kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Membuat konsumen asuransi terlindungi


Selasa, 30 Oktober 2018 / 14:08 WIB
Membuat konsumen asuransi terlindungi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Penundaan pembayaran polis jatuh tempo oleh Asuransi Jiwasraya sempat heboh. Sebagian informasi yang beredar, BUMN asuransi tersebut dianggap gagal bayar. Padahal, sejatinya adalah menunda pembayaran.

Dari sisi konsumen, info kegagalan lembaga jasa keuangan dalam memenuhi kewajibannya memang menjadi momok. Rentan memicu ketidakpercayaan. Untuk itu, konsumen pun perlu informasi yang valid.

Maklum, perlindungan konsumen tetap menjadi isu di industri jasa keuangan (IJK). Beberapa kasus konsumen yang merasa tertipu mencuat. Misalnya dalam kasus investasi bodong.

Perlindungan konsumen di industri perasuransian sendiri memiliki tiga lini pertahanan. Pertahanan pertamaBada di konsumen itu sendiri. Konsumen diharapkan mampu melindungi dirinya sendiri. Konsumen dituntut memahami produk dan jasa yang dibelinya. Tahan terhadap godaan iming-iming yang tidak rasional.

Lini pertahanan kedua adalah dari perusahaan asuransi yang bersangkutan. Kok bisa? Iya, perusahaan asuransi berperan dalam perlindungan konsumen. Di dalam asuransi, ada prinsiputmost good faith. Prinsip ini menyatakan tertanggung (konsumen) dan perusahaan asuransi harus punya itikad baik dalam membuat kontrak asuransi. Juga, secara inheren, ketika layanan dan kinerja perusahaan asuransi bagus, otomatis turut melindungi konsumen.

Di dalam Undang Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan kewajiban pelaku usaha untuk melindungi konsumen. Contoh, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Selain memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan dari produk dan jasa yang bersangkutan.

Lini pertahanan ketiga adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011, OJK memiliki kewenangan dalam perlindungan konsumen. Yang dilakukan berupa upaya preventif melalui edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya. OJK juga mewajibkan industri jasa keuangan melakukan edukasi dan membuat konsumen tidak dirugikan karena asimetri informasi yang dimilikinya.

Fungsi pengaduan konsumen OJK dilakukan untuk membantu konsumen. Industri jasa keuangan dan konsumennya memiliki kontrak atau perjanjian. Dan ada, kemungkinan muncul dispute di antara kedua pihak.

Sejatinya, fasilitasi yang dilakukan OJK atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS) selama ini telah memberi arti bagi konsumen. Jadi konsumen tidak lagi sendiri saat bersengketa dengan industri jasa keuangan. Ada lembaga lain sebagai penengah yang adil.

Data Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia menunjukkan realisasi hasil mediasi dan ajudikasi yang dilakukan selama tahun 2015–2017 sebanyak 145 kasus. Lembaga yang berdiri sejak tahun 2006 ini telah membantu baik konsumen maupun perusahaan asuransi dalam menyelesaikan sengketa.

OJK pun mendorong penyelesaian sengketa dilakukan melalui LAPS. Selain melalui LAPS, penyelesaian pengaduan konsumen ke OJK juga berjalan baik. Sejak tahun 2013, tercatat ada 1.023 pengaduan asuransi yang diselesaikan OJK.

Hasil survei persepsi kinerja OJK 2017, mengonfirmasi manfaat yang dirasakan oleh konsumen atas peran OJK. Tahun lalu, kinerja bidang edukasi dan perlindungan konsumen mendapatkan indeks persepsi 4,81 (dari skala 6).

Peran seimbang

Sesungguhnya peran yang dilakukan OJK tidak sekedar melindungi konsumen. OJK juga ikut berperan dalam mereduksi fraud ataupun kecurangan pada perusahaan asuransi.

Kasus fraud bisa dilakukan siapa saja. Bisa oleh tertanggung dan bisa oleh perusahaan asuransi. OJK sendiri sudah merilis Surat Edaran Nomor 46 /SEOJK.05/2017 yang mengatur pengendalian fraud dan penerapan strategi anti fraud pada perusahaan asuransi.

Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sangat menarik. Survei yang dilakukan di internal anggotanya, sebanyak 88% menyatakan dirugikan karena terdapat indikasi fraud klaim asuransi kesehatan. Memang tidak mudah untuk membuktikan fraud, sehingga klaim tetap dibayarkan.

Untuk itu, perusahaan asuransi didorong untuk lebih prudent dalam seleksi risikonya. Upaya reduksi fraud dapat dilakukan dengan berbagai cara. AAJI sendiri mengusulkan adanya data mengenai penolakan klaim serta terminasi manfaat pertanggungan. Belasan tahun lalu, di industri asuransi umum juga pernah diusulkan adanya daftar hitam di produk suretyship.

Data ini memuat orang-orang atau perusahaan yang pernah atau diduga kuat melakukan fraud. Di tengah perkembangan teknologi informasi saat ini, ide ini seharusnya lebih mudah terealisasi. OJK dapat mewujudkan dalam bentuk peraturan atau asosiasi industri dapat menginisiasinya.

Melihat hal tersebut, setidaknya ada tiga tantangan perlindungan konsumen asuransi. Pertama, adanya kesenjangan inklusi dan literasi keuangan. Tahun 2016, indeks inklusi keuangan Indonesia sebesar 67,82%. Sedangkan indeks literasi keuangan hanya 29,66%.

Prosentase orang yang menggunakan jasa keuangan lebih banyak daripada persentase mereka yang paham keuangan. Konsumen pun dituntut untuk lebih paham dan kritis. Ini dapat diwujudkan melalui literasi yang memadai. Pemahaman produk dan perusahaan, secara sendirinya akan dapat melindungi konsumen.

Kedua, konsumen asuransi belum mendapat perlakuan seperti konsumen perbankan. Di perbankan, ada penjaminan simpanan. Sementara itu, di industri perasuransian, lembaga penjamin polis belum tuntas.

UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian mengamanatkan UU program penjaminan polis dibentuk paling lama tiga tahun (paling lambat 17 Oktober 2017). Pemerintah dan DPR perlu terus didorong untuk segera membuat UU tersebut. Seiring dengan proses program penjaminan polis, industri perasuransian juga harus lebih serius berbenah. Ada potensi moral hazard pelaku industri yang harus diantisipasi.

Ketiga, terkait dengan kualitas informasi untuk konsumen. Derasnya informasi di media massa dan media sosial, perlindungan konsumen memasuki era berbeda. Informasi yang tak lengkap atau hoaks, berpotensi memengaruhi persepsi dan keputusan konsumen. Konsumen pun jadi perlu mendapatkan informasi yang lengkap dan benar.•

Munawar Kasan
Analis Senior Otoritas Jasa Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×