Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Salah satu kerentanan yang melekat di pasar keuangan Indonesia sekarang ini adalah masih dominannya kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN). Sebagai gambaran saja, sampai dengan separuh pertama tahun ini, kepemilikan asing di SBN sudah mencapai 37,02% dari total SBN atau Rp 827,56 triliun. Persentase kepemilikan ini memang sudah menurun ketimbang akhir tahun 2017 yang mencapai 38,84% atau sebesar Rp 836,15 triliun.
Kendati menurun, kepemilikan asