kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Membongkar narasi direct call


Sabtu, 11 Mei 2019 / 10:30 WIB
Membongkar narasi direct call


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pelayaran langsung atau biasa disebut direct call belakangan ini sering terdengar dan diucapkan oleh pelaku usaha pelabuhan maupun pelayaran nasional. Para pimpinan puncak perusahaan kedua bidang usaha tersebut acap berkata, "Kami akan membuka layanan direct call. Ini akan menghemat, bla, bla, bla," kata eksekutif perusahaan pelabuhan. Sementara, eksekutif operator pelayaran merespon dengan pernyataan, "Kami mendukung direct call yang ada, bla, bla, bla.

Singkat cerita, direct call adalah sebuah prestasi yang layak dibanggakan dan pencapaiannya merupakan salah satu indikator kinerja kunci (key performance index) bisnis kemaritiman nasional, khususnya sektor pelabuhan. Sampai di sini tidak ada yang bisa mendebat narasi tersebut.

Sayangnya, dari sekian banyak layanan pelayaran langsung yang ada di empat pelabuhan utama di Indonesia, yakni Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar, perkembangannya biasa-biasa saja sejak diluncurkan.

Artinya, keberadaan layanan direct call yang secara teoritis seharusnya mampu mendongkrak perekonomian port of origin, yang dibuktikan dengan tingkat keterisian kargo atau load factor yang terus tumbuh. Ternyata pada pelaksanaannya tidak seimbang. Kapasitas terpasang kapal, misalnya, 4.000 twenty foot equivalent unit (TEU) namun pada saat sandar di salah satu pelabuhan nasional yang membuka layanan pelayaran langsung menggunakan pelayaran yang bersangkutan, hanya terisi 1.000 TEU atau bahkan kurang dari jumlah itu.

Kehadiran direct call dan narasi yang menyertainya rupanya tidak seindah yang dipikirkan sebelumnya. Masih terdapat loophole dalam narasi tersebut. Pertanyaannya, bagaimana layanan direct call harus dimaknai? Apa saja kelemahannya?

Direct call atau pelayaran langsung adalah istilah yang lazim dipakai dalam bisnis pelayaran peti kemas. Bidang usaha yang satu ini dicirikan oleh karakteristik utamanya, yaitu: keteraturan (regularity). Diwujudkan dalam keteraturan jadwal pelayaran, pelabuhan tujuan, hingga biaya pengapalan alias freight.

Dari keteraturan ini lalu muncullah istilah liner, yakni kapal berjadwal tetap sebagai antonim dari tramper atau kapal tidak berjadwal tetap. Tapi, perlu digarisbawahi bahwa liner tidak hanya dikhususkan untuk bisnis kontainer saja. Pelayaran lain, seperti kapal pesiar juga menyematkan kata liner (De Kerchove, 1961).

Pengoperasian kapal dari dan ke pelabuhan tertentu secara teratur tadi memunculkan satu istilah lain yang dikenal dengan nama pendulum service. Ibarat bandul jam, kapal-kapal peti kemas yang dioperasikan menurut model ini bergerak dari ujung satu ke ujung lainnya dan mereka akan bersandar (call) pada setiap pelabuhan yang terdapat dalam rentang ayunan pendulum/bandul. Biasanya, ada tiga hingga lima pelabuhan.

Ada anggapan bahwa muatan yang berasal dari pelabuhan-pelabuhan nasional yang dikapalkan dengan skema direct call berarti kapal akan berlayar langsung (direct) dari, katakanlah, Tanjung Priok di Jakarta, menuju Ningbao di China, tanpa perlu singgah atau transit terlebih dahulu di pelabuhan lain. Jika ini yang terjadi, sebut saja model ini dengan istilah point-to-point, biayanya akan sangat mahal bagi pemilik kapal di Tanah Air.

Bila kapal yang dioperasikan oleh operator pelayaran peti kemas memiliki kapasitas angkut 8.000 TEU, sementara jumlah peti kemas yang bisa dikumpulkan di pelabuhan nasional hanya 2.000 TEU atau bahkan kurang dari angka tersebut tiap kali bersandar, maka operator bisa melakukan dua hal.

