Sumber: Harian KONTAN | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - Sebuah kado istimewa dipersembahkan Inalum di akhir tahun ini: membayar lunas transaksi akuisisi sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 55 triliun lebih. Sah sudah pemerintah menguasai 51,23% saham PT Freeport Indonesia melalui induk BUMN pertambangan itu.
Tentu tak semua kalangan sependapat ini sebagai prestasi, apalagi di masa-masa kampanye pemilu. Ada yang bilang sebagai pencitraan belaka, akan jadi ajang bancakan; hingga menyayangkan pembelian saham Freeport pakai utang, padahal harusnya bisa didapat secara gratis.
Berbagai kritik dan cemooh itu tentu bisa disanggah dengan argumentasi rasional berlandaskan fakta dan data. Kita tahu, Freeport datang bersamaan dengan berdirinya Orde Baru, 1967. Setelah melahap Gunung Erstberg, tahun 1991, mereka buru-buru meminta perpanjangan kontrak. Ternyata ada temuan Grasberg yang lebih berkilau kandungan logamnya. Dan kontrak karya generasi kedua inilah yang menjerat pemerintah sampai isi tambangnya habis tahun 2041. Bila pemerintah dinilai menolak perpanjangan secara tidak wajar, Freeport bisa membawa sengketa ke arbitrase internasional.
Proses negosiasi sebelum kontrak karya berakhir tahun 2021 itu sendiri penuh dengan pergulatan tarik ulur yang sangat liat. Tapi akhirnya tercapai juga win-win solution
Harga US$ 3,85 miliar untuk 51% saham itu relatif tak berbeda dengan kajian beberapa lembaga finansial ternama; dan jauh lebih rendah ketimbang permintaan Freeport sebesar US$ 12,15 miliar. Pemerintah pun dengan jeli memakai celah hak partisipasi 40% milik Rio Tinto yang mau dilepas dan kewajiban lingkungan yang harus diselesaikan Freeport. Kenapa harus pakai utang dalam dollar AS, itu juga sejalan dengan siasat moneter.
Selain itu, aturan main di pertambangan memang beda dengan di migas yang memakai skema cost recovery. Cukup lewat proposal, Pertamina bisa menguasai blok migas terminasi seperti Blok Mahakam yang sebelumnya dipegang Total, dan selanjutnya Blok Rokan yang digenggam Chevron. Sementara di mineral, aset tambang tetap milik perusahaan pemegang konsesi.
Persoalan yang lebih penting buat Inalum setelah memegang mayoritas di Freeport Indonesia: jangan sekadar mayoritas diam, yang hanya bisa menunggu pembagian dividen semata. Proses alih teknologi dan operasional harus cepat dilakukan, agar tambang bawah tanah Grasberg bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi bangsa Indonesia terutama masyarakat adat Papua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News