kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Membedah obligasi daerah


Rabu, 18 September 2019 / 11:35 WIB
Membedah obligasi daerah


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Penerbitan obligasi daerah menjadi diskursus publik dalam dua tahun terakhir. Di satu sisi, banyak pihak berpendapat obligasi daerah belum saatnya diterapkan di Indonesia. Selain belum memiliki pengalaman, penerbitan obligasi daerah akan memberikan implikasi pada keuangan pemerintah daerah (pemda) di masa mendatang.

Di sisi lain, penerbitan obligasi daerah sudah merupakan tuntutan dalam pembiayaan proyek pemda. Faktanya, pendapatan asli daerah (PAD) tidak cukup untuk mendanai belanja pemda. Sementara, dana transfer daerah dari pemerintah pusat sebagian besar tersalur pada belanja pegawai yang tidak produktif.

Inefisiensi alokasi dana transfer daerah dari pemerintah pusat yang disertai dengan stagnasi PAD tampaknya harus dibayar mahal. Pemda mengalami ketergantungan fiskal yang tinggi kepada pemerintah pusat. Lebih ironis lagi, dana transfer daerah yang senantiasa naik setiap tahunnya belum mampu menciptakan efek pengganda bagi akselerasi perekonomian daerah.

Dengan berbagai kendala di atas, beberapa pemda provinsi sudah mulai menjajaki penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif pendanaan. Secara yuridis, peluang untuk itu dimungkinkan. Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) sudah rinci mengatur tentang obligasi daerah.

Berdasarkan definisi, obligasi daerah adalah salah satu sumber pinjaman daerah jangka menengah dan/atau jangka panjang yang bersumber dari masyarakat. Penerbitannya hanya untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan pemda.

Penerbitan obligasi daerah hanya dapat dilakukan dalam rupiah di pasar modal domestik. Oleh karenanya, jika obligasi daerah nantinya bisa dirilis, niscaya akan menjadi alternatif aset finansial bagi portofolio pemodal domestik di luar yang sudah konvensional, seperti tabungan, deposito, emas, valuta asing, dan saham.

Konvensionalitas aset finansial inilah yang membuat pasar keuangan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain. Peminat obligasi di Indonesia sejatinya masih tinggi. Di tengah tren penurunan imbal hasil, harga obligasi akan melejit lantaran pasokannya yang masih terbatas.

Diversifikasi aset finansial akan mendorong stabilitas pasar keuangan domestik. Kepemilikan aset portofolio dalam negeri akan sangat membantu sebagai menjadi katalisator obligasi negara yang 40% diantaranya telah dikuasai investor asing. Alhasil, pendalaman pasar keuangan (financial deepening) adalah sasaran lain yang bisa diraih.

Dengan pemunculan obligasi daerah, masyarakat memiliki kesempatan berpartisipasi membiayai pembangunan daerah. Transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society akan memperkuat pasar modal. Oleh karenanya, obligasi daerah menjadi instrumen strategis menuju inklusi keuangan masa mendatang.

Risiko gagal bayar

Sayangnya, sejak diterbitkannya sejumlah aturan di atas belum ada satupun pemda yang berhasil menerbitkan obligasi daerah. Salah satu poin yang diklaim menjadi batu sandungan adalah keharusan untuk mencantumkan perkiraan kapasitas dan pendapatan yang bisa diraih dari kegiatan yang dibiayai oleh obligasi daerah tersebut.

Prasyarat tersebut sulit dipenuhi oleh pemda terkait lantaran proyek yang dibangun tidak seluruhnya mengalirkan pendapatan. Artinya, proyek yang ditawarkan sebagai aset dasar (underlying) ada, tetapi tidak ada jaminan arus pendapatan (revenue stream). Pemilik modal tentunya enggan membeli obligasi dengan karakteristik semacam ini.

Pemda sebagai penerbit obligasi daerah bisa saja memberikan jaminan pembayaran bunga kupon dan pokok obligasi yang diterbitkan ini hingga jatuh tempo. Namun demikian, calon investor pasti akan mengamati pula laporan keuangan pemda, yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Persoalannya kembali lagi pada potensi PAD dan transfer dari pusat.

Solusi pemeringkatan obligasi daerah yang akan diberikan oleh lembaga pemeringkat independen belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Analogi obligasi daerah dengan obligasi korporasi sepertinya tidak bisa utuh dipakai. Pasalnya, tinggi atau rendahnya peringkat obligasi daerah lebih ditentukan oleh jaminan pemda sebagai penerbit obligasi, alih-alih prospek finansialnya.

Persoalan yang lebih mendasar lagi adalah kriteria penentuan proyek yang akan dibiayai dengan obligasi daerah. Obligasi daerah mensyaratkan penerimaan sehingga output yang dihasilkan adalah barang atau jasa semi publik. Jika demikian, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) semestinya bisa mengerjakan proyek tersebut sehingga lebih leluasa menerbitkan obligasi seperti yang dilakukan korporasi selama ini.

Permasalahan obligasi daerah tidak berhenti sampai di sini saja, persoalan lain yang perlu dipikirkan solusinya adalah apakah ada pasar sekunder yang bisa memfasilitasi perdagangan obligasi daerah. Ketiadaan pasar yang likuid semakin membuat investor tidak tertarik menanamkan modalnya pada surat utang yang diterbitkan pemda ini.

Rilis obligasi daerah juga membuka peluang terjadi moral hazard. Beberapa proyek yang sejatinya sudah dibiayai dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), APBD, atau sumber-sumber lainnya akan dilakukan sebagai aset dasar obligasi daerah. Artinya, realisasi obligasi daerah seolah hanya menjadi tuntutan tren demi gengsi kedaerahan semata.

Apapun modusnya, obligasi daerah tetap saja memiliki risiko gagal bayar. Obligasi daerah tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Konsekuensinya, tidak ada lagi istilah too big to fail. Pemda adalah penanggung jawab penuh dan final atas obligasi daerah ini. Krisis obligasi daerah (municipal bond) di Puerto Rico pada tahun 2006 memberi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang kegagalan sebuah obligasi daerah.

Dengan risiko gagal bayar yang tinggi, anehnya pemda-pemda yang disebut serius menerbitkan obligasi daerah belum memiliki Debt Management Office (DMO) yang andal seperti pada obligasi negara. Oleh sebab itu, pemda perlu menyiapkan terlebih dahulu DMO dengan segala infrastruktur yang menyertainya sebelum obligasi daerah resmi dijual kepada publik.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, eksistensi obligasi daerah terpulang pada kesepakatan politik antara pemda dengan anggota parlemennya (DPRD). Sejauh ini kegagalan emisi obligasi daerah bukan karena pemda belum mendapatkan persetujuan dari DPRD, namun, ketika DPRD baru dilantik, eksekusi penerbitan obligasi daerah bisa jadi mulai dari nol lagi dan membuat ketidakpastian terjadi. Jika kondisinya demikian, pertanyaan berikutnya adalah kapan dan di manakah bom waktu bernama obligasi daerah akan ditaruh?♦

Haryo Kuncoro
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×