| Editor: Tri Adi
Pola belanja masyarakat Indonesia mulai berubah. Dari konvensional merambah kearah online (daring). Pesatnya penetrasi pengguna internet menjadi faktor pendorong meningkatnya transaski yang dilakukan secara elektronik (e-commerce). Buktinya, Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017 berbuah manis. Transaksi ajang terebut mencapai Rp 4 triliun. Salah satu penyedia jasa online ternama nilai transaksinya mencapai 10 kali lipat dibanding hari biasa.
Secara total, nilai transaksi online juga meningkat tajam setiap tahun. Dari catatan International Data Corporation (IDC), nilai perdagangan lewat internet di Indonesia tahun 2011 mencapai US$ 3,4 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Tahun 2015, menurut riset Brand&Marketing Institute (BMI), diperkirakan nilai transaksi e-commerce dapat mencapai Rp 50 triliun. Sedangkan, di Tahun 2016, angkanya naik hingga diperkirakan mencapai Rp 68 triliun.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pengenaan pajaknya? Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mayoritas transaksi e-commerce tidak membayar pajak meskipun nilai transaksinya rata-rata setahun mencapai Rp 100 triliun rupiah (Antara News.com, 12 April 2014). Tantangannya adalah bagaimana cara efektif untuk mengenakan pajak atas transaksi e-commerce ini? Potensi pajaknya sangat besar, namun seringkali luput karena sifat transaksinya yang unik.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 telah menyusun Peta Jalan (road map) Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (e-commerce). Dalam Perpres tersebut, diatur segala aspek untuk menunjang pengembangan dan percepatan e-commerce di Indonesia, termasuk perlakuan perpajakannya. Beleid ini juga mengamanatkan ke para menteri terkait agar menyusun aturan yang mendukung pengenaan pajak bagi pelaku e-commerce asing dan lokal sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Informasi awal dari Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menegakan pengenaan pajak transaksi e-commerce tidak akan jauh berbeda dengan bisnis yang dilakukan secara konvensional. Prinsipnya adalah keadilan (fairness).
Sementara itu, Ditjen Pajak dengan tegas telah menyatakan e-commerce sama dengan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa lainnya, tetapi hanya berbeda dalam hal cara atau alat yang digunakan saja. Sehingga, perlakukan pajak e-commerce akan sama dengan perlakuan pajak atas perdagangan lainnya, termasuk tidak akan ada aturan khusus perpajakan yang mengatur transaksi e-commerce ini.
Pajak e-commerce
Definisi perdagangan secara elektronik atau dikenal dengan electronic commerce secara umum adalah segala bentuk transaksi bisnis yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, seiring perkembangan waktu, definisi e-commerce menjadi meluas. Saat ini, e-commerce diartikan tidak hanya penjualan dan pembelian melalui internet semata tetapi juga mencakup pelayanan pelanggan online dan pertukaran dokumen bisnis.
Secara detail, Ditjen Pajak telah memetakan empat model transaksi e-commerce, yaitu online marketplace, classified ads, daily deals dan online retail. Online marketplace adalah menyediakan tempat kegiatan usaha berupa toko internet sebagai online marketplace merchant untuk menjual barang dan atau jasa. Dalam model transaksi ini, ada imbalan, dalam bentuk rent fee atau registration fee, atas jasa penyediaan tempat dan/atau waktu memajang iklan barang dan/atau jasa dan melakukan penjualan di toko internet melalui mal internet.
Selain itu, ada sejumlah uang yang dibayarkan online marketplace merchant ke penyelenggara online marketplace sebagai komisi atas jasa perantara pembayaran atas penjualan barang dan/atau jasa.
Model transaksi e-commerce classified ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang iklan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pengiklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified ads.
Kemudian pengiklan membayar sejumlah uang sebagai transaction fee kepada penyelenggara classified ads yang merupakan objek PPh dan PPN. Model ketiga yaitu daily deals mirip dengan online marketplace namun alat pembayaran yang digunakan berupa voucer. Model terakhir adalah online retail yang menjual barang dan/atau jasa yang dilakukan secara langsung oleh penyelenggara Online Retail kepada pembeli di situs online retail.
Dalam keempat model transaksi e-commerce ini, ada pembayaran imbalan atau penghasilan karena jual-beli barang atau jasa yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pajak menurut aturan perpajakan yang berlaku.
Namun, e-commerce seringkali tidak sederhana seperti pada model yang disebutkan tadi. Setidaknya, akan terjadi kondisi dimana e-commerce akan sulit dikenakan pajak. Kondisi pertama adalah e-commerce mampu menembus batas geografis antar negara (borderless).
Kedua, bentuk barang atau jasa yang diperjualbelikan dapat berformat digital seperti piranti lunak komputer, musik, majalah atau lainnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa transaksi fisik tidak diperlukan lagi dan digantikan dengan perpindahan bentuk digital saja.
Ketiga, e-commerce terjadi begitu cepat di seluruh dunia dalam waktu singkat (real time). Untuk itulah, tantangan sebenarnya dalam mengenakan pajak e-commerce adalah bagaimana membuat aturan yang mampu menangkap potensi pajak e-commerce dengan kondisi-kondisi tersebut.
Karena e-commerce tidak mengenal batas negara, kemungkinan tidak ada bentuk fisik yang dijual belikan dan tidak ada persyaratan khusus yang melekat, maka pengenaan pajak dalam e-commerce harus memperhatikan beberapa hal penting. Misalnya, bagaimana cara menentukan keberadaan perusahaan e-commerce tersebut, ketika tidak berlokasi di Indonesia.
Karena seringkali perusahaan tersebut secara fisik tidak nyata namun dapat menjalankan aktifitas di Indonesia. Amerika Serikat (AS) pernah menghapuskan pajak e-commerce ini karena kesulitan mendefinisikan keberadaan lokasi perusahaan e-commerce. Namun, karena transaksi online meningkat tajam hingga mencapai jutaan dollar AS, maka Pemerintah AS terpaksa mengenakan pajak e-commerce atau dikenal dengan streamlined sales tax project walaupun bertentangan dengan prinsip kehadiran fisik perusahaan.
Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah yang akan mengenakan bea masuk barang-barang tidak berwujud (intangible goods) tahun 2018 ini merupakan langkah cepat agar pengenaan pajak e-commerce tidak luput (lagi). Namun, pekerjaan rumah untuk mengenakan pajak e-commerce secara adil masih banyak. Yang pasti, jangan sampai mereka yang seharusnya membayar pajak, justru tidak terkena pajak. Ini terjadi karena lambatnya respon aturan atas perubahan pola belanja yang sangat cepat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News