Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Sampai saat ini, pelemahan dan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih saja terus berlanjut. Kondisi ini pun memicu berbagai reaksi sejumlah kalangan, termasuk juga di antaranya adalah kalangan elite politik. Bahkan, beberapa hari yang lalu, salah satu stasiun televisi berita nasional langsung mengangkat topik perbincangan dengan tema "Rupiah Dipolitisasi".
Dalam perbincangan itu, salah satu narasumber yang kebetulan berasal dari partai oposisi menyatakan langkah calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Salahuddin Uno yang menukarkan sejumlah uang dollar Amerika Serikat telah turut menguatkan rupiah. Pada 5 September 2018 sempat menyentuh level Rp 15.000 per dollar.
Ini pernyataan cukup menggelikan dan bermuatan politis. Pergerakan nilai tukar tidak dipengaruhi satu variabel saja.
Lalu, sebagian masyarakat mengkhawatirkan, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini bisa memicu terjadinya krisis ekonomi yang memporak-porandakan ekonomi Indonesia seperti tahun 1998. Padahal, kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih sehat dan baik dibandingkan era tahun 1998. Hasil riset Nomura Holding, Inc menyebutkan, Indonesia jadi salah satu negara dengan risiko terkecil di kawasan emerging yang bisa mengalami krisis nilai tukar (Harian KONTAN, 12 September 2018).
Yang juga perlu dicatat, pelemahan rupiah saat ini sekitar 9% masih jauh lebih baik dibandingkan pelemahan rupiah pada tahun 2013 dan tahun 2015 yang masing-masing mencapai 27% dan 10,7%. Meski begitu, gejolak itu tidak membuat ekonomi Indonesia langsung kolaps. Malah masih mampu tumbuh baik sampai saat ini.
Namun, terlepas dari semua reaksi tersebut, gejolak dan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari membaiknya kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS). Salah satu indikatornya ialah meningkatnya laju inflasi. Sampai dengan Juli 2018, inflasi inti (core inflation) AS telah berada di level 2,4% (yoy).
Inflasi inilah yang menjadi dasar bagi Bank Sentral AS (The Fed) menjalankan kebijakan moneter ketat melalui kenaikan suku bunga dan penarikan likuiditas (quantitative tightening atau QT). Saat ini, posisi federal fund rate di level 1,75%–2,0%. Posisi federal fund rate ini akan terus bergerak naik dan diperkirakan berada di level 3%–3,25% pada tahun 2019. Dengan membaiknya prospek ekonomi AS dan meningkatnya tingkat suku bunga, menyebabkan gairah investor global berinvestasi di AS semakin tinggi.
Aliran modal masuk cenderung menuju AS. Hal ini ditandai dengan menguatnya tren indeks dollar AS. Sementara, aliran dana keluar dari negara-negara di kawasan emerging terus berlangsung, termasuk Indonesia.
Kondisi inilah yang membuat tekanan nilai tukar tidak dapat dihindarkan. Tekanan akan lebih serius dialami oleh negara-negara yang tidak disiplin dari sisi kebijakan fiskal dan moneter.
Bahkan, ke depan, tekanan nilai tukar di negara-negara emerging ini masih berpeluang berlanjut. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan bank sentral Eropa (ECB) yang pada tahun 2019 akan mengakhiri kebijakan quantitative easing (QE) dan diikuti dengan kenaikan suku bunga. Bahkan, baru-baru ini, Bank Sentral Inggris (BOE) telah menaikkan suku bunga.
Kebijakan pengetatan moneter di negara-negara maju ini akan membuat likuiditas global kian serat. Sehingga, pelemahan dan gejolak nilai tukar akan menjadi sebuah keniscayaan di negara-negara emerging.
Membenahi titik Lemah
Meski faktor global ini turut berkontribusi terhadap gejolak dan pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi berbagai titik lemah juga masih ditemukan yang membutuhkan pembenahan secara serius, konsisten, dan berkelanjutan. Salah satu titik lemah itu adalah defisit transaksi berjalan.
Negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, biasanya nilai tukarnya akan cenderung melemah. Argentina dan Turki menjadi contoh nyata. Dua negara ini memiliki defisit transaksi berjalan sangat besar dan persisten.
Sejak tahun 2015, tren perbaikan defisit transaksi di Indonesia telah terjadi. Namun, memasuki tahun 2018, kondisinya berbalik. Bahkan, pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan kembali memburuk menjadi 3% dari produk domestik bruto (PDB). Memburuknya defisit transaksi berjalan ini imbas dari tingginya pertumbuhan impor yang tidak dapat dikompensasi oleh pertumbuhan ekspor.
Dari wajah defisit transaksi belanja ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa belum banyak perubahan yang terjadi dalam pengelolaan industri dan ekspor. Ketergantungan terhadap komoditas, khususnya crude palm oil (CPO) dan batubara sebagai produk ekspor masih sangat tinggi. Padahal, daya saing komoditas mentah relatif rendah dari bahan yang mengalami proses industri.
Selain itu, masih tingginya ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) juga turut memperburuk defisit transaksi berjalan. Itulah sebabnya, kebijakan mandatori B-20 jadi momentum untuk mempercepat bauran energi dari fosil ke non fosil.
Selanjutnya, pemerintah juga diharapkan untuk terus mendorong pembiayaan dari pasar keuangan domestik, khususnya melalui pasar modal. Investor domestik, khususnya generasi milenial harus didorong. Apalagi, generasi inilah yang akan menjadi tumpuan penggerak ekonomi Indonesia ke depan.
Generasi milenial ini harus didorong untuk berinvestasi, khususnya di instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Penerbitan SBR-004 yang animo permintaan sangat besar harus menjadi momentum untuk mendorong makin berkembangnya investor ritel dari generasi milenial.
Bagaimana pun dengan berkembangnya investor ritel ini, selain akan turut berkontribusi terhadap pembiayaan pembangunan dan mendorong pendalaman pasar keuangan domestik. Juga sekaligus akan mengurangi kerentanan di pasar SBN.
Harus diakui tingginya kepemilikan investor asing di SBN membuat SBN menjadi rentan tertekan, ketika tekanan eksternal meningkat. Imbasnya, pemerintah pun harus mengeluarkan ongkos yang besar dalam menerbitkan SBN.•
Desmon Silitonga
Analis Riset PT Capital Asset Management dan Alumnus Pascasarjana FEUI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News