kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Makna hijrah dan kejahatan korupsi


Rabu, 12 September 2018 / 14:03 WIB
Makna hijrah dan kejahatan korupsi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Tahun baru Islam 1440 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 11 September 2018. Hijrah secara bahasa bermakna berpindah dari sesuatu ke sesuatu yang lain atau menjauhi sesuatu. Dalam sejarah Islam, Nabi disebutkan berhijrah atau pindah dari Mekkah ke Madinah demi menghindari kejahatan atau keburukan dari kaum Quraisy untuk memulai kehidupan baru. Nabi juga pernah mengatakan, orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allah, yakni perbuatan jahat, buruk dan tercela, kemudian beralih pada perbuatan baik dan mulia.

Lebih dari sekadar merayakan pergantian tahun dalam bentuk seremonial, hijrah sesungguhnya membawa pesan perubahan. Nabi pindah ke Madinah sejatinya membawa harapan perubahan yang ketika di Mekkah sulit dilakukan karena tekanan, teror dan intimidasi yang dilakukan terhadap Nabi dan kaum muslim. Faktanya, ketika di Madinah, perubahan itu berhasil dilakukan secara gemilang dalam tempo lebih kurang sepuluh tahun.

Hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah merupakan simbol yang menyiratkan harapan pada perubahan dari kondisi buruk kepada kondisi baik itu. Dalam konteks saat ini, semangat untuk perubahan tadi penting tidak hanya ditanamkan dalam pikiran, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Korupsi, misalnya, merupakan problem besar yang hingga kini terus coba diberantas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, semakin gencar upaya ini, semakin keras juga perlawanan baliknya, dan semakin tidak jera atau takut para koruptor melakukan aksinya. Juga semakin banyak pihak yang ingin melemahkan bahkan menghancurkan KPK.

Korupsi di negeri ini masih marak. Ini misalnya tampak dari banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Teranyar, OTT KPK terhadap 41 anggota DPRD Kota Malang beberapa waktu lalu yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut agama, korupsi sesungguhnya berakar dari hasrat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Dalam istilah Nabi, mereka itu seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang. Jika mereka diberi satu lembah berisi emas, mereka akan meminta lembah lain berisi emas juga. Inilah hasrat korupsi yang terus-menerus terproduksi, bagian dari budaya konsumerisme.

Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Bayang-bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi (2011), menyebutkan hakikat dari budaya konsumerisme adalah memuat kegiatan konsumsi dengan makna simbolik tersendiri (prestise, status, kelas) dan dengan pola dan tempo pengaturan yang khas. Budaya konsumerisme adalah sebuah budaya konsumsi yang ditopang proses penciptaan diferensiasi terus-menerus lewat penggunaan objek komoditas. Sebuah budaya belanja yang proses perubahan dan perkembangannya didorong logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme adalah sebuah sistem self-production hasrat tanpa henti, pemenuhannya selalu melalui media komoditas.

Meninggalkan korupsi

Dunia konsumerisme adalah sebuah medan tempat pelepasan hasrat manusia konsumen, yaitu hasrat akan objek dan kesenangan tanpa akhir. Di dalamnya para konsumer dikonstruksi kehidupan sosialnya sehingga ia mengikuti arus hasrat yang mengalir tanpa henti. Di dalam medan pelepasan hasrat itu, setiap orang dikonstruksi untuk dapat mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat yang tanpa henti dengan mengonsumsi tanda, citra dan objek yang diperbarui penampilannya secara terus-menerus. Dengan terus-menerus mengonsumsi, setiap orang dengan tanpa jeda pula memproduksi hasrat dan ketidakpuasan abadi (J.F. Lyotard, Libidal Economy, 1993).

Budaya korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang lahir antara lain karena hasrat konsumerisme, terutama konsumsi harta (modal/kapital) dan kekuasaan (politik), dalam perspektif teologis, adalah sebuah dosa besar. Dosa besar baik terhadap individu bersangkutan, masyarakat maupun Tuhan. Dengan kata lain, korupsi adalah dosa sosial sekaligus spiritual. Korupsi adalah kezaliman tak terperi, karena mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga orang yang diambil haknya itu mengalami kerugian., Tidak hanya material tetapi juga non material. Uang negara untuk kepentingan rakyat dikorupsi atau dicuri, sehingga kesejahteraan yang diharapkan tak kunjung terwujud.

Ketika Nabi selesai membebaskan Mekah (Fathu Mekah) pada 8 H, beliau mengatakan, kita telah selesai dari jihad kecil menuju jihad besar, yakni memerangi hawa nafsu (hasrat negatif). Jihad terbesar saat ini adalah memerangi hasrat korupsi dalam diri yang terus-menerus bergelora dan membuncah.

Apalagi, berdasarkan riset Transparancy International (TI) 2016, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 37, naik 1 poin dari tahun sebelumnya 36. Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara yang disurvei. Untuk wilayah Asia Tenggara (ASEAN), IPK Indonesia berada di peringkat ke-4. Negara dengan IPK tertinggi di kawasan ini adalah Singapura dengan skor 84, dan berada di posisi 7 tingkat dunia. Kemudian, diikuti Brunei Darussalam di peringkat dua dengan skor IPK 58, lalu Malaysia diperingkat 3 dengan nilai 49.

Perang terhadap hasrat korupsi ini juga disertai keinginan dan komitmen kuat untuk berhijrah, mengubah hasrat negatif itu menjadi hasrat positif, hasrat untuk menjauhi kejahatan korupsi. Kata Nabi, orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah. Allah melarang manusia menzalimi hak orang lain. Allah juga melarang manusia mengambil hak orang lain, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Nabi bahkan dengan tegas mengatakan, jika Fatimah putri beliau mencuri, beliau sendiri, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin keluarga (ayah, suami), pemimpin agama, pemimpin politik, pemimpin militer, pemimpin hukum, yang akan memotong tangannya.

Hijrah menjadi momentum peringatan sekaligus penegasan kepada semua orang terutama para pemimpin dan pejabat negara yang tengah diberi amanat kekuasaan oleh rakyatnya (eksekutif, legislatif, yudikatif), untuk berjihad, memerangi hasrat korupsi, dan berhijrah meninggalkan korupsi dalam bentuk apa pun dan sekecil apa pun. Lebih dari itu, mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. Lembaga ini menjadi medium atau wasilah yang menarik gerbong negara ini untuk berhijrah atau berubah ke arah lebih baik, dari Indonesia sebagai negara korup menjadi negara yang bersih dari korupsi. Karena itu, KPK perlu diperkuat, bukan diperlemah apalagi diamputasi atau dibekukan hingga mati pelan-pelan.•

Fajar Kurnianto
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×