| Editor: Tri Adi
Di tengah hiruk-pikuknya suasana politik dan pemberitaan di tahun politik, pada hari Selasa 27 Februari 2018 berita mengejutkan datang dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini resmi membekukan aktivitasnya terhitung sejak Selasa 27 Februari 2018. Ikhwal peristiwa tersebut terjadi karena belum terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) tentang keanggotaan komisi beserta perpanjangan izin operasional dari Presiden.
Merujuk pasal 31 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menetapkan bahwa anggota KPPU diangkat dan diberhentikan Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Menyikapi situasi konkret yang terjadi pada KPPU periode ini sebenarnya Pasal 4 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 sudah mengatur bahwa dengan berakhirnya masa jabatan dan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan KPPU, maka jabatan angota KPPU dapat diperpanjang sampai dengan pengangkatan anggota baru.
Persoalannya adalah keanggotaan KPPU periode ini telah berakhir masa jabatannya pada 27 Desember 2017. Lantas sudah diperpanjang oleh Presiden hingga 27 Februari 2018, yang selanjutnya hingga Selasa 27 Februari 2018 belum ada perpanjangan dari Presiden. Sehingga secara hukum masa jabatan anggota KPPU habis dan belum dibentuk keanggotaan KPPU yang baru.
Konsekuensi hukum atas peristiwa tersebut adalah bahwa KPPU mengalami kekosongan komisioner dan terhambatnya fungsi KPPU untuk melayani masyarakat. Hal ini ironis dan bertolak belakang dengan jargon kerja, kerja, kerja yang selalu digaungkan Presiden. Konsekuensi atas kekosongan komisioner KPPU yang membekukan diri tersebut adalah saat ini KPPU hanya merupakan lembaga kosong yang tidak dapat menjalankan aktivitasnya sebagaimana semangat pembentukannya.
Persoalan berikutnya adalah siapa yang bertanggung jawab atas fungsi KPPU dalam kondisi beku seperti saat ini. Jika dirunut persoalannya pada 8 Agustus 2017 Presiden sudah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 96/P tahun 2017 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Keanggotaan KPPU dan sesuai berita acara panitia seleksi telah memberi rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat sesuai mekanisme Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 tahun 1999.
Hingga Selasa 27 Februari 2018 DPR belum memproses dan melakukan fit and proper test yang menghasilkan rekomendasi bagi Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden pengangkatan keanggotaan KPPU yang baru. Dalam logika hukum administrasi negara hal ini dapat dipahami. Sebab jika dipaksakan diterbitkan Keputusan Presiden pengangkatan keanggotaan KPPU sebelum adanya rekomendasi dari DPR maka akan bertentangan dengan mekanisme Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 yang mengakibatkan Keputusan Presiden batal demi hukum.
Peristiwa bekunya KPPU ini memperlihatkan kurang optimalnya komunikasi antar lembaga tinggi negara. Dengan situasi saat ini artinya secara legal KPPU tidak lagi mempunyai anggota komisi yang sah. Maka inilah sebenarnya persoalan yang harus diselesaikan dengan urgensi yang tinggi.
Saat ini solusi sementara yang dimungkinkan adalah Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan pejabat sementara (Pjs) anggota KPPU. Hal ini harus dilakukan karena secara hukum Presiden tidak mungkin lagi menerbitkan Keputusan Presiden untuk memperpanjang masa jabatan anggota KPPU mengingat tenggat waktu yang telah terputus.
Pengangkatan pejabat sementara (Pjs) ini memang tidak dikenal dalam mekanisme Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Tetapi logikanya anggota KPPU adalah pejabat publik yang tidak boleh kosong. Sehingga dengan menggunakan logika administrasi pemerintahan bahwa setidaknya untuk tetap menjalankan fungsi KPPU perlu diangkat pejabat sementara (Pjs). Logika hukum lainnya adalah lebih baik memutuskan pengangkatan pejabat sementara (Pjs) dibanding memilih menggunakan terobosan hukum lain yang lebih berpotensi melanggar mekanisme yang ada.
Logika pembekuan KPPU
Beberapa tahun yang lalu tentu kita masih mengingat ketika Jaksa Agung masa itu Hendarman Supandji digugat mengenai keabsahan dalam melakukan tugasnya sebagai Jaksa Agung oleh Prof Yusril Ihza Mahendra. Lantaran dianggap secara administrasi negara cacat pada prosedur pengangkatan dan sumpah Jaksa Agung. Sehingga pada masa itu secara hukum Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa prosedur pengangkatan dan sumpah Jaksa Agung tidak sah dikarenakan persoalan administrasi negara.
Logika yang sama digunakan oleh anggota KPPU saat ini ketika membekukan diri karena belum terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) tentang keanggotaan komisinya beserta perpanjangan izin operasional dari Presiden. Pemikiran anggota KPPU ini dapat dipahami dari sudut pandang hukum administrasi negara mengingat jika mereka melakukan fungsi tanpa dasar hukum yang sah maka akan memunculkan persoalan baru.
Secara pararel solusi definitif atas persoalan ini adalah demi kontinuitas KPPU. Maka pemerintah harus menggunakan celah hukum. Pengangkatan pejabat sementara (Pjs) yang dibarengi dengan adanya komunikasi antara eksekutif dan legislatif terkait fit and proper test dan penerbitan rekomendasi sesuai mekanisme Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 dapat dilakukan sehingga dapat diangkat dan dibentuk keanggotaan KPPU yang legal dan definitif untuk menggantikan pejabat sementara (Pjs).
Perlu dipahami bahwa Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tidak memberikan tenggat waktu bagi DPR untuk melakukan fit and proper test dan memberikan rekomendasi bagi Presiden. Guna menghindari berlarut-larutnya persoalan ini yang semakin menguras energi bangsa dan semakin menambah gaduh maka perlu dilakukan komunikasi antar lembaga tinggi negara. Ini terkait pengangkatan anggota definitif KPPU guna menggantikan pejabat sementara (Pjs) yang hanya untuk menjaga kontinuitas pelayanan pada masyarakat sesuai semangat pembentukan awal KPPU.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News