| Editor: Tri Adi
Presiden Jokowi kembali ngemal. Kali ini bersama Presiden Korea Selatan, Moon-Jae in ke Bogor Trade Mall. Aksi diplomatik itu ingin menunjukkan kehangatan bangsa Indonesia dan Indonesia aman.
Ada sebuah keberuntungan manakala sebuah produk dikonsumsi oleh orang nomor satu di negeri ini. Jelas saja hal itu akan mendorong konsumen untuk berebut membeli produk yang dikonsumsi Presiden.
Dua contoh ini membuktikan hal itu. Pertama, ketika Presiden nonton film Warkop DKI Reborn Part I di Lippo Plaza Bogor, Sabtu (10/9) malam tahun lalu. Tak heran bila film layar lebar itu semakin mengena di benak jutaan penonton di Tanah Air. Kedua, tatkala Presiden menggelar jumpa pers 4 November malam, jaket bomber yang dikenakan Jokowi diincar konsumen untuk dibeli.
Seruan ayo berwisata di negeri ini, termasuk wisata belanja di dalam negeri, dulu pernah menggema. Menjadi semacam seruan nasional. Namun dewasa ini, entah karena seruan itu dinilai telah berhasil mendorong minat warga atau ada alasan lain, kampanye berwisata dan berbelanja di dalam negeri tidak pernah lagi terdengar. Dulu, di berbagai kesempatan, disampaikan imbauan atau ajakan supaya masyarakat Indonesia yang mampu untuk tetap berbelanja barang dan jasa produk dalam negeri sebagaimana biasanya.
Kita bayangkan kalau warga masyarakat, maksudnya yang mampu, ikut-ikutan tidak berbelanja, lalu siapa yang akan membeli barang dan jasa produk rakyat kita? Kalau kita semua berhenti berbelanja, maka ekonomi negeri kita pasti akan berhenti. Bepergian ke mal dalam negeri saat waktu luang Presiden, memberi keteladanan yang positif. Dalam konteks pariwisata, peranan masyarakat (wisatawan lokal) untuk menggerakkan pariwisata di dalam negeri sangatlah penting.
Ada semacam standar yang tidak tertulis, bahwa aktivitas jasa, perdagangan dan setiap hal yang terkait interaksi dengan orang lain, dilakukan untuk saling menciptakan dan meningkatkan nilai lebih di kehidupan. Kesadaran akan nilai tersebut membutuhkan pembiasan terus menerus, dan dilakukan bersama sebagai perayaan yang meriah di setiap masa liburan. Selama liburan dan waktu luang, hospitality mengejawantah. Bisnis hospitality menjadi cerminan kondisi sebuah negara.
Presiden Jokowi sendiri menjadi konsumen produk hospitality saat berkunjung ke mal. Hospitality memang tidak sebatas keramahtamahan. Sebagaimana didefinisikan Philip Kotler, dkk (2003), ranah bisnis yang sarat dengan service ini mencakup shopping dan penyediaan makanan serta minuman.
Maka tak heran jika dulu Kementerian Pariwisata (Kempar) memasukkan kuliner sebagai bagian dalam industri kreatif. Berdasarkan data yang waktu itu dirilis oleh Kempar, turis asing mengeluarkan 28% kocek untuk kuliner saat berkunjung ke Indonesia. Kemudian, pengeluaran hotel 30%, 15% untuk belanja dan 6,5 % sisanya untuk hiburan. Sedangkan wisatawan lokal lebih tertarik merogoh kocek untuk berbelanja oleh-oleh khas daerah tujuan wisata. Perinciannya, untuk keperluan shopping 30%, makanan 15%, dan hiburan 3,7%. Maka ketika berkunjung ke mal, Presiden Jokowi juga menyempatkan makan di food court mal yang dikunjungi.
Perlu traveling
Hospitality yang semakin semarak pada masa liburan, dan dikonsumsi langsung oleh Presiden Jokowi lewat aktivitas ngemal, menyangkut pembentukan karakter sebagai bangsa yang berorientasi mencurahkan segala sesuatu yang terbaik untuk sesama. Pembiasaan memberikan yang terbaik pada orang lain di setiap aspek kehidupan telah dilatih dengan medium pelayanan kepada masyarakat. Industri hospitality terbukti semakin tumbuh di negeri ini.
Bagian penting menindaklanjuti aktivitas leisure Presiden Jokowi adalah, perlunya koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi antar pelaku bisnis leisure di dalam negeri untuk memperkuat destinasi wisata berbasis leisure di masing-masing daerah. Dalam peraturan perundangan di Indonesia, bisnis leisure diidentikkan dengan rekreasi dan hiburan umum (RHU). Tak tanggung-tanggung, ada lebih dari 30 usaha yang masuk dalam kategori itu. Di antaranya, jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan kebugaran tubuh, seperti gym dan sport center, termasuk pula industri hiburan musik seperti kafe, pub dan impresariat. Sinyal itu sekali lagi menandai bertumbuhnya industri leisure, perhotelan dan pariwisata.
Kepariwisataan semakin menjadi salah satu kebutuhan esensial manusia di samping kebutuhan pokok yang lainnya, kebutuhan berwisata menjadi sangat dibutuhkan dalam rangkalive balancing dari rutinitas keseharian manusia dan tentu saja untuk meningkatkan antibodi, berupa ketahanan jiwa dari pemicu stres dan depresi. Maka timbullah usaha-usaha dalam memenuhi kebutuhan berwisata dan leisure tersebut seperti bioskop, belanja, wisata olahraga hingga tur.
Di bagian lain, aktivitas Presiden Jokowi ke mal juga menyiratkan pesan kepada warga Indonesia perihal cara mengelola tekanan dan tantangan hidup. Publik mengetahui, situasi politik belakangan ini mendera dan mungkin pula menekan Presiden. Cara arif Presiden ngemal juga menunjukkan kemampuan kita sebagai bangsa dalam mengatasi tantangan dan mengelola stres.
Ada keterkaitan antara aktivitas ngemal dengan ketahanan jiwa. Artinya pula ada keterkaitan antara traveling dengan kesehatan jiwa bangsa Indonesia.
Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, deteksi dini depresi dilakukan pada setiap layanan primer kepada setiap pasien yang datang mencari pertolongan medis. Menurut WHO, gangguan depresi mengenai lebih dari 350 juta orang setiap tahunnya. Bahkan, saat ini Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa (World Federation of Mental Health) berfokus pada Mental Health in Older Adults.
Pariwisata sebagai bagian penting dari kehidupan seharusnya difungsikan sebagai salah satu tools untuk menolong dan mengobati jiwa masyarakat Indonesia. Potensi munculnya stres yang kian sporadis, mulai dari rumah, di jalan, tempat kerja atau sekolah, hingga lingkungan sekitar, berpotensi merapuhkan ketahanan jiwa.
Dugaan mudahnya masyarakat stres dan menderita depresi terkait rendahnya waktu luang untuk leisure dan berwisata. Karena problem serta pemicu stres, khususnya tekanan hidup yang kian berat tak dapat dielakkan lagi, maka fenomena empiris relasi dua aspek tersebut seharusnya semakin menumbuhkan ruang dan kebutuhan untuk traveling.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News