Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Skandal data Cambridge Analytica di dalam negeri memasuki babak baru setelah Indonesia ICT Institute (IDICTI) dan Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) secara resmi melayangkan gugatan class action ke Facebook pertengahan Mei lalu. Dalam berkas gugatannya, ICT dan LPPMII menuntut ganti rugi senilai Rp 11,21 triliun ke Facebook karena dianggap menyalahgunakan dan membocorkan data pribadi pengguna tanpa izin.
Perkara hukum ini menambah panjang masalah yang dihadapi Facebook imbas skandal tersebut. Setelah Inggris dan Indonesia, pada 22 Mei lalu, Mark Zuckerberg menghadap Parlemen Uni Eropa di Brussel dan dicecar berbagai pertanyaan mengenai skandal Cambridge Analytica. April lalu, Zuckerberg juga dinterogasi Kongres AS dan menyebut dirinya bertanggung jawab dan menegaskan Facebook berkomitmen mengadopsi pemikiran filosofis yang lebih luas dalam memahami dan mewujudkan tanggung jawab mereka.
Pelajaran penting dari skandal ini adalah setiap jenis bisnis memiliki tanggung jawab sesuai dengan efek yang ditimbulkan. Industri ekstraktif seperti perusahaan pertambangan dan migas menjalankan bisnis dengan “mengekstraksi” atau mengambil kandungan sumber daya alam. Perusahaan media sosial sejatinya melakukan kegiatan “ekstraksi” serupa. Tetapi pada lingkungan sosial melalui pengumpulan dan pemanfaatan data penggunanya.
Jika perusahaan industri ekstraktif memikul tanggung jawab untuk mengelola terutama dampak terhadap alam dan lingkungan, perusahaan media sosial termasuk Facebook harus menyadari dan memikul tanggung jawab atas efek operasional mereka terutama yang dapat memengaruhi tatanan sosial.
ISO 26000 SR, sebuah panduan internasional tentang tanggung jawab sosial, memberikan tuntunan dalam mengenali tanggung jawab sosial sebuah organisasi yaitu dengan menelaah ruang lingkup operasi bisnisnya. Model bisnis Facebook dicirikan oleh dua fitur penting yaitu platform berbasis pengguna (user-based platform) dan konten yang dibuat pengguna (user generated content atau UGC). Ada dua aspek utama tanggung jawab sosial yang muncul dari kedua fitur ini.
Pertama, sebagai jejaring sosial Facebook merupakan platform berbasis pengguna yang memberikan akses kepada user untuk mendaftar dan menggunakan layanan dengan menyediakan data pribadi mereka. Ketika menggunakan media sosial tersebut, pengguna mengekspos berbagai perilaku digital. Inilah yang dikapitalisasi Facebook untuk menggerakkan operasi bisnis mereka. Dengan jumlah pengguna dari 100 juta menjadi 2,2 miliar dalam dekade terakhir, raksasa media sosial ini telah membangun bisnis iklan digital dengan pendapatan sekitar US$ 40 miliar pada 2017.
Memperhatikan CSR
Dapat dikatakan Facebook memiliki bank data global pengguna dengan skala dan jumlah yang sangat masif. Skandal Cambridge Analytica menyingkap bahwa ada praktik penyalahgunaan data yang dipicu kurangnya perlindungan privasi. Ini menunjukkan aspek pertama tanggung jawab sosial bagi Facebook adalah untuk memastikan standar tertinggi perlindungan privasi dengan mengacu pada nilai etika khususnya dalam pengumpulan dan penggunaan data penggunanya.
Kedua, fitur user generated contents (UGC) yang memungkinkan pengguna untuk membuat dan berbagi konten di timeline-nya. Meskipun Facebook memiliki banyak dampak positif seperti membangun komunitas dan gerakan sosial serta membantu pengembangan bisnis, namun media sosial tersebut juga memiliki efek buruk yaitu terjadinya misinformasi serta penyebaran konten negatif seperti ujaran kebencian dan berita palsu (hoaks). Konten semacam ini turut memicu ketegangan dan konflik lokal melalui isu yang memecah belah dan mempolarisasi masyarakat sebagaimana yang terjadi di Myanmar, Srilangka dan Indonesia.
Maraknya konten berbau terorisme dan radikalisme juga merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan. Maka aspek penting kedua dari tanggung jawab sosial Facebook adalah memerangi konten negatif di media sosial mereka secara lebih intensif dan signifikan.
Memperhatikan tanggung jawab sosial penting untuk bisnis. Skandal data Cambridge Analytica telah mendatangkan kerugian reputasi bagi Facebook. Studi dari Ponemon Institute, sebuah organisasi think tank AS, menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap komitmen Facebook melindungi data pengguna dan privasi tahun ini turun 66% dari 2017. Kampanye #DeleteFacebook bisa mengancam loyalitas dan pertumbuhan pengguna.
Oleh karena itu, urgensi dalam menjalankan tanggung jawab sosial secara lebih komprehensif menjadi semakin relevan bagi perusahaan media sosial. Pasca terjadinya skandal data, Mark Zuckerberg telah menegaskan komitmennya untuk memperbaiki Facebook, diantaranya dengan meningkatkan setting privasi, memperketat akses aplikasi ke data pengguna dan mengerahkan 20.000 staf untuk memantau dan menurunkan konten negatif.
Alhasil, agenda tanggung jawab sosial yang penting untuk Facebook adalah memastikan bahwa semua langkah yang saat ini direncanakan akan efektif dan membawa perubahan. Agar lebih akuntabel dan transparan, Facebook dapat mengkomunikasikan tindakan yang telah diambil dan hasil yang telah dicapai dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. Hal ini dapat dilakukan melalui laporan keberlanjutan (sustainability reporting) dengan mengungkapkan (disclose) dampak operasional Facebook, kontribusi dan pendekatan pengelolaan terhadap aspek ekonomi, lingkungan serta sosial. Laporan berkelanjutan ini dapat sekaligus berfungsi sebagai upaya pemantauan, meningkatkan kepercayaan publik, dan secara bertahap membantu memulihkan reputasi Facebook. Patut dicatat situs web keberlanjutan Facebook saat ini hanya fokus pada aspek lingkungan saja.
Di tahun 1953, ketika Howard R. Bowen, seorang akademisi dan pakar ekonomi dari AS menerbitkan buku berjudul Social Responsibilities of the Businessman, teknologi informasi dan media sosial belum berkembang pesat seperti saat ini. Namun, gagasan dan pemikirannya tetap relevan. Menurut Bowen, perusahaan besar adalah "pusat vital kekuasaan (power), keputusan, dan tindakan" yang memengaruhi kehidupan banyak orang. Dan Facebook serta perusahaan media sosial lainnya tidak diragukan lagi memiliki kapasitas itu. Maka, with great power comes great (social) responsibility atau dengan kekuatan yang besar menuntut tanggung jawab (sosial) yang besar pula.
Mardian Marsono
Konsultan Senior di Kiroyan Partners dan Fellow ASEAN CSR 2018
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News