkan. Memang, setiap ada kenaikan suku bunga The Fed, pasti dollar AS akan menguat. Tetapi, kalau hanya The Fed saja, relatif sebentar penguatannya.
Jadi, bukan hanya The Fed, lebih besar lagi, soal perang dagang AS-China. Sebab, ini di luar ekspektasi investor. Awalnya diproyeksi akan ada kesepakatan kedua negara, tapi tiba-tiba AS keluar, dan mengumumkan tarif sebesar 25% atas produk impor dari China, dengan nilai total mencapai US$ 50 miliar atau Rp 700 triliun dan akan efektif 6 Juli nanti.
Ada kekhawatiran saling berbalas dan berubah-ubah. Makanya, investor cenderung memegang dollar AS sehingga mata uang berbagai negara melemah.
Kinerja mata uang utama dunia hampir semua melemah, hanya yen Jepang yang menguat. Rupiah termasuk 10 besar emerging market tetapi bukan yang terburuk. Mau tak mau, rupiah melemah karena kondisi global.
KONTAN: Lalu, apa yang membuat The Fed kian agresif menaikkan suku bunga?
LANA: The Fed memang dari dulu melempar sinyal akan menaikkan suku bunga karena inflasi AS sudah berada di atas 2%. Jadi, kenaikan suku bunga The Fed sebenarnya sudah difaktorkan oleh investor.
Mereka bisa melihat dari berbagai survei apakah The Fed akan menaikkan suku bunga. Ini artinya, investor sudah tahu dan laporan The Fed sudah clear akan melakukan normalisasi. Hanya memang, biasanya tidak lama pergerakan mata uang. Jadi, bukan semata faktor kenaikan suku bunga The Fed.
KONTAN: BI langsung merespons kenaikan suku bunga The Fed dengan siap melakukan langkah-langkah yang pre-emptive. Bagaimana Anda melihat langkah BI ini?
LANA: Secara undang-undang, BI bertugas melakukan stabilisasi rupiah. Itu saja mandat BI dari undang-undang. Rupiah sebagai kurs dan inflasi.
Jadi, BI memenuhi mandat itu, stabilisasi rupiah menjadi fokus mereka. Sementara kebijakan yang pre-emptive berarti market friendly. Kebijakan stabilisasi rupiah artinya, tidak segan untuk menaikkan suku bunga.
KONTAN: Tapi, bukannya BI juga harus menjaga pertumbuhan ekonomi kita?
LANA: Iya, tetapi tugas BI bukan menjaga pertumbuhan ekonomi. Tugas BI hanya stabilisasi rupiah saja. Cuma tentu, BI harus mendukung pertumbuhan ekonomi, tapi ini tidak ada di undang-undang.
Kalau rupiah stabil, kan, juga membantu pertumbuhan ekonomi. Pelaku usaha menjadi yakin kalau rupiah dijaga bank sentral. Jadi, tugas siapa untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, ya, fiskal lewat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Namun, saya yakin BI akan dilematis untuk menaikkan suku bunga acuan. Soalnya, mereka tahu betul dampak dari kenaikan suku bunga acuan. Tapi, dalam jangka pendek harus ada pengorbanan.
Dalam ekonomi ada istilah trade off, tidak bisa semua kebijakan diambil. Menaikkan suku bunga berarti kegiatan usaha akan melambat. Tetapi, kan, BI juga perlu menjaga rupiah.
KONTAN: Kalau memang BI harus mengerek suku bunga acuan, apakah secara gradual atau langsung tinggi?
LANA: Menurut saya, harus gradual. BI mesti melihat respons dari pasar juga. Kalau sekarang suku bunga naik, berarti tahun ini sudah tiga kali kenaikannya.
Apakah ini sudah cukup. Bila dilihat dari pergerakan rupiah, itu lantaran pergerakan dollar AS. Dollar AS bergerak karena ada kebijakan dari Pemerintah AS. Ini yang susah diprediksi. Susah memprediksi kebijakan Presiden Donald Trump, plin plan terus.
Kalau dari sisi permintaan, dollar AS sekarang semestinya sudah turun. Pembayaran utang sudah menurun. Jadi, sudah agak turun tekanan dari dalam negeri.
Lalu, yang perlu dipertimbangkan juga dari harga minyak mentah dunia yang juga mulai turun. Sebab, anggota OPEC tidak setuju dengan keputusan menahan produksi. Jadi, mudah-mudahan dari sisi dalam negeri tekanan berkurang. Nah, faktor luar negeri memang susah diprediksi.
KONTAN: Berapa basis poin seharusnya BI menaikkan suku bunga acuan?
LANA: Untuk angka, saya tidak punya angka pasti. Tetapi, kalau melihat ada peluang The Fed menaikkan dua kali lagi, ini harus menjadi pertimbangan. Cuma sekali lagi, rupiah mengalami tekanan penyebabnya bukan hanya dari kenaikan suku bunga The Fed. Yang jelas, instrumen stabilisasi rupiah tidak banyak, hanya menaikkan suku bunga dan menjaga pasar dengan cadangan devisa. Tapi, kalau cadangan devisa berkurang, nanti ramai lagi.
KONTAN: Memang, posisi cadangan devisa negara kita saat ini masih kuat?
LANA: Iya, masih baik-baik saja. Cadangan devisa memang harus dipakai. Ibaratnya, lagi sakit disuruh pakai tabungan atau pinjam uang tetangga. Seperti ini lah cadangan devisa.
Jadi, harus dipakai dengan risiko nilai berkurang. Hanya, cadangan devisa memang harus dipakai saat diperlukan.
KONTAN: Ada yang perlu dikembangkan dari kebijakan cadangan devisa kita?
LANA: Ada beberapa kebijakan yang bisa dikembangkan. Pertama, soal devisa hasil ekspor diberikan kelonggaran untuk masuk sampai enam bulan.
Misalnya, ekspor di Januari, maka devisa boleh masuk sampai akhir Juni. Dan, dari yang masuk untuk keluar itu tidak ada batasan. Contoh, untuk masuk tiga bulan, kalau keluar dikasih waktu sebulan.
Kedua, bank-bank yang mempunyai valas bisa disimpan di BI. Agar mau menyimpan di bank sentral, mereka tentu harus diberikan insentif. Jadi, seolah-olah bisa direpokan.
Ketiga, pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk menerbitkan obligasi global (global bond) lebih banyak. Kalau sekarang, kan, baru 30% dari total nilai penerbitan. Porsinya bisa dinaikkan jadi 40%.
Penerbitan surat utang global yang lebih banyak lagi untuk menarik investor. Tapi, kuponnya mesti dibuat lebih menarik karena kita rebutan dengan AS.
Pemerintah juga harus menerbitkan surat berharga negara dengan ketentuan holding period atau batas waktu minimal masa kepemilikan.
Misalnya, obligasi dengan tenor lima tahun, investor harus memegang atau tidak boleh menjual selama tiga tahun. Jadi, asing yang beli obligasi tidak bisa keluar selama tiga tahun tapi diberi kupon yang menarik.
Tentu, kebijakan holding period ini juga diberlakukan untuk investor domestik. Dengan begitu, volatilitas lebih terjaga.
KONTAN: Buat investor asing, apa lagi yang menjadi pertimbangan untuk masuk kembali ke Indonesia?
LANA: Untuk investor, memang rupiah paling penting. Mereka akan melihat, bagaimana Indonesia menjaga mata uangnya. Makanya, BI melihat, mana yang paling prioritas.
Mereka pun menaikkan suku bunga acuan untuk stabilisasi rupiah. Walau, kebijakan ini dampaknya jangka pendek.
KONTAN: Kalau begitu, untuk efek jangka panjang, apa yang perlu BI lakukan?
LANA: Kejadian seperti ini terjadi pada 2015 lalu. Dari situ terlihat, ada karakteristik ekonomi Indonesia yang tak pernah berubah. Ketika ekonomi mulai membaik, impor pasti naik.
Ketika impor naik, berarti butuh valuta asing (valas). Ketika ekspor belum diandalkan sebagai sumber valas, rupiah pun melemah. Lalu, BI menaikkan suku bunga acuan dan ekonomi melambat. Ekonomi membaik lagi dan terus muter begitu.
Soalnya, ketergantungan impor yang sangat tinggi. Ini bisa diperbaiki dalam jangka panjang dengan membangun industri pengolah bahan baku dan lainnya, sehingga bisa mengurangi impor.
Kita punya banyak industri hulu. Misalnya, minyak kelapa sawit (CPO). Cuma, kita senangnya menjual langsung, padahal bisa diolah di sini. Ini kaitannya bisa dengan valas juga. Itu yang perlu direalisasikan buat substitusi impor. Tapi, ini, kan, tugas pemerintah.
◆ Biodata
Riwayat pendidikan:
■ Sarja Ekonomi Universitas Indonesia
■ Master of Economic Development Vanderbilt University, Nashville, Tennesse, AS
■ PhD Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
Riwayat pekerjaan:
■ Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
■ Asisten Peneliti untuk Boston Institute of Economic Development (BIDE) di Lexington, AS
■ Vice Chair (Secretary) Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
■ Ekonom Samuel Group
■ Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen.
**** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edis 25 Juni- 1 Juli 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "BI Harus Melihat Respons Pasar Juga"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News