kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memahami kepribadian penyebar hoaks


Senin, 29 Oktober 2018 / 11:14 WIB
Memahami kepribadian penyebar hoaks


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Tahun politik selalu ditandai dengan situasi politik nasional yang semakin memanas. Salah satu diskursus yang sedang mengemuka sejak dua tahun terakhir adalah tentang eksistensi penggunaan berita hoaks di media sosial yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Di berbagai kanal berita, isu tentang penggunaan berita kebohongan untuk berkampanye mulai menjadi isu yang diangkat oleh berbagai pihak. Dari kelompok partai pendukung pemerintah maupun kelompok partai oposisi. Presiden mengimbau semua pihak melawan politik kebohongan.

Faktanya, isu politisasi berita kebohongan memang selalu menjadi salah satu isu penting dalam konstelasi politik nasional kita. Pada bulan April 2017, situs aduan Turn Back Hoax mendapatkan lebih dari 1.900 laporan masyarakat hanya dalam rentang kurang dari tiga bulan. Itu merupakan aduan masyarakat tentang konten berita yang mengandung unsur kebohongan dan sengaja viral. Mayoritas aduan terkait politik. Menariknya, mayoritas berita bohong dikemas dengan framing agama.

Data di atas menunjukkan dua interpretasi. Pertama, politik kebohongan tampaknya masih merupakan sebuah fenomena yang dipilih menjadi modus utama dalam praktik politik di Tanah Air. Bukan tidak mungkin pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun depan masih akan diisi dengan berbagai isu hoaks, post-truth, echo chamber, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta istilah lain yang berkaitan validitas informasi, dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Kedua, isu agama dan sektarianisme diyakini masih akan menjadi tema yang digunakan untuk menggoreng berita kebohongan ini. Tipologi masyarakat pengguna media sosial kita masih didominasi berbagai latar belakang masyarakat. Salah satu diantaranya masyarakat yang sangat sensitif terhadap isu agama (Sofjan, 2016). Namun, pada tulisan ini kita akan menekankan diskusi pada poin pertama.

Mengapa seseorang berani menyebarkan berita kebohongan untuk kepentingan politik? Pertanyaan ini sangat krusial untuk dijawab saat ini. Jika dicermati, ulasan tentang politik kebohongan telah banyak dibedah dari berbagai sisi. Mayoritas pembahasan cenderung menitikberatkan pada analisis politik atau sudut pandang sosiologis. Tapi, salah satu poin penting yang kerap luput dari pembahasan adalah penyebaran berita kebohongan juga melibatkan unsur insani. Ada manusia dengan segala kompleksitas kepribadiannya yang menjadi penyebab bagaimana kebohongan disebarkan dan dipercayai.

Dark triad personality

Dalam ilmu psikologi kepribadian, orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk menggunakan kebohongan untuk mencapai keinginannya, dapat dijelaskan dengan teori dark triad personality. Dalam teori ini, orang-orang tertentu dipercayai memiliki sisi gelap yang terdiri dari tiga kepribadian, yakni machiavellianisme, psikopati, dan narsistik. Memiliki tiga kepribadian gelap ini membuat seseorang dapat menjadi manipulator ulung. Tidak hanya di politik, tapi juga di bidang lain.

Dalam dark triad, elemen kepribadian pertama disebut machiavellianisme. Orang-orang machiavellian suka untuk memanipulasi sesuatu. Ia suka berbohong dalam berbagai kondisi. Ia berupaya untuk mendesain kebohongan dengan rapi untuk mendapatkan keuntungan. Ia berupaya membuat orang lain dapat memenuhi apa yang diinginkannya.

Dalam konteks politik, seorang politisi atau simpatisan yang memiliki level machiavellianisme tinggi akan membuat klaim-klaim yang belum jelas kebenarannya. Ia membela satu pihak jika menguntungkan, dan dapat dengan tiba-tiba menyerangnya jika merugikan. Machiavellianisme sendiri diambil dari nama Niccolo Machiavelli, seorang politikus Italia yang menulis buku The Prince yang berisi ide manipulasi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan.

Elemen kepribadian kedua yang dimiliki seorang pelaku politik kebohongan adalah psikopatik. Seorang yang psikopatik adalah lawan dari seorang yang empatik. Orang-orang yang psikopatik tidak memiliki empati terhadap orang lain. Ia cenderung egois. Ia biasanya memiliki hidup yang terfokus untuk dirinya sendiri. Seorang politisi atau simpatisan yang psikopatik akan menggunakan berita kebohongan untuk memenuhi kebutuhan diri dan kelompoknya sendiri. Ia tidak peduli meskipun fitnahan ini memiliki implikasi buruk pada lawan politiknya.

Elemen kepribadian terakhir adalah narsistik. Seorang yang narsistik memiliki ketertarikan terhadap dirinya sendiri secara eksesif. Dalam ilmu psikologi, seorang yang memiliki narsisme tinggi memiliki kepercayaan bahwa ia adalah seorang yang spesial, lebih penting daripada orang lain, memiliki kebutuhan untuk dipuja, dan bersikap arogan. Politisi dan simpatisan politik yang memiliki sikap narsistik cenderung memuja tokoh politik jagoannya secara berlebihan. Politisi ini mempercayai bahwa pilihannya adalah yang paling baik dan layak menduduki sebuah jabatan prestisius tertentu.

Setelah memahami bahwa kecenderungan untuk menyebarkan berita bohong merupakan sebuah isu psikologis, maka kita membutuhkan strategi berbasis ilmu perilaku pula untuk mengatasinya. Untuk memerangi politik kebencian di media sosial, setidaknya kita perlu mempertimbangkan dua hal. Pertama, kepribadian merupakan sebuah entitas yang cenderung menetap. Maka, kita tidak dapat begitu saja mengharapkan seseorang dengan kecenderungan berbohong untuk berubah seketika.

Maka, hal kedua yang perlu kita pertimbangkan setelah mempelajari elemen kepribadian penyebar hoaks adalah menegaskan batasan. Kita perlu skeptis terhadap apa yang kita baca, serta mengetahui kapan perlu mengonfrontasi (fight) atau menghindari (flight). Jika memutuskan untuk melakukan konfrontasi terhadap sebuah berita yang kontennya meragukan, kita perlu memiliki literasi yang baik tentang isu-isu politik. Kita dapat membaca kanal-kanal informasi terpercaya yang menyajikan fakta-fakta. Sehingga klaim-klaim yang tidak relevan dari seorang pengguna media sosial dapat kita konfirmasi dengan menyajikan fakta-fakta lainnya. Artinya, literasi dalam membedakan fakta dan opini adalah hal yang sangat perlu kita latih.

Jika kemudian kita memutuskan untuk menghindar (flight), maka kita dapat mengatur laman depan media sosial kita untuk hanya menyajikan akun yang konstruktif dan positif. Kita harus memiliki kontrol atas media sosial kita sendiri. Dengan memiliki kontrol tersebut, niscaya kita tidak akan terjebak dalam perdebatan politik yang tidak perlu. Mari kita doakan agar perhelatan politik akbar kita dapat berlangsung dengan damai.•

Jony Eko Yulianto
Dosen Psikologi Kepribadian Universitas Ciputra Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×