kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.879   51,00   0,32%
  • IDX 7.205   64,31   0,90%
  • KOMPAS100 1.106   11,04   1,01%
  • LQ45 878   11,56   1,33%
  • ISSI 221   1,08   0,49%
  • IDX30 449   6,43   1,45%
  • IDXHIDIV20 540   5,72   1,07%
  • IDX80 127   1,45   1,15%
  • IDXV30 135   0,62   0,46%
  • IDXQ30 149   1,69   1,15%

Lebaran dan Diversifikasi Konsumsi Pangan


Senin, 10 Mei 2021 / 17:37 WIB
Lebaran dan Diversifikasi Konsumsi Pangan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Lebaran tahun ini, seperti pada 2020, masih dirayakan dalam suasana pandemi virus korona Covid-19. Pandemi global ini secara masif membuat semua kegiatan berlangsung di rumah (WFH). Namun, masyarakat tetap berupaya menghidangkan berbagai makanan khas Lebaran dan kita bersyukur relatif tidak ada masalah kelangkaan ketersediaan pangan pokok di Tanah Air.

Pandemi Covid-19 yang telah memasuki tahun kedua membuat masyarakat semakin kreatif menyikapinya dengan memanfaatkan berbagai sumber pangan lokal untuk kebutuhan sehari-hari. Keberagaman hidangan menu berbuka puasa, baik yang ditawarkan sejumlah hotel berbintang maupun yang dijual pedagang tradisional berupa beragam takjil sudah berbahan baku lokal. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, jumlah wisatawan asing tak lagi sebanyak dulu, hidangan yang ditawarkan sudah lebih banyak bercita rasa tradisional nusantara untuk tamu lokal yang datang.

Keberagaman menu berbahan baku lokal saat berbuka puasa dan perayaan Idul Fitri sesungguhnya menunjukkan bahwa diversifikasi pangan dalam pola konsumsi masyarakat memiliki potensi untuk dikembangkan. Semangat diversifikasi pangan dalam hidangan nusantara di masa Lebaran dapat menjadi momentum kebangkitan penganekaragaman konsumsi pangan. Tidak saja di saat Lebaran, tapi berlanjut di masa datang.

Lantas pertanyaannya, bagaimana mengoptimalkan nilai tambah subsektor diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia. Jika berbicara data, sekitar 60% UMKM di Tanah Air bergerak di sektor makanan. Sayangnya berbagai UMKM ini menggunakan 66% terigu nasional. Dampaknya, konsumsi per kapita terigu terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2018 impornya mencapai 10 juta ton dengan nilai Rp 35,9 triliun, lalu meningkat menjadi 10,6 juta ton di 2019 dengan nilai Rp 39,1 triliun.

Impor gandum dalam 20 tahun terakhir meningkat signifikan. Tingkat konsumsi terigu di Indonesia lebih tinggi 20% jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi negara lain di Asia.

Ini keberhasilan politik dagang negara produsen gandum seperti Amerika dan Eropa, kombinasi strategi soft loans dengan edukasi pengolahan pangan berbasis terigu, seperti roti dan mie. Minimarket yang berkembang hingga ke pelosok daerah merupakan ujung tombak pemasaran bisnis pangan berbasis terigu.

Ruang inkubator

Perkembangan UMKM pangan lokal yang diformat dalam kemasan industri kuliner nusantara dan industri pangan dalam bentuk usaha rintisan atau start up kian mendapat tempat di hati masyarakat. Industri ini diharapkan menjadi ruang inkubator percepatan diversifikasi konsumsi pangan lokal.

Di sejumlah tayangan di televisi swasta para chef kerap membahas beragam acara kuliner. Mulai dari seluk beluk cita rasa hingga makanan berkelas di hotel berbintang lima.

Kini makin banyak orang tertarik persoalan makanan dan pernak-perniknya. Persoalan makan bukan lagi sekadar urusan mengisi perut, melainkan juga menjadi hal menarik dari perspektif seni dan gaya hidup sekaligus memperkenalkan keragaman pangan lokal.

