| Editor: Tri Adi
Indonesia telah diprediksi berbagai lembaga internasional sebagai salah satu kekuatan utama ekonomi dunia pada tahun 2030. Lantaran punya sejumlah keuntungan antara lain bonus demografi, inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi di kawasan. Apakah semua indikator tersebut cukup?
Prediksi Indonesia sebagai raksasa ekonomi dunia telah dilakukan berbagai pihak sejak lama. Majalah National Geographic (NG) edisi September 1955 pernah menerbitkan liputan tentang Indonesia yang diberi tajuk “This Young Giant, Indonesia” yang dalam sampulnya menampilkan foto Bung Karno, founding father sekaligus Presiden pertama RI.
Liputan dari NG menyebutkan bagaimana saat itu semangat membangun yang luar biasa terjadi di berbagai wilayah dari mulai Aceh hingga Tomohon. Sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar serta semangat gotong-royong yang kuat, menjadi bekal Indonesia menjadi raksasa muda dunia.
Kenyataannya setelah lebih dari 60 tahun liputan NG tersebut tidak terbukti! Indonesia masa kini adalah negara yang sibuk dengan hiruk-pikuk politik lokal, tergopoh-gopoh merajut kebhinekaan dan persatuan nasional, tertatih akibat kasus korupsi dan limbung akibat perdagangan bebas yang salah strategi serta krisis identitas kebangsaan.
Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai prediksi lembaga internasional yang memuji Indonesia. World Bank dalam laporannya tahun 1997 berjudul East Asia Miracle menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi baru Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Terbukti prediksi World Bank tersebut salah total dan setahun setelahnya ekonomi Indonesia terpuruk akibat krisis.
Peringatan dari berbagai pihak terhadap masa depan Indonesia justru seringkali diabaikan. Dalam sebuah diskusi di Universitas Melbourne pada Juli 2016, narasumber kunci Prof. Richard Robison menyampaikan pandangannya bahwa Indonesia tidak akan menjadi raksasa Asia karena kebijakan politik dalam negeri dan watak pengusahanya yang tidak bersifat ekspansionis.
Menurut Robison, kebijakan politik dalam negeri diarahkan untuk mengamankan investasi asing dan kepentingan kelompok bisnis tertentu pada program pembangunan. Upaya untuk mendorong kelompok bisnis itu untuk ekspansi ke luar negeri tidak dilakukan.
Pendapat yang hampir serupa pernah disampaikan Lex Rieffel, pakar ekonomi dan politik, anggota senior di Institute of International Finance, Amerika Serikat pada tahun 2012. Rieffel menyatakan tidak tertarik dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan menyatakan bahwa kemajuan Indonesia hanya merupakan data semu. Selain itu, menurutnya, Indonesia dapat menjadi masalah baru dunia karena tidak mengelola sumber daya alam secara efektif, efisien dan berkelanjutan.
Perlu dipertimbangkan bahwa prediksi Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia dapat menjadi bumerang. Prediksi yang ada dilihat sebagai pendorong semangat sekaligus sarana pengingat bagi seluruh pihak untuk selalu berada pada rel dalam proses pembangunan.
Kesuksesan pembangunan suatu negara sesungguhnya bertumpu pada keseimbangan antara pembangunan yang bersifat tangible dan intangible. Pembangunan yang bersifat tangible lebih pada pembangunan yang bersifat fisik seperti pembangunan infrastruktur dan penyediaan barang modal. Adapun pembangunan yang bersifat intangible mengacu pada pembangunan karakter manusia selaku warga negara baik dari segi pendidikan formal atau informal.
Setelah era Presiden Soekarno, Indonesia lebih menggenjot pembangunan fisik dibandingkan pembangunan karakter manusia. Sayangnya pembangunan bersifat fisik pun tidak berjalan dengan optimal akibat kekosongan dalam pembangunan karakter manusia Indonesia. Sebagian profil karakter manusia Indonesia yang terbentuk terbatas pada meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal tersebut tanpa disadari menjadi penyebab bertaburnya tindak pidana korupsi sebagai wujud nyata pembangunan yang hanya bertumpu pada fisik.
Revolusi mental
Diperlukan komitmen pemerintah untuk mendorong kembali pembangunan karakter manusia Indonesia yang seutuhnya. Tanpa pembangunan karakter tersebut, sulit bagi Indonesia untuk menjadi salah satu negara yang diperhitungkan pertumbuhan ekonominya di kawasan selain menjadi pasar semata.
Tanpa disadari meskipun pencapaian ekonomi era Orde Baru sering dibanggakan, pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi beberapa negara Asia Tenggara sangat cepat dan mengungguli Indonesia yaitu: Singapura, Malaysia dan Thailand. Bahkan Vietnam yang dahulu sangat tertinggal, mulai menyusul Indonesia.
Pembangunan manusia ternyata menjadi modal utama pembangunan ekonomi negara-negara tersebut. Pemerintah perlu mewaspadai bahwa apabila hanya bergantung pada pembangunan fisik dan perdagangan komoditas, secara perlahan Indonesia dapat diungguli berbagai negara yang sebelumnya tertinggal. Nigeria merupakan salah satu contoh negara kaya sumber daya alam namun kondisinya tetap tertinggal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan fisik sangat diperlukan, khususnya bagi daerah tertinggal di Indonesia. Terlebih aksesibilitas juga sangat diperlukan berbagai wilayah untuk menjangkau distribusi barang pokok maupun pemasaran produksi daerah-daerah tersebut. Pemerintahan Presiden Joko Widodo perlu diberi apresiasi terhadap berbagai proyek pembangunan fisik di seluruh kawasan Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah juga wajib membenahi pembangunan non-fisik yang masih minim.
Pembangunan manusia yang di dalam pemerintahan saat ini disebut dengan program revolusi mental perlu diperhatikan keseimbangan dengan pembangunan fisik. Program tersebut masih memerlukan penjabaran di lapangan. Pemerintah harus mendorong program revolusi mental lebih terarah sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Tanpa program pembangunan karakter yang bagus, Indonesia akan kehilangan manfaat dari bonus demografi yang didapatkan. Bonus tersebut dapat menjadi alat ungkit pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tanpa penanganan yang tepat terhadap pembangunan karakter, keuntungan dari bonus demografi akan terlewatkan.
Tantangan tersebut harus mampu dijawab oleh pemerintah meskipun efektifitas program tersebut sangat sulit dalam dua tahun terakhir pemerintahan. Tahun 2018 sarat dengan berbagai macam kegiatan penting berskala raksasa yaitu pemilihan kepala daerah serentak (pilkada), Asian Games dan pertemuan tingkat tinggi IMF/World Bank.
Demikian pula dengan tahun 2019 yang merupakan tahun puncak politik nasional. Meskipun demikian, program revolusi mental tetap harus dilanjutkan hingga tuntas. Program tersebut berpotensi menjadi legacy dari pemerintahan saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News