Pertama, menaikkan freight rate (tetapi ini jarang dilakukan karena rate ditetapkan untuk satu periode waktu tertentu dan berlaku tetap). Sebagai gantinya, dikenakanlah berbagai surcharge untuk menutupi ketidakseimbangan antara peti kemas yang diangkut dan kapasitas muat. Biaya surcharge ini yang harus ditanggung pemilik kapal lokal.

Kedua, bisa juga, kapal akan mengunjungi pelabuhan lain untuk memenuhi kekosongan ruang muat, kendati kapal melayani direct call dari pelabuhan di Indonesia. Inilah yang terjadi pada layanan direct call yang dilakukan oleh pelayaran CMA CGM dari Tanjung Priok. Dinamai Java South East Asia Express Service dan memulai pelayaran perdananya dari Tanjung Priok pada April 2017 menggunakan MV Titus, layanan ini merupakan direct call dari Jakarta menuju Los Angeles.

Namun, kapal pada praktiknya tetap singgah di pelabuhan Laem Chabang, Thailand, sebelum berlayar ke destinasi akhir. Kapal lain yang dioperasikan dalam rute yang sama oleh pelayaran asal Prancis itu juga transit di negeri Gajah Putih, sebelum mengarungi samudra menuju Negeri Paman Sam.

Tidak ada layanan direct call yang betul-betul langsung dalam pelayaran peti kemas. Kapal yang dioperasikan untuk melayani pelayaran langsung dipastikan akan singgah di pelabuhan lain sebelum menuju destinasi akhir dan ini bisa dua atau tiga pelabuhan.

Praktik singgah di beberapa pelabuhan ini mempengaruhi waktu singgah (transit time) kargo. Komponen inilah yang salah satunya dihitung oleh operator jasa pelayaran sebelum mengirimkan kargo tersebut. Secara umum transit time adalah total waktu yang diperlukan oleh kargo mulai dari pelabuhan muat hingga pelabuhan akhir.

Waktu singgah ini tidak dengan sendirinya menentukan freight rate. Harga ini ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan yang lazim berlaku dalam aktivitas perekonomian.

Dikaitkan dengan layanan direct call, ini berarti layanan tersebut belum tentu lebih murah dibandingkan dengan layanan tidak langsung atau transshipment. Ketika layanan direct call ini frekuensinya terbatas sementara layanan transshipment bejibun, tentu pemilik kapal memilih yang terakhir, karena pastinya lebih murah daripada yang pertama.

Layanan direct call bukanlah segalanya. Atau, agar tidak menafikan kerja besar yang sudah dilakukan oleh pihak pengelola pelabuhan utama di dalam negeri, ia tidak berdiri sendiri. Ada hal lain yang secara bersamaan harus juga dikerjakan. Yakni, menentukan pusat (hub) aktivitas direct call di Indonesia. Dengan masing-masing pelabuhan utama di Tanah Air berlomba-lomba membuka layanan direct call, jelas ini tidak sehat. Jika dibiarkan berlarut-larut, bisa saja berdampak pada pendapatan perusahaan pelayaran.

Sudah menjadi pengetahuan publik kemaritiman nasional, terminal peti kemas di setiap pelabuhan utama merupakan kontributor terbesar bagi pendapatan perusahaan. Salah satunya karena sebagian besar pembayaran jasa yang diberikan kepada kapal-kapal kontainer dibayar dalam mata uang dollar Amerika Serikat.

Penetapan hub untuk direct call mendesak dilakukan karena jumlah peti kemas nasional tidak terlalu besar, walaupun sulit menentukan angka absolutnya. Rasanya tidak elok, jumlah yang sedikit ini dipecah-pecah dalam proses pengapalannya.

Kapan Indonesia bisa menjadi pusat transshipment baru di kawasan Asia Tenggara jika hal ini justru dilakukan tersebar-sebar? Entahlah.♦

Siswanto Rusdi
Direktur National Maritime Institute (Namarin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×