Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Hari ini 18 Oktober 2018 kita merayakan Insurance Day sebagai Hari Asuransi Nasional ke 12 yang akan diisi dengan aksi literasi asuransi serentak di 13 kota besar di seluruh penjuru tanah air. Puncak acara adalah fun walk di Yogyakarta pada 18 November nanti.
Setelah industri asuransi berumur 150 tahun, Jiwasraya berdiri tahun 1859 dengan nama Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrende Maatschappij van 1859, tidak banyak yang berubah dari industri ini dalam 30 tahun terakhir. Selain Undang Undang (UU) Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian dan berlakunya sistim jaminan sosial nasional lewat BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2017 ada 138 asuransi konvensional dan 12 asuransi syariah. Asuransi konvensional terdiri 52 perusahaan asuransi jiwa, 76 asuransi umum, lima perusahaan reasuransi, tiga perusahaan asuransi wajib dan dua asuransi sosial BPJS.
Asuransi syariah terdiri tujuh asuransi jiwa, empat asuransi umum dan satu reasuransi. Jasa Penunjang Industri Keuangan Non Bank sebanyak 238 perusahaan terdiri 169 pialang asuransi, 42 pialang reasuransi dan 27 jasa penilai kerugian. Plus 528.744 agen asuransi.
Premi asuransi meningkat dari US$ 10,66 miliar tahun 2010 menjadi US$ 14,93 miliar tahun 2015. Terdiri premi asuransi jiwa US$ 7,2 miliar di tahun 2010 menjadi US$ 11,01 miliar di tahun 2015, Kemudian premi asuransi umum US$ 3,46 miliar menjadi US$ 3, 92 miliar di periode serupa.
Penetrasi asuransi Indonesia sepanjang kurun 2010-2015 tidak banyak beranjak. Penetrasi asuransi jiwa pada 2010 sebesar 1,00 meningkat menjadi 1,28 di tahun 2015. Asuransi umum di 2010 sebesar 0,5 bahkan turun menjadi 0.45 di tahun 2015.
Lantas densitas asuransi jiwa di level 30,9 pada tahun 2010 meningkat menjadi 42,7 tahun 2015. Lalu densitas asuransi umum sebesar 14, 9 tahun 2010, melonjak menjadi 15,2 di tahun 2015.
Bila dibandingkan negara lain di Asia, total premi asuransi Indonesia untuk tahun 2015 yang sebesar US$ 14,93 miliar masih kalah dengan Thailand (US$ 21,68 milair), Singapura (US$ 28 miliar) atau China yang mencapai US$ 385,5 miliar.
Bila melihat penetrasi premi asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB), posisi Indonesia yang sebesar 1,73%, masih kalah dengan Malaysia (5%), Singapura (7,25%) atau Filipina yang sudah 1,9%. Begitu pula dengan densitas asuransi per kapita kita yang cuma US$ 57,9 di tahun 2015, kalah dengan Thailand (US$318,9), Malaysia (US$ 472,3), apalagi Singapura (US$ 3.825).
Rendahnya tingkat penetrasi asuransi di Indonesia karena kurangnya literasi dan kesadaran masyarakat soal manfaat dan keuntungan asuransi. Lainnya karena masih sedikitnya produk asuransi yang sesuai kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.
Mayday Insurance Day
Jadi tepat bila menyebut Insurance Day sebagai Mayday Insurance Day untuk melakukan refleksi dan membunyikan alarm bahwa masih banyak pekerjaan rumah industri asuransi yang tidak dikerjakan sejak 30 tahun terakhir.
Mayday menunjukkan tubuh pesawat industri perasuransian tengah dalam keadaan darurat dan membutuhkan bantuan untuk terhindar dari crash landing yang fatal dan mahal pemulihannya. Catatan beberapa waktu ini menunjukkan puncak gunung es dari sejumlah masalah di industri asuransi.
Pertama , sektor asuransi jiwa yang mengalami mismatch membuat aset liability gap insolvency, dan tidak tersedianya jaring pengaman bagi pelaku industri dan nasabah. Tengok kasus AJB Bumiputera 1912 (2016), Bumi Asih Jaya dan Jiwa Nusantara (2013), Jiwa Bakrie (2016 ), Mubarakah (2016 ), Asuransi Raya, terbaru Jiwasraya dengan kaksus tunda bayar polis saluran bancassurance.
Kedua, sektor asuransi umum mengalami negative spread, dan secara total net combined operating ratio negatif. Akibat perang tarif dan praktik engineering fee dan marketing fee yang sudah pada tingkat bunuh diri akibat terlalu banyak pemain di pasar. Bertolak belakang dengan mindset sebagian besar pelaku asuransi yang menjadikan perolehan premi sebagai primadona kalau bukan berhala. Top line menjadi prioritas ketimbang bottom line yang menjadi hak seluruh pemangku kepentingan secara luas.
Bagaimana mungkin industri terkelola baik dan menunjukkan postur sebenarnya bila data tentang besaran biaya operasi seluruh pelaku tidak diketahui oleh asosiasi seperti AAUI dan AAJI yang menjadi hak nasabah atas keterbukaan informasi.
Ketiga, OJK yang over regulated tetapi tidak menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri. Sebut beberapa Peraturan OJK antara lain Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi, POJK Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian. POJK Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, POJK Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank. Atau POJK Nomor 55/POJK.05/2017 tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian,
Dengan berbagai kewenangan OJK tersebut dan instrumen deteksi dini seperti risk base capital (RBC), kondisi mismatch perusahaan asuransi seharusnya bisa dicegah. Sikap pejabat perasuransian OJK yang business as usual, tidak tanggap dan bahkan gagal paham setelah melewati masa learning curve.
Keempat, lemahnya tata kelola dan kepastian hukum. Soal pemailitan asuransi yang tidak melindungi kepentingan hak pemegang polis; pembatasan kegiatan usaha yang terlalu lama sehingga menganggu reputasi perusahaan ( Bumi Asih Jaya); tata kelola buruk (kasus Jiwasraya dan AJB Bumiputera), kepatuhan buruk (Jiwasraya), kepastian hukum (lembaga penjamin polis, aturan mutual , asuransi wajib amanat UU 40 /2014 belum terwujud).
Pelanggaran mengenai batas waktu laporan bulanan; batas waktu pencapaian ekuitas minimum pialang sampai Juni 2018, pelanggaran ketidak cukupan RBC di bawah minimal 120%. Kriminalisasi asuransi oleh nasabah atas nama undang undang perlindungan konsumen (Allianz Life).
Bersyukur ada angin segar dari pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) World Bank Bali ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani mempresentasikan inisiatif asuransi bencana dalam skema Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI ) dimulai dengan barang milik negara dan pola public private partnership (PPP). Juga aksi korporasi yang terhitung berani dari manajemen Jiwasraya untuk membayar bunga dimuka atas nasabah polis bancassurance. Tindakan yang harus diikuti dengan penghentian produk bancassurance untuk sementara. Mayday Insurance Day! •
Irvan Rahardjo
Komisaris Independen AJB Bumiputera 1912
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News