| Editor: Tri Adi
Kecanggihan teknologi yang diiringi dengan disrupsi ekonomi dengan adanya berbagai layanan jasa digital dan skala bisnisnya, menyebabkan masyarakat Indonesia semakin terbiasa memanfaatkan "alternatif kekinian" yang ada agar mempermudah kegiatan sehari-hari. Kita tak bisa mengelak, jasa tersebut juga dibarengi dengan adanya alternatif dengan pembayaran yang juga lebih canggih.
Kartu kredit maupun debit, pernah mengalami masa jaya di tahun 1980-an dan 1990-an. Kini, pilihan pembayaran secara non tunai (cashless) juga menjadi salah satu alternatif pembayaran. Namun seberapa siap masyarakat kita memahami dan menggunakan skema ini dalam kegiatan harian, bahkan untuk memakmurkan negara Indonesia di kemudian hari nanti.
Sebagai awal pembahasan, mulai bulan Oktober ini pemerintah mulai mengimplementasikan penggunaan uang elektronik (electronic money) untuk pembayaran jasa jalan tol. Namun pada pelaksanaannya, timbul reaksi yang cukup keras, uang elektronik seharusnya tidak wajib digunakan. Bahkan ada sekelompok masyarakat yang menganggap, uang elektronik bukan alat pembayaran yang sah.
Agar lebih memahami uang elektronik, produk berupa kartu ini memiliki nilai nominal kredit tertentu yang bisa dibelanjakan/digunakan maupun ditambah nilainya. Di negara lain juga dikenal sebagai cash card dan bisa digunakan untuk pembayaran jasa transportasi, jasa jalan tol, gerbang ERP dan parkir, jasa utilitas listrik dan air serta berbelanja di gerai minimarket.
Uang elektronik semakin sering digunakan sekitar lima tahun lalu di Indonesia, terutama sejak menjadi syarat pembayaran bis Transjakarta maupun kereta komuter. Lantas, mengapa ada resistensi adaptasi uang elektronik untuk pembayaran produk lain?
Jika alasannya biaya transaksi, perlu dipahami dua hal utama. Pertama, biaya transaksi relatif murah, yaitu Rp 750 untuk setiap penambahan nilai (top up) dengan nominal di atas
Rp 250.000. Top up dengan nilai nominal lebih rendah malahan tidak dikenakan biaya sama sekali.
Kedua, dengan melakukan transaksi nontunai, terjadi perpindahan data dan sesedikit apapun, terjadi biaya dari transaksi tersebut. Hal ini juga umum diterapkan dalam transaksi lain, seperti top up pulsa telepon genggam, listrik maupun moda pembayaran nontunai lain, seperti top up GoPay, GrabPay maupun pembayaran kartu kredit.
Perlu juga dipahami, dengan pembayaran non tunai, maka efisiensi yang terjadi dalam hal waktu, energi dan risiko akan lebih baik berbanding dengan biaya yang dikeluarkan. Tidak hanya antrean jalan tol yang terpangkas, namun bisa menekan biaya cash handling yang cukup signifikan bagi perusahaan.
Dengan transaksi non tunai, perusahaan bisa mengurangi proses pengambilan dan penyetoran secara tunai yang biayanya tidak kecil dan mereduksi resiko uang rusak atau dicuri atau dikorupsi. Hal ini juga yang mendorong PT Pertamina mempersiapkan pemberlakuan transaksi uang elektronik di pom bensin.
Dengan semakin meluasnya penggunaan uang elektronik, diharapkan ke depan transaksi non tunai menjadi semakin inklusif. Salah satu alasan mengapa uang elektronik lebih dulu popular ketimbang yang lain, seperti E-Cash, GoPay dan GrabPay, karena e-money memiliki bentuk fisik berupa kartu. Sehingga lebih mudah diadaptasi oleh masyarakat Indonesia ketimbang electronic cash yang tidak memiliki bentuk fisik.
Hal ini juga yang mendasari pemikiran untuk mencoba penggunaan uang elektronik untuk keperluan yang lebih besar bagi masyarakat. Salah satunya untuk bantuan sosial nontunai.
Jika benar teknologi ini dapat diadaptasi untuk penyaluran bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan atau Bantuan Pangan Non Tunai, alangkah baiknya karena akan banyak memangkas jalur distribusi bantuan tersebut. Sehingga langsung dapat diterima oleh keluarga sasaran.
Ke depan, program bansos nontunai juga dapat diterapkan untuk program lain, seperti subsidi pupuk, elpiji, dan pendidikan dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia siap mengadaptasi sistem transaksi non-tunai?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News