Selama ini ekonomi kreatif kuliner belum digarap secara serius untuk kebangkitan pangan lokal. Kita bisa berbangga karena kuliner sudah dimasukan sebagai subsektor industri kreatif sejak 2012 seiring dengan lahirnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pemerintah berkomitmen untuk menjadikan kuliner sebagai wisata minat khusus andalan Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena negeri ini punya banyak masakan khas yang tidak kalah dari Thailand, Jepang, Italia, Korea Selatan dan China (Sibuea, 2016).

Sayangnya, pemerintah belum maksimal menghadirkan berbagai industri kreatif kuliner dan produk pangan olahan berbahan baku lokal non beras. Indonesia yang kaya akan sumber pangan lokal, namun sampai saat ini produk olahan pangan lokal masih belum dapat bersaing dengan olahan pangan berbasis terigu baik dari segi kualitas maupun harganya. Maka perlu dikembangkan industri pengolahan pangan yang berorientasi pada bisnis dengan berbasis pada potensi pangan lokal.

Pemerintah kabupaten dan kota didorong lebih piawai untuk merancang program yang mampu mengangkat potensi pangan lokal. Sejak 2012, Badan Ketahanan Pangan sudah menggulirkan program kerja yang seharusnya sudah dikloning di sejumlah daerah yakni Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Kegiatan ini untuk menyukseskan program percepatan penganekaragaman yang sesungguhnya bisa diharapkan untuk memberi nilai tambah pada produk pangan lokal.

Kegiatan pengembangan pangan lokal pada 2019 ditransformasi menjadi kegiatan Pengembangan Industri Pangan Lokal (PIPL). Kegiatan ini mendorong tumbuhnya usaha pengolahan pangan lokal dengan skala usaha yang lebih besar dengan fokus untuk menghasilkan bahan baku industri pengolahan pangan berbasis tepung. Kegiatan Pengembangan Pangan Lokal diharapkan dapat lebih mendorong terwujudnya industrialisasi pangan lokal yang menghasilkan produk pangan yang berdaya saing.

Namun, belum semua daerah mengembangkan secara baik potensi tanaman umbi-umbian, sagu dan sorgum yang relatif lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim dibanding tanaman padi. Pemerintah kabupaten seharusnya sudah lebih siap mengatasi dampak pandemi Covid-19 yang telah menghantam pilar diversifikasi konsumsi pangan jika selama ini sudah dirancang secara baik program PIPL.

Data di Kementerian Pertanian mencatat selama empat tahun terakhir (2014-2018), luas tanam singkong turun dari 1,003 juta hektar menjadi 792.952 hektar. Begitu juga untuk luas tanam umbi jalar dari 156.758 hektar jadi 106.226 hektar di periode serupa.

Masyarakat tidak perlu panik dengan kenaikan harga beras jika setiap pemerintah kabupaten dan kota sudah mempunyai cadangan pangan nonberas lewat program PIPL. Mereka akan memahami dengan baik pola konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal lewat kebijakan one day no rice. Sayangnya program ini belum dirancang terintegrasi ke hulu dengan penyediaan bahan baku. Pemerintah justru membuat kebijakan beras impor yang efek jangka panjangnya merugikan petani lokal.

Lambatnya capaian kegiatan percepatan diversifikasi pangan karena kebijakan pemerintah masih mendua yang menetaskan pola konsumsi masyarakat semakin seragam pada dua komoditas pangan utama, yaitu beras dan terigu. Mari melalui perayaan Idul Fitri tahun ini, produk pangan Nusantara kita kembangkan semakin baik untuk mengurangi ketergantungan pada satu dan dua jenis bahan pangan apalagi bahan pangan itu masih harus diimpor. Semoga.

Penulis : Posman Sibuea

Guru Besar Tetap Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan, Sumatra Utara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×