Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor jagung sebesar 440.000 ton. Jagung impor ini khusus dialokasikan untuk kebutuhan industri.
Sebanyak enam perusahaan telah mendapatkan alokasi jagung impor pada semester pertama 2019. Sebelumnya, pemerintah juga telah memberikan izin impor jagung kepada Perum Bulog sebesar 130.000 ton untuk memenuhi kebutuhan pakan pada industri kecil. Impor tersebut dilakukan dalam dua tahap, yaitu 100.000 ton pada akhir tahun 2018 dan 30.000 ton pada awal 2019.
Seperti biasa kebijakan impor jagung ini menuai pro dan kontra. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memberikan pembelaan yang bertolak belakang dangan klaim Kementerin Pertanian yang menyatakan bahwa produksi jagung nasional lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Darmin, panen jagung yang terjadi sampai April 2019 mendatang belum tentu bisa menutupi kebutuhan nasional. Sehingga impor menjadi satu-satunya cara bagi pemerintah untuk menekan lonjakan harga jagung.
Masalahnya, tingginya harga jagung akan berimbas pada kenaikan harga telur dan daging ayam. Padahal kedua jenis komoditas tersebut sangat dibutuhkan masyarakat.
Ilustrasinya, peternak di Indonesia sebagian besar adalah peternak kecil yang jarang memiliki gudang penyimpanan jagung dalam jumlah besar. Sehingga, begitu terjadi kekurangan stok akan langsung mempengaruhi harga.
Saat ini harga jagung lokal masih di atas Rp 5.000 per kg, sedangkan harga jagung impor hanya Rp 4.000 per kg. Pemerintah khawatir tanpa impor, harga jagung bisa kembali naik hingga mencapai Rp 8.000 per kg.
Sementara Kementan yakin panen jagung kuartal I-2019 ini cukup besar dan akan mempengaruhi penurunan harga. Berdasarkan angka ramalan Kementan, akan ada produksi sebesar 1,78 juta ton pipilan kering (PK) jagung pada bulan Januari 2019.
Angka produksinya akan meningkat pada bulan depan hingga mencapai 4,8 juta ton dan turun lagi menjadi 3,6 juta ton pada bulan Maret 2019. Adapun kebutuhan jagung diperkirakan sekitar 16 juta ton tahun ini. Sementara tahun lalu kebutuhan jagung nasional mencapai 15,5 juta ton. Perinciannya sebesar 7,76 juta ton untuk pakan ternak, 2,52 juta ton peternak mandiri, 120.000 ton benih, dan sisanya 4,76 juta ton untuk industri pangan.
Jika mengacu pada prediksi Kementan tersebut, rata-rata kebutuhan jagung setiap bulan di tahun ini hanya 1,3 juta ton, masih lebih kecil dibandingkan produksi 1,78 juta ton. Bahkan, bulan depan akan ada jutaan ton produksi jagung yang akan membanjiri pasar.
Namun kontrasnya, Kementan kali ini tak mengambil posisi "menentang". Menurutnya, impor tidak perlu terlalu dipermasalahkan karena volumenya kecil, dan hanya akan digunakan sebagai stok.
Kendati demikian, permasalahan impor tersebut masih menjadi perdebatan antara Kementerian Perdagangan dengan Badan Urusan Logistik (Bulog). Sebagai pelaksana, hingga kini Bulog belum juga menjalankan keputusan impor tersebut.
Ada impor dan ekspor juga
Memang jagung impor banyak diminta karena harganya lebih murah ketimbang produksi lokal. Harga jagung lokal saat ini masih di atas Rp 5.000 per kilogram, sedangkan yang impor hanya Rp 4.000 per kilogram.
Harga jagung impor masih harus ditambah biaya distribusi, sehingga sampai kepada peternak mencapai Rp 4.500 per kilogram. Selesih tersebut sejatinya masih terbilang besar. Namun, sebagaimana posisi Direktur Utama Budi Waseso selama ini?
Bulog masih bersikeras untuk tidak impor, karena produksi jagung lokal yang sebentar lagi memasuki masa panen akan mampu menutup kebutuhan dalam negeri. Dengan memakai data Kementan, tentu dalam waktu dekat stok jagung akan melimpah dan harganya diperkirakan bisa turun kembali.
Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat memperingatkan Bulog agar bisa menyerap jagung produksi petani sebanyak-banyaknya.
Dengan begitu, sebagaimana dinyatakan berkali-kali oleh Budi Waseso kepada awak media, Bulog berkeyakinan bahwa per 24 Januari 2019, Bulog sudah mulai mendapatkan jagung petani di beberapa titik sentra produksi jagung. Salah satunya di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Sekalipun, Budi Waseso tidak menyebut berapa besar volume produksi dari sentra tersebut. Alih-alih impor, Buwas mengatakan Bulog justru mengalokasikan anggaran khusus untuk menyerap hasil panen jagung petani lokal sebanyak-banyaknya. Bulog akan membeli jagung hasil panen petani dengan harga Rp 3.150 per kg. Harga tersebut dinilai ideal dan sudah mengacu pada ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Sungguh dilematis persoalan jagung kita. Posisi Kementan, Kemendag, Kemenko, bahkan Bulog acap kali berbeda-beda. Dan yang lebih membingungkan lagi, pemerintah melakukan impor jagung tapi juga melakukan ekspor komoditas yang sama. Alasan yang terdengar sangat "klise".
Di satu sisi impor dibutuhkan untuk menurunkan harga jagung lokal yang tinggi. Karena diyakini harga jagung yang mahal akan berimbas pada tingginya harga ayam dan telur. Namun di sisi lain, impor malah akan berdampak langsung pada pendapatan dan kelangsungan hidup petani jagung.
Dengan dinamika yang demikian, masalah jagung nampaknya akan terus bergulir selama pemerintah belum bisa membenahi sistem, data produksi, dan data kebutuhan nasional. Kemtan memperkirakan produksi jagung tahun lalu mencapai 30,4 juta ton. Sementara, konsumsinya secara nasional hanya mencapai 18 juta ton, sehingga ada surplus 12,4 juta ton. Masalahnya, Kemtan juga yang sempat meminta persetujuan impor di satu waktu dan mengungkapkan rencana ekspor di waktu yang lain.
Siapa di negeri ini yang tidak bingung dengan kenyataan tersebut? Sepanjang tahun lalu Indonesia mengimpor 731.000 ton jagung. Namun, Indonesia juga mengekspor jagung sebanyak 380.000 ton.
Jika memang ada surplus produksi hingga belasan juta ton dan yang diekspor ratusan ribu ton, seharusnya ada stok yang besar. Stok tersebut bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan peternak dan mengendalikan harga.
Tentunya Indonesia tidak perlu lagi impor jagung. Tapi mengapa pihak-pihak terkait bersepakat untuk membingungkan publik?•
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/ EconAct
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News