kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Melihat sisi negatif ojek online


Senin, 17 Desember 2018 / 11:35 WIB
Melihat sisi negatif ojek online


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Dalam musim pemilihan presiden seperti saat ini, media massa Indonesia, terutama media online dan media sosial dipenuhi oleh berbagai pembahasan mengenai tindak tanduk calon presiden (capres) baik itu untuk nomor 01 yakni pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin maupun nomor 02 yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Semua pembahasan nampaknya dikaitkan ke pilihan capres, termasuk juga bahasan mengenai ekonomi. Ambil contoh mulai dari persoalan nilai tukar rupiah yang masih melemah hingga menyangkut ke bahasan cakupan mikro sekalipun.

Nah, pembahasan kali ini mulai melebar ke persoalan transportasi roda dua yang digunakan sebagai angkutan umum, atau istilah umumnya adalah ojek. Kedua kubu saling klaim kepedulian terhadap nasib para tukang ojek ini yang selalu terpinggirkan. Terlebih saat ini ojek sudah bisa dibilang menjadi kebutuhan penting bagi transportasi dengan sistemnya yang sudah online atau daring.

Namun di sisi lain, ternyata transportasi ojek ataupun transportasi online lainnya menyimpan sebuah potensi efek negatif. Memang ojek online sejatinya menyimpan potensi bisnis, tapi rupanya juga mempunyai bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Sampai saat ini, ada lebih dari 1,5 juta mitra transportasi online yang secara aktif terus berupaya mencari nafkah dari bisnis layanan digital tersebut. Bahkan ada salah satu aplikator transportasi online diunduh hingga 70 juta kali. Ini menjadi catatan yang cukup fantastis bagi ukuran sebuah aplikasi smartphone.

Bahkan layanan aplikasi akan semakin tidak mengenal batas negara karena adanya potensi untuk memperbesar pasar di tingkat regional.

Salah satu perusahaan aplikasi asal Malaysia bahkan sudah mempunyai layanan di tujuh negara yang tersebar hingga 142 kota di kawasan Asia Tenggara. Bahkan jenis layanan mereka semakin beragam. Mulai layanan transportasi, layanan pesan antar makanan, hingga saat ini aplikator bergerak di layanan pembayaran digital (tekfin). Bahkan bisa dibilang ekonomi masa depan ada di tangan perusahaan aplikasi-aplikasi digital tersebut.

Dengan potensi dan kekuatan yang sebegitu besar, tidak mudah memang mengatur industri transportasi online, terutama ojek online. Pemerintah sebenarnya sudah mengatur hal ini dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di dalam peraturan itu, kendaraan roda dua tidak dapat dijadikan sebagai transportasi umum. Faktor keselamatan menjadi pertimbangan utama.

Namun, di sisi lain pemerintah seakan tidak peduli dengan lambatnya perbaikan layanan transportasi massal. Ketika keadaan memburuk karena adanya kemacetan, pilihan dengan mengendarai sepada motor dengan layanan ojek menjadi pilihan rasional. Adanya layanan ojek online semakin menambah permintaan akan layanan transportasi roda dua ini. Memang banyak orang menganggap ini adalah solusi untuk mengatasi kemacetan. Namun di sisi lain, ternyata ojek online ini mempunyai efek negatif.

Waspada efek negatif

Salah satu yang paling besar potensi negatif dan jarang dibahas oleh khalayak luas adalah mengenai bentuk pasar yang tidak menguntungkan bagi para pengemudi dalam jangka panjang. Seperti yang dijelaskan pada tulisan penulis sebelumnya, pasar ojek online ini sejatinya berbentuk two sided market. Dalam bentuk pasar ini, perusahaan aplikasi punya peran penting dalam membentuk harga antara mitra dan konsumen.

Harga yang ditawarkan biasanya akan miring sebelah pada jangka panjang. Pada jangka pendek biasanya akan melakukan predatory pricing di kedua sisi untuk merebut mitra dan konsumen secara sekaligus.

Awal mula layanan ini booming, penghasilan mitra memang relatif sangat besar, bahkan melebihi pendapatan orang kantoran biasa. Saat itu memang jumlah mitra masih sangat kecil dengan permintaan yang semakin meningkat. Sangat wajar ketika itu perusahaan aplikasi memberikan tarif mahal kepada mitra untuk meningkatkan penawarannya.

Sedangkan di sisi lain tawaran tarif murah juga diberikan kepada konsumen untuk menjaring pasar. Dengan kekuatan pemodal yang besar, strategi bakar uang ini dapat berjalan dengan bagus.

Namun pada jangka panjang, kurva permintaan terhadap mitra akan mulai inelastis. Artinya, harga yang diterima oleh mitra akan tidak peka terhadap jumlah yang diminta oleh aplikator. Dampaknya mitra tidak mempunyai kekuatan daya tawar terhadap aplikator. Harga ke mitra akan dikorbankan karena aplikator berkepentingan untuk menjaga konsumen. Terlebih perusahaan aplikator di Indonesia hanya dua yang berkembang.

Kondisi pasar yang mengarah kepada duopoli akan membuat perusahaan aplikator mudah mengatur harga, terutama harga ke mitra. Jadi dalam beberapa bulan terakhir, sebenarnya konsumen disubsidi oleh mitra dalam menggunakan jasa transportasi ojek online.

Perilaku aplikator semacam ini mulai tercium gelagatnya akhir-akhir ini. Kasus terakhir tentu saja semakin maraknya demo-demo ke aplikator oleh mitra. Terakhir, ada penolakan mitra untuk bekerja mengantarkan konsumen. Tindakan ini viral di media massa.

Hal ini yang berbahaya karena sudah ada penolakan secara langsung kepada konsumen dan penyebabnya karena harga yang ditawarkan oleh mitra sangat rendah. Bahkan jika dianalogikan, harga yang didapat oleh mitra sudah di bawah biaya variabel.

Maka mitra sudah sepatutnya tidak bekerja lagi sebagai mitra ojek online. Kondisi macet, jauhnya titik pengantaran, hingga ada biaya perjalanan tidak terduga tidak dapat ditutupi oleh pendapatan tarif konsumen dan bonus dari aplikator. Terlebih saat ini untuk mendapatkan bonus, mitra harus bekerja dengan effort tiga kali lebih besar dibandingkan pada awal bergabung.

Pemerintah seharusnya sudah mewanti-wanti perilaku dari aplikator sejak dini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa menjadi lembaga yang memulai inisiasi dalam pembahasan perlindungan kepada mitra pengemudi. Peraturan pemerintah yang masih digodok juga harus memasukkan hal ini karena para mitra pengemudi juga merupakan warga negara Indonesia yang wajib dilindungi haknya.

Nailul Huda
Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×