kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Lebih suka menggoreng beras


Senin, 24 September 2018 / 13:53 WIB
Lebih suka menggoreng beras


Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Tri Adi

Beberapa hari ini beras kembali menjadi perdebatan. Kali ini bukan soal harga naik, melainkan perlu tidaknya impor. Yang menggelikan, lagi-lagi, polemik ini kembali terjadi antara "komponen internal" pemerintah sendiri, yaitu Perum Bulog dan Kementerian Perdagangan.

Perdebatan mengenai beras bukan hanya sekali ini terjadi. Belum lama, tepatnya awal tahun ini, harga beras yang naik sempat menjadi bahan perbincangan seru juga. Kenaikan harga beras waktu itu seolah-olah terjadi karena pemerintah kecolongan mengantisipasi penipisan cadangan beras nasional. Meski akhirnya harga beras bisa dijinakkan lewat impor, terungkap jelas bahwa data beras nasional pegangan pemerintah tak menggambarkan kondisi riil sehingga tak memadai menjadi pijakan pengambilan keputusan.

Suka tidak suka, mau tidak mau, beras memang menjadi komoditas paling sensitif dari segi sosial, ekonomi, bahkan politik. Berbicara tentang beras tidak bisa lepas dari membicarakan pula para petani penanam padi yang "seolah kita sepakati bersama" termasuk golongan masyarakat strata sosial bawah.

Berhubung beras merupakan bahan pangan utama masyarakat Indonesia, naik turun harga beras berarti pula mempengaruhi angka inflasi. Dan, kita sama-sama tahu, angka inflasi merupakan indikator sekaligus dasar berbagai perumusan kebijakan fiskal dan moneter.

Nah, satu lagi, beras bukan hanya menyandang predikat sebagai komoditas pangan, melainkan juga sebagai komoditas politik. Beras kerap menjadi tema pilihan perseteruan maupun tawar menawar politik. Dari dulu, kenaikan harga beras selalu menjadi pemicu seksi secara politis untuk mengkritik pemerintah. Sebaliknya, impor beras yang hampir selalu menjadi solusi pilihan meredam kenaikan harga, selalu pula menuai tudingan sebagai kebijakan yang tak berpihak pada rakyat kecil para petani.

Begitu peliknya "posisi" beras inilah yang mungkin membuatnya tidak terlalu menggiurkan di mata korporasi besar untuk digeluti. Benar, selama beberapa tahun terakhir cukup banyak perusahaan modern mencoba mengais keuntungan dari beras. Namun, perlu dicatat, mereka hanya berani masuk di tengah rantai suplai; bukan di sisi produksi. Perusahaan-perusahaan bermodal raksasa itu lebih tertarik menjadi pengemas beras atau distributor, namun tidak menjadi "petani" penanam padi.

Memasuki bisnis beras di rantai perdagangan mungkin memang berisiko lebih kecil ketimbang terlibat di rantai produksi. Asalkan memiliki gudang memadai dan teknologi pengawetan mumpuni, mereka bisa menepis risiko alam yang sulit dihindari, seperti cuaca dan serangan hama, yang kerap merontokkan petani sungguhan.

Selama beras masih menjadi bahan utama pengganjal perut lebih dari 230 juta orang Indonesia, sebetulnya sangat aneh bahwa "industri beras" Indonesia tidak tergarap dengan memadai, baik oleh pemerintah maupun pemodal swasta.

Andai kredo swasembada beras benar-benar terwujud, bukan cuma jadi slogan kenangan indah ala "Penak Jamanku, to?", kepelikan dunia perberasan bisa dikurangi. Pengelolaan industri beras dengan baik tentu menghasilkan produksi yang cukup untuk dikonsumsi pasar dalam negeri--bahkan menjadi komoditas ekspor--maupun menjamin ketersediaan secara stabil, tanpa kudu bergantung pada pasokan impor dari negara lain.

Jika itu terjadi, setidaknya predikat beras sebagai komoditas politik bisa ditinjau ulang. Dari aspek ekonomi, jaminan pasokan tentu membawa pula stabilitas harga dan inflasi. Aspek sosial kesejahteraan petani pun mungkin teratasi.

Ah, tapi, mungkin banyak pihak memang lebih suka "menggoreng beras" demi beragam kepentingan.•

Hasbi Maulana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×