kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Membangkitkan kejayaan tanaman karet


Jumat, 05 April 2019 / 14:28 WIB
 Membangkitkan kejayaan tanaman karet


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Baru-baru ini komoditas karet kembali menjadi perhatian pemerintah setelah pada pertengahan Maret ini Presiden Joko Widodo bertemu Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai di Istana Merdeka untuk membahas penguatan harga karet. Termasuk juga soal instruksi Presiden Joko Widodo ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk memakai aspal campuran karet pada proyek pembangunan di Sumatera Selatan, Riau dan Jambi.

Ini tidak terlepas dari potensi komoditas karet lokal. Data FAO tahun 2017, Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar kedua dunia setelah Thailand. Sayangnya komoditas karet lokal punya beberapa masalah. Pertama, soal produktivitas. Pada 2017, Thailand sebagai penghasil karet terbesar dunia memiliki produksi karet 4,6 juta ton. Indonesia di peringkat kedua dengan produksi 3,63 juta ton dan Vietnam peringkat ketiga sebanyak 1,1 juta ton.

Ditinjau dari luas lahan pada 2017, Indonesia di peringkat pertama dengan luas area 3,66 juta hektare. Thailand kedua dengan luas 3,14 juta hektare dan Malaysia di posisi ketiga dengan cakupan 1.081.889 ha. Vietnam berada di peringkat 7 dunia dengan luas lahan 653.213 ha.

Menurut Global Business Guide Indonesia, salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet adalah umur pohon karet yang sudah tua, lebih dari 10 tahun dan tidak produktif. Pusat Penelitian Karet menyatakan tanaman karet lokal memang butuh peremajaan dan perlu ditanam klon unggul, yaitu pembuatan bibit tanaman unggul sesuai sifat unggul indukan. Dari total keseluruhan luas lahan karet, baru 60% yang baru menggunakan tanaman klon unggul. Sementara di Thailand sudah merealisasikannya hingga 100%.

Harga karet dunia yang turun juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas tanaman karet. Yang berdampak pada harga jual karet. Ini membuat petani karet sulit untuk membeli pupuk atau pestisida untuk mendongkrak produktivitas tanaman karet. Apalagi untuk meremajakan pohon karet. Sebab proses peremajaan pohon karet butuh waktu lima tahun untuk bisa disadap kembali.

Menurut Pusat Penelitian Karet Indonesia, harga karet pernah masuk masa emas di 2011 saat mencapai US$ 4 per kilogram. Kini, cuma US$ 1,4 per kilogram. Penuturan Pusat Penelitan Karet Indonesia sejalan dengan harga karet mentah dunia pada Singapore Commodity Exchange (SICOM) pada Februari 2019 yang hanya mencapai US$ 1,65 per kg.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, sejak 2010 sampai 2016, sekitar 81%-86% dari total produksi karet Indonesia untuk ekspor. Ini membuat harga karet tergantung harga internasional.

Untuk mengatasi permasalahan diatas pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution membuat tiga kebijakan terkait komoditas karet, yaitu pengaturan ekspor, peningkatan penggunaan karet dalam negeri dan dan program peremajaan karet rakyat.

Pengaturan ekspor dilakukan untuk memperkuat harga karet di tingkat dunia. Selain dibahas Presiden Joko Widodo, implementasi pengaturan ekspor ini dilakukan melalui Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). Tiga negara produsen karet utama dunia, yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mengurangi ekspor karet alam sebesar 240.000 ton yang akan mulai direalisasikan pada 1 April 2019. Dari total 240.000 ton tersebut. Thailand mengurangi ekspor sebesar 120.000 ton, Indonesia hampir 100.000 ton dan sisanya Malaysia. Harapannya, harga karet bisa terangkat.

Kesepakatan antara Thailand, Indonesia dan Malaysia adalah awal langkah yang baik. Dari data FAO tahun 2017, ketiga negara ini menghasilkan 60% dari produksi karet dunia, dengan Thailand memproduksi 31%, disusul Indonesia 24% dan Malaysia 5%. Diharapkan kesepakatan lain yang menguntungkan negara tersebut bisa terjadi kembali.

Lantas peningkatan penggunaan karet dalam negeri dilakukan untuk tidak tergantung harga dunia. Untuk itu, pemerintah saat ini memulai menggunakan karet sebagai bahan campuran aspal melalui Kementerian PUPR. Aspal campuran karet ini digunakan untuk pembangunan yang sedang berjalan di Sumatera Selatan, Riau dan Jambi.

BPDP tanaman karet

Kementerian PUPR mengklaim setidaknya sudah ada 3.000 ton karet yang dibeli dari petani oleh instansi itu dengan harga Rp 2,6 miliar. Pengunaan karet sebagai salah satu bahan campuran aspal memang akan membuat biaya produksi aspal lebih tinggi 10%. Tapi aspal ini disebut memiliki daya tahan lebih lama. Aspal campuran karet ini juga dikonfirmasi oleh Pusat Penelitan Karet Indonesia sebagai aspal dengan kualitas lebih baik sehingga dapat membuat aspal lebih tahan lama.

Untuk peremajaan karet, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution akan menaikkan target peremajaan karet meningkat sampai 50.000 ha per tahun di tahun ini dari sebelumnya hanya 5.000 ha per tahun. Program ini sangat bagus namun membutuhkan biaya besar. Pemerintah juga perlu melibatkan korporasi besar dalam kegiatan peremajaan ini. Karena mereka bertindak sebagai mitra petani karet yang juga harus mendapat keuntungan.

Untuk mengatasinya, sebetulnya bisa melihat dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang baru ada di tanaman kelapa sawit lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ini adalah unit organisasi non-eselon di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertugas melaksanakan pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang berfungsi untuk peremajaan, pengembangan sumber daya manusia sampai dengan pengelolaan riset tanaman sawit. BPDP berhak menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Usulan mengenai BPDP pada tanaman karet ini sebenarnya sudah ada semenjak 2018, tapi pelaksanaannya belum terlihat.

Padahal keberadaan BPDP tanaman karet bisa memiliki sumber penghimpunan dana dari para pemain di industri karet yang dapat digunakan untuk keperluan bersama. Menurut Pusat Penelitian Karet, Thailand juga memberlakukan sistem yang sama dengan BPDP, yaitu menarik dana dari para pemain industri untuk dapat dikembalikan ke perkebunan rakyat.

BPDP untuk karet seperti halnya pada BPDP kelapa sawit dapat berfungsi sebagai pengelola dana pungutan ekspor untuk dapat memberikan intensif kepada perkembangan industri karet. BPDP Karet juga dapat menjadi sumber pendanaan untuk pengembangan riset, pengembangan sumberdaya alam ataupun pengembangan industri karet dalam negeri.

Fungsi lain yang tidak kalah penting adalah dapat menjadi sumber pendanaan untuk replanting program sehingga himpunan dana dari BPDP ini dapat kembali ke perkebunan rakyat dalam bentuk peremajaan tanaman atau hal lainnya. BPDP tanaman karet ini diharapkan dapat mengatasi masalah pada tanaman karet khususnya pada masalah peremajaan tanaman karet.♦

Arief Nugraha
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×