kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Layanan kesehatan yang tidak diskriminatif


Senin, 25 September 2017 / 13:18 WIB
Layanan kesehatan yang tidak diskriminatif


| Editor: Tri Adi

Sistem layanan rumahsakit kita seyogianya lebih mengedepankan sisi kemanusiaan ketimbang bisnis. Bila ini diterapkan, kejadian meninggalnya pasien akibat kesulitan memenuhi prosedur finansial rumahsakit tidak terus kembali berulang.

Kita semua pasti prihatin dengan apa yang menimpa pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi. Sebagaimana ramai diberitakan media beberapa waktu lalu, lantaran tidak mampu membayar seluruh uang muka yang diminta rumahsakit guna mendapatkan layanan pediatrics intensive care unit (PICU), keduanya terpaksa kehilangan buah hati tercinta mereka, Tiara Debora yang berusia empat bulan.

Tragedi yang menimpa Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi ini bukan yang pertama kali terjadi di negeri ini. Kasus-kasus serupa sudah berulang kali terjadi. Dan seperti kasus-kasus sejenis lainnya, pihak rumahsakit biasanya langsung ngeles dengan menjalankan strategi kehumasan korporasi. Yang intinya menyatakan bahwa rumahsakit telah menjalankan sistem operasional prosedur standar dan sudah melakukan tindakan medis terbaik, sehingga tidak layak dipersalahkan terhadap kejadian tersebut.

Kewajiban BPJS Kesehatan

Banyak pihak berpendapat kemungkinan besar jiwa Debora dapat terselamatkan apabila waktu itu pihak rumahsakit lebih memprioritaskan layanan prima. Terutama kepada pasiennya yang dalam keadaan kondisi kritis, ketimbang mendahulukan tuntutan finansial.

Merujuk Pasal 32 Ayat (1 ) dan Ayat (2) Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan, disebutkan dengan gamblang bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan pencatatan administratif terlebih dahulu. Di samping itu, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Sementara itu, dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumahsakit antara lain disebutkan pula bahwa rumahsakit wajib memberikan fasilitas pelayanan pasien gawat darurat tanpa uang muka.

Dengan demikian, rumahsakit mestinya senantiasa memprioritaskan menyelamatkan nyawa pasien daripada menuntut pasien agar membayar uang muka terlebih dahulu. Namun, fakta di lapangan sering berbicara lain. Pada praktiknya, sebagian besar rumahsakit kita selama ini justru lebih mendahulukan urusan finansial ketimbang menyelamatkan nyawa pasien. Kasarnya, bayar dulu, urusan nyawa belakangan.

Padahal, layanan kesehatan mestinya selalu berpatokan pada prinsip egalitarianisme. Bukan malah berlaku diskriminatif. Artinya, siapa pun, tanpa dibatasi oleh status sosial-ekonomi, jender, usia, etnik, keyakinan, agama maupun faktor-faktor lainnya, harus memiliki akses yang sama untuk dapat menikmati layanan kesehatan sebaik-baiknya.

Orang Inggris suka bilang money is the root of all evils. Uang itu sejatinya sumber segala bentuk kejahatan. Uang bisa membuat kita jahat dan bengis, bahkan melebihi jahat dan bengisnya binatang buas. Mengabaikan keselamatan jiwa seseorang dan lebih memprioritaskan urusan duit adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Hal seperti ini, tentu, tidak boleh terus dibiarkan.

Kita menyambut baik langkah Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang telah mengeluarkan instruksi agar semua rumahsakit di Jakarta mendahulukan penanganan pasien gawat darurat tanpa menarik uang muka terlebih dahulu. Kita juga mengapresiasi pemerintah DKI Jakarta yang saat ini tengah menyiapkan Peraturan Gubernur yang mengharuskan semua rumahsakit swasta di Jakarta bergabung dengan BPJS Kesehatan.

Kita berharap kebijakan serupa diambil pula oleh pemerintah daerah lainnya sehingga tragedi meninggalnya pasien akibat tidak mendapatkan penanganan yang memadai di rumahsakit, hanya, misalnya, gara-gara tidak atau belum mampu membayar uang muka perawatan, tidak terus terulang di negeri ini.

Di sisi lain, kita berharap pula pengelola rumahsakit beserta para petugas medisnya, dari level yang paling rendah hingga yang paling tinggi, dapat lebih mengedepankan aspek nurani dan kemanusiaan mereka. Urusan nyawa manusia, bagaimanapun, jauh sangat berharga untuk kita perjuangkan daripada sekadar gepokan uang seberapa pun besarnya.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×