kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.306.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memulangkan saham Freeport


Jumat, 29 September 2017 / 16:26 WIB
Memulangkan saham Freeport


| Editor: Tri Adi

Saat ini ihwal keberadaan PT Freeport Indonesia (FI) kembali menyita perhatian publik. Dikabarkan negosiasi PT FI dengan pemerintah Indonesia telah berbuah kesepakatan pada pertemuan Minggu 27 Agustus 2017.

PT FI akhirnya menerima peralihan rezim hukum dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selanjutnya, PT FI bakal membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam jangka lima tahun, selambat-lambatnya selesai Oktober 2022.

Sebenarnya, penerimaan PT FI akan dalam kasus ini bukan sesuatu yang istimewa. Sebab pemerintah Indonesia telah melakukan banyak toleransi kedaulatannya untuk hal tersebut.  

UU No 4/2009 tentang Minerba mulanya mewajibkan urusan smelter selesai di tahun 2014. Lalu diberikan toleransi, karena masih banyak pemegang KK yang belum dapat mematuhi. Di bawah payung hukum PP No. 1/2014 dan peraturan pelaksanaannya, dimungkinkan pemegang KK melakukan ekspor dengan membayar bea keluar, tetapi tetap berkomitmen membangun smelter selambat-lambatnya tahun 2017.

Hingga tutup tahun 2016, ternyata masih banyak juga pemegang KK yang belum memenuhi ketentuan tersebut. Maka tak ayal pada awal 2017 ini sempat terjadi keributan antara pemerintan Indonesia dengan para pemegang KK. PT FI sebagai perusahaan tambang terbesar menjadi sorotan. McMoran Inc yang merasa tak mau kalah mempertahankan kepentingannya, turun gunung.

Rezim KK sejatinya pada tatanan konseptual tidak layak diterapkan bagi negara yang merdeka. Sebab didalamnya terdapat persepsi yang keliru dengan memosisikan pemerintah negara yang berdaulat secara sejajar perusahaan. Dapat dikatakan kedaulatan dalam konteks ini telah tergerus. Namun, karena Indonesia ditimpa keteledoran sejarah, mesti berjuang dengan waktu yang panjang untuk membereskan soal itu.

Sekarang di bawah rezim IUPK, PT FI secara sah dapat dikenakan skema pajak prevailing, yang dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Sebelumnya di bawah rezim KK, PT FI hanya dibebankan pajak dengan skema naildown, tidak berubah-ubah hingga masa kontrak habis. Skema yang terakhir ini jelas tidak cukup menguntungkan bagi penerimaan negara. Sedangkan pendapatan PT FI, kian menjulang.

Kemudian, menginjak ke masalah divestasi. Persoalan masih belum usai, meski telah tercapai kesepakatan divestasi saham PT FI sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia. Rumusan masalahnya adalah apakah pemerintah Indonesia sanggup memulangkan saham 41,64%  dari PT FI tersebut?

APBN sekarang sedang pelik. Dalam APBNP 2017 penerimaan pajak seret, sedangkan pembiayaan utang bertambah. Jika dipaksakan Pemerintah Pusat sebagai penyerap pertama divestasi saham PT FI, pasti akan sangat alot dalam pembahasan di DPR.

Menimbang kondisi, pemerintah tidak mungkin bersikeras menjadi penyerap pertama divestasi. Kita tentu ingat bagaimana Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan pemerintah di zaman pemerintahan SBY ketika pembelian 7% divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara pada tahun 2012 lalu.

Maka sesuai PP No. 1/2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, penawaran saham PT FI sepertinya bakal berlanjut ke pemerintah daerah. Atau, pada prioritas berikutnya ke BUMN, BUMD, dan jenjang terakhir pada swasta nasional.

Menteri BUMN Rini Soemarno, telah memberi sinyal bahwa holding BUMN pertambangan (yang merupakan gabungan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk, dan PT Inalum) berminat mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia.

Menurut versi Kementerian BUMN, nilai aset holding pertambangan mencapai Rp 106 triliun. Jika beranjak dari angka ini, ada kepercayaan diri bagi BUMN untuk mengakuisisi sebagian besar saham PT FI.

Namun jika menimbang data Center for Indonesia Taxation Analysis, nilai aset holding BUMN pertambangan itu apabila digabungkan semua masih sekitar
Rp 58 triliun. Kalau pun seluruh aset mereka dijaminkan, masih belum bisa memperoleh utang sampai Rp 107 triliun.

Dan utang jelas tidak boleh melebihi nilai seluruh aset yang dimiliki. Sehingga jika menumpukan divestasi pada suatu holding BUMN pun kita masih sangsi.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×