kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memahami gadai SK wakil rakyat


Rabu, 25 September 2019 / 09:10 WIB
Memahami gadai SK wakil rakyat


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Maraknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatan mereka demi memperoleh pinjaman dari bank patut kita cemaskan. Kekhawatiran ini karena kinerja mereka sebagai wakil rakyat bakal lebih terkonsentrasi ke soal bagaimana caranya memenuhi kewajiban finansial terhadap bank pemberi pinjaman, dan sekaligus tidak menutup kemungkinan membuka celah bagi terjadinya praktik-praktik korupsi politik.

Sebagaimana ramai diwartakan media belakangan ini, menyusul pelantikan anggota DPRD di sejumlah daerah, tersiar kabar bahwa sejumlah anggota DPRD terpilih langsung menggadaikan SK pengangkatan mereka sebagai anggota dewan ke bank atau lembaga keuangan lainnya.

Pihak bank menyediakan pinjaman kepada para anggota dewan itu dengan jumlah maksimal hingga Rp 1 miliar. Ini sama sekali bukan fenomena baru. Tahun-tahun sebelumnya, para anggota DPRD yang baru dilantik juga melakukan hal sama. Tak lama setelah pelantikan, mereka segera menggadaikan SK mereka.

Pertanyaannya, apakah mereka salah? Tentu, sama sekali tidak. Lantas, untuk apa mereka meminjam duit dalam jumlah besar dari bank? Ada beberapa kemungkinan. Salah satunya yaitu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Misalnya, untuk biaya pendidikan anak atau merenovasi rumah.

Tapi, bisa juga uang pinjaman ini untuk keperluan lain, yakni mengembalikan modal kampanye. Kita sama-sama tahu, ongkos politik di negeri ini masih sangat tinggi.

Data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan besaran pengeluaran untuk ikut kontestasi dalam pencalegan, misalnya, berkisar antara Rp 1,18 miliar sampai Rp 4,6 miliar. Jumlah itu berdasarkan penelitian LPEM pada pemilu tahun 2014. Pada pemilu 2019, boleh jadi jumlahnya jauh lebih jumbo.

Jumlah uang yang besar diperlukan untuk biaya operasional, seperti untuk biaya sosialisasi, kampanye, belanja iklan politik, membayar para saksi di tempat pemungutan suara (TPS) maupun membayar para konsultan politik atau bahkan mungkin membayar dukun politik.

Ongkos yang harus dirogoh dari kocek pribadi bisa bertambah besar ketika ada mahar politik yang harus dikeluarkan. Istilah mahar politik merujuk kepada uang yang mesti disetorkan kepada partai politik (parpol) oleh seorang bakal calon yang hendak maju dalam kontestasi pemilu. Mahar politik dibutuhkan agar sang bakal calon mendapat rekomendasi dan dukungan penuh dari parpol bersangkutan.

Dugaan adanya mahar politik dalam setiap proses pencalonan dalam kontestasi pemilu di negeri ini memang masih sulit untuk dibuktikan. Yang paling tahu mengenai praktik pemberian mahar politik ini tentu saja adalah individu serta parpol yang terlibat dan sama-sama memiliki kepentingan. Cuma, mengingat ongkos politik yang sangat besar selama ini, tidak menutup kemungkinan praktik-praktik mahar politik itu memang lazim terjadi.

Kemungkinan lain mengapa sebagian anggota DPRD yang baru dilantik memilih untuk berutang ke bank adalah karena mereka perlu mendongkrak gaya hidup mereka. Seperti sudah menjadi tradisi di negeri ini, apabila seseorang mendapatkan jabatan baru, maka serta merta gaya hidup dia dan keluarganya segera berubah drastis. Dan umumnya, semakin tinggi jabatan seseorang di negeri ini, maka semakin mewah dan boros gaya hidupnya.

Mengatrol status

Jujur saja, sebagian besar masyarakat kita saat ini cenderung berani mengeluarkan uang lebih banyak demi agar bisa membeli barang-barang yang dinilai mampu mengatrol status dan citra diri mereka. Kecenderungan serupa ini tak menutup kemungkinan menerpa sebagian anggota DPRD kita.

Seperti anggota masyarakat yang lain, sebagian anggota DPRD kita mungkin saja telah terseret ke dalam pusaran arus konsumerisme, yakni kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan hidup sangat ditentukan oleh seberapa banyak barang yang dimiliki dan seberapa banyak barang yang dikonsumsi.

Konsumerisme membawa kita pada keyakinan bahwa hidup adalah untuk membeli dan memiliki aneka barang, meski barang-barang itu belum tentu kita butuhkan. Dengan pemahaman seperti ini, prinsip dasar yang berlaku adalah: "Saya ada karena apa yang saya memiliki dan saya pakai." Dengan demikian, keberadaan (eksistensi) seseorang itu ditentukan dari apa yang dimilikinya, dan dari apa yang dipakainya.

Pada konteks ini, barang-barang dinilai bukan dari fungsi dan kemanfaatannya, melainkan dari bagaimana barang-barang ini mampu mendongkrak citra, status serta gengsi bagi para pemakainya.

Konsumerisme sama sekali tidak mementingkan substansi, karena yang ditekankan adalah kemasan. Karenanya, yang sangat dipuja oleh masyarakat yang telah terjangkiti konsumerisme adalah penampilan bukan isi. Karya, kreativitas dan budaya kerja keras menjadi tidak terlalu penting lagi.

Juliet Schorr, penulis buku The Overspent American: Why We Want What We Dont Need (1997), berpendapat bahwa adagium uang tidak akan mampu membeli kebahagiaan telah benar-benar dilupakan dewasa ini. Menurut Schorr, konsumerisme menegaskan bahwa kebahagiaan justru hanya bisa kita capai jika kita semakin banyak membelanjakan uang dan semakin banyak memiliki barang-barang.

Faktanya, kesuksesan orang kebanyakan lebih sering diukur dari seberapa banyak uang dan harta yang dimilikinya. Dalam upaya memenuhi pencapaian tersebut, masyarakat akhirnya berada pada dua pilihan saja: mencari uang dan menghabiskan uang. Hidup akhirnya seolah hanya untuk mencari uang dan menghabiskannya. Padahal, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang.

Meski demikian, toh semakin banyak saja orang menempuh berbagai upaya demi mendapatkan uang lebih banyak dan membelanjakannya lebih banyak lagi. Salah satunya adalah dengan cara berutang kepada bank. Nyatanya, kredit konsumsi perbankan kita secara nasional memang terbilang besar dan menjadi primadona dalam pembiayaan perbankan selama ini.

Data analisis uang beredar yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa kredit konsumsi masih menjadi jawara dengan pertumbuhan paling tinggi sejauh ini. Bank sentral kita mencatat per Mei 2018, kredit konsumsi naik 11,7% year on year menjadi Rp 1.436,3 triliun.

Ditilik dari kacamata ekonomi maupun medis, tingginya perilaku konsumtif sesungguhnya sangat tidak menguntungkan. Secara ekonomi, perilaku konsumtif tak mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif karena perilaku ini tidak menumbuhkan budaya investasi yang produktif.

Sementara secara medis, perilaku konsumtif dapat mengganggu kesehatan jiwa. Pasalnya, perilaku konsumtif mendorong orang berlomba-lomba mengejar uang dengan berbagai cara.♦

Djoko Subinarto
Kolumnis dan Alumnus FISIP Universitas Padjajaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×