kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Masyarakat permisif terhadap korupsi


Rabu, 18 Juli 2018 / 15:58 WIB
Masyarakat permisif terhadap korupsi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan OTT terhadap Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih, isteri Bupati Temanggung terpilih, M Alkhadziq, di Pilkada Serentak 27 Juni kemarin, yang juga ikut ditahan KPK. Eni disangka menerima suap Rp 500 juta terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1.

Di satu sisi kita prihatin kenapa para politisi tak kunjung jera melakukan korupsi, meski gerakan eliminasi korupsi terus gencar, terutama oleh KPK. Namun di satu sisi ini keberhasilan KPK menyelamatkan rumah demokrasi. Bagaimanapun, semakin banyak terungkap praktik korupsi, semakin berpeluang membenahi lubang demokrasi.

Demokrasi semakin konstruktif jika dipagari good governance yang baik di semua bidang pemerintahan. Dalam perspektif Barak (2001) korupsi tidak sekadar pelanggaran hukum, tapi juga merupakan penyimpangan produksi dan kekuasaan yang memicu kerugian sosial. Rakyat menjadi korban terdepan dari produksi kebijakan publik yang lebih memihak pada rezim politik parsial dan rezim pemodal.

Banyak yang bilang, meningkatnya kasus korupsi kepala daerah karena besarnya biaya politik untuk meraih tiket kekuasaan. Ini serupa diktum: kejahatan timbul dari tidak adilnya sistem kesejahteraan di tingkat individu, kelompok maupun bangsa (Goodin, 1988). Dari segi sosiologis, logika demikian benar, karena salah satu pemicu kejahatan adalah kesenjangan sosial.

Namun dari sudut politik, logika di atas agak absurd, karena mereka yang masuk dalam orbit politik adalah orang/kelompok yang secara kapasitas, moral dan material terbilang cukup. Mereka juga dianggap punya surplus keadaban untuk mengekang diri dan mempertanggungjawabkan nilai rasa kemanusiaan kepada rakyat sebagaimana konsepsi politisi wali (guardian)-nya Plato.

Lalu kenapa masih banyak elite yang tak tahan godaan pahit korupsi? Pertama, tingginya biaya politik (mahar, belanja iklan atau kampanye) adalah faktor yang membuat para kepala daerah harus menempuh jalan pintas menebus utang elektoral politik yang digelontorkan. Kedua, politisi hari-hari ini memang disuplai dari parpol yang tidak serius mencetak politisi berkarakter dan kapabel. Dengan kata lain, masih berperan di level demagog (mudah dihasut dan berburu kekuasaan an-sich) ketimbang pedagog (mengedukasi dan mengkaderkan politisi berkualitas).

Inilah yang membuat partai politik semacam kehilangan aura tif-nya karena defisit platform ideologi yang pro-populis. Akibatnya gerak parpol cenderung pragmatis dan lebih mengikuti bandul musiman kekuasaan melalui promosi kader minimalis. Tidak heran jika banyak parpol surplus politisi medioker yang dengan mudah melindungi kadernya yang korup dengan menebar apologi penangkapan kader mereka yang korup terkesan dipolitisasi.

Ketiga, meminjam Hannah Arendt soal mentalitas dan karakter megalomanian individu politisi itu sendiri yang selalu bernafsu mengeskalasi nilai keuntungan pribadi melebihi batas dengan memperalat sistem, regulasi, sumber daya serta relasi pengaruh kekuasaan yang dimiliki. Kita tentu masih ingat temuan rekening gendut kepala daerah tahun 2011, meski sudah kaya tetap nekat memburu kekuasaan untuk mencuri uang negara. Sebenarnya state of nature politisi ini dalam konteks demokrasi, bisa dinegasi oleh parpol yang ideologis, dengan memberikan ruang promosi luas terhadap kader genuine, jujur, cerdas, energik, visioner dan mengeliminasi kader-kader imitatif sejak dari rahim parpol.

Keempat, rendahnya kepercayaan rakyat terhadap politisi. Rakyat tahu, setelah politisi terpilih menjadi kepala daerah, mereka akan ditinggalkan. Rendahnya kepercayaan ini diproduksi preseden kepemimpinan jamak yang cenderung corruptus atau corrumpere: memutarbalikkan dan merusak kepercayaan rakyat. Padahal rendahnya kepercayaan rakyat membuat kesadaran partisipasi rakyat dalam memilih hingga mengontrol kinerja kepala daerah melempem sehingga proses korupsi seperti berada di jalan tol.

Masyarakat criminaloid

Inilah yang disebut masyarakat criminaloid-nya Edward Alshwaort (1907). Masyarakat pragmatis, permisif yang mewajarkan seorang yang punya track-record buruk mereguk kekuasaan. Mereka lebih takzim pada pemimpin kaya dan berpengaruh, meski diperoleh lewat korupsi. Karena menganggap sukses identik dengan duit banyak dan jabatan mentereng. Mereka memanfaatkan pilkada untuk menguras uang calon kepala daerah lewat jual beli suara, serangan fajar, dan lainnya.

Tidak peduli nanti jabatan kepala daerah pada ujungnya dijadikan alat merampok balik uang rakyat. Yang penting hari ini bisa mendapatkan uang dan foya-foya. Jangan heran, jejak politisi yang tebercak korupsi tetap didapuk sebagai pemimpin. Contoh aktual, menangnya pasangan Syahri Mulyo-Maryoto Bhirowo di Pilkada Serentak 2018 kemarin dengan meraih perolehan suara 60,1%. Mengalahkan rivalnya, pasangan Margiono-Eko Prisdianto (39,9%). Padahal pada 8 Juni lalu, KPK telah menetapkan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait dengan pengadaan barang dan jasa Pemerintah Kabupaten Tulungagung tahun anggaran 2018.

Model masyarakat seperti ini menurut Max Weber (1976) akan menyuburkan praktik korupsi di level elite. Mereka digunakan sebagai label antikorupsi oleh kelompok politik untuk pencitraan, namun mental pragmatisme masyarakat tetap eksis. Maka, tak ada cara lain selain mematikan mentalitas ini. Supaya demokrasi kita bergerak maju, masyarakat harus meninggalkan karakter criminaloid-itasnya dengan bersikap rasional kritis memilih calon pemimpin khususnya di Pemilu tahun 2019 mendatang.

Sudah saatnya rakyat meninggalkan prinsip memilih pemimpin atau wakil rakyat berbasis moralitas afektual (memilih karena perasaan, subjektivitas dangkal). Mereka yang tidak beretika, harusnya tidak boleh dipilih meski ia terlihat humanis, suka menghamburkan uang untuk menyumbang pelbagai kegiatan sosial. Sebab kalau melihat lebih jernih lagi, uang tersebut hanya tipuan politik sesaat untuk melahirkan kesengsaraan kekal rakyat.

Intinya rakyat harus berpartisipasi penuh kesadaran di dalam pemilu. Mulai dari melakukan pencoblosan secara objektif hingga konsisten mengawal pemenuhan janji-janji wakil rakyat dan pemimpinnya.•

Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×