Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Ramadan akan segera datang. Pintu rahmat, sebagaimana yang terdapat dalam sepuluh hari pertama, dibukakan. Jendela ampunan, seperti yang ada dalam sepuluh hari kedua, dibentangkan. Anugerah pembebasan dari siksa neraka, sebagaimana yang ada dalam sepuluh hari terakhir, dihamparkan. Manusia yang benar-benar beriman dan bertakwa tentu akan menyambut dengan suka cita bulan suci yang tiba setahun sekali tersebut. Inilah masa, untuk membersihkan pikiran dari nista. Inilah waktu, untuk menjernihkan hati dari bersitan dosa. Inilah saat, untuk mendisiplinkan perbuatan dari durhaka.
Sebelum Ramadan tiba, Rasulullah SAW senantiasa menyampaikan khotbahnya agar para sahabat benar-benar mempersiapkann diri menyambut datangnya bulan yang agung tersebut. Berbagai keutamaan Ramadan diuraikan oleh Nabi Muhammad agar tidak ada hari, jam, dan menit, atau detik terlewatkan begitu saja tanpa ibadah kepada Allah SWT, tanpa mengabdi kepada Yang Maha segala-galanya tersebut. Pada bulan tersebut, nafas-nafas menjadi tasbih, tidur menjadi ibadah, segala amal diterima, dan doa-doa kita dikabulkan. Jangan lupa, musuh-musuh yang nyata dibelenggu.
Apa khotbah yang disampaikan Nabi? Begini isinya: "Bermohonlah kalian kepada Allah, Tuhan kalian, dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbing kalian untuk melaksankan puasa (shaum) dan membaca kitabNya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah pada bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan haus kalian, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekalah kepada kaum fakir dan miskin. Muliahkanlah orang tua-orang tua kalian, sayangilah yang muda, sambunglah tali persaudaraan kalian, jagalah lidah kalian, tahanlah pandangan kalian dari apa yang tidak halal kalian pandang dan peliharalah pendengaran kalian dari apa yang tidak halal kalian dengarkan.
Ayat Al-Quran yang seringkali dikutip juru dakwah, yang saya yakin pembaca sudah hafal semua, terkait perintah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183. Bunyi terjemahannya demikian, Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Ramadan sendiri berasal dari kata ramidha, yarmadhu, Ramadan, yang artinya sangat panas. Sehingga jika ada kalimat, armada asy-syai, maknanya adalah membakar sesuatu. Dengan demikian, makna bulan Ramadan secara bahasa adalah bulan pembakaran. Pertanyaan kita adalah: apa yang dibakar? Jawabannya adalah nafsu manusia.
Lantas bagaimana cara membakar nafsu manusia itu? Caranya tentu saja tidak membakarnya secara langsung seperti kita membakar kayu atau kertas. Namun dengan cara berlapar dan dahaga. Jika manusia dalam keadaan lapar dan haus, dijamin nafsu manusia akan loyo, tidak punya tenaga. Kalau sudah tidak berkekuatan lagi, nafsu manusia akan mati dan tidak berkutik lagi. Nafsu manusia juga akan luluh seperti binatang buas yang sudah dijinakkan. Yang menjadi masalah adalah apakah nafsu manusia memang harus dimatikan?
Menahan diri
Kita sering salah memahami definisi dari nafsu itu sendiri. Kita biasanya mengidentikkan nafsu dengan keburukan, kebejatan, atau keserakahan. Padahal, nafsu secara bahasa adalah bermakna jiwa, atau ruh. Hal itu bisa kita lihat dari firman Allah SWT, "Dan jiwa (nafs) serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan (QS. Asy Syams: 7-8).
Jika kita memahami ayat tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa nafsu itu ternyata bersifat netral, tidak kiri tidak kanan alias berada di tengah-tengah. Dengan kata lain, nafsu itu tidak bersifat baik dan juga tidak bersifat buruk. Namun, dalam penciptaannya, Allah SWT hanya memberika ilham (potensi) terhadap nafsu tersebut, yaitu nafsu bisa dibawa ke arah kebaikan dan kejahatan.
Dalam ajaran Islam, agama ini tidak pernah mengajarkan untuk membunuh nafsu. Akan tetapi, Islam datang untuk mengendalikan nafsu manusia. Jika memang keberadaan nafsu itu tidak untuk dimatikan. Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana manusia dikatakan telah dapat mengendalikan atau memenuhi tuntutan nafsu dengan benar, padahal nafsu itu senantiasa menuntut untuk dipenuhi dan dipuaskan? Jawabannya adalah nafsu senantiasa harus didampingkan dengan ajaran-ajaran Islam. Manusia dikatakan mengikuti hawa nafsu ketika manusia tersebut tidak mengikuti ajaran Islam.
Misalnya saja, kita mempunyai nafsu lapar, tetapi kita memenuhi rasa lapar tersebut dengan memakan makanan yang haram atau mendapatkannya dengan cara mencuri. Kita mempunyai nafsu belanja, tetapi kita memenuhinya dengan barang haram atau membeli barang tersebut dari hasil korupsi. Kita mempunyai nafsu berkuasa, namun kita mendapatkan kekuasaan itu dengan melakukan politik uang atau bermain curang saat pemilihan umum. Dan masih banyak lagi contoh yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri atau orang lain yang mencerminkan pemenuhan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Contoh lainnya adalah, kita puasa berbicara. Artinya, kita menahan diri membicarakan sesuatu yang dapat merugikan orang lain. Dalam percaturan politik seperti sekarang ini, calon kepala daerah dan calon presiden tentu harus mendisiplinkan dirinya untuk tidak menjelek-jelekkan atau memfitnah lawan-lawan politiknya. Para pendukung masing-masing calon penguasa juga harus melakukan hal yang sama yaitu: berpuasa dari melakukan pembicaraan yang buruk.
Oleh karena itu, puasa Ramadan kali ini perlu dijadikan kesempatan emas untuk bisa mendidik nafsu kita dengan cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dilarang oleh ajaran Islam. Keinginan untuk makan, minum, berkarir, berkuasa, dan lain sebagainya harus bersandar pada semangat Islam.
Harapannya setelah Ramadan selesai, kita bisa menjadi manusia yang benar-benar suci, sungguh-sungguh kembali ke fitri. Jangan biarkan diri kita menderita kelaparan dan kehausan dengan tidak memperoleh apa-apa selain haus dan lapar itu sendiri hanya karena pesan moral ibadah puasa tersebut kita lupakan.
Melihat hal tersebut di atas, kita tidak cukup hanya mengendalikan nafsu makan, minum, atau seks sebagaimana biasanya dalam berpuasa. Kita juga harus bisa mengendalikan nafsu-nafsu kita yang lain yang jumlahnya banyak sekali.
Ahmad Ubaidillah
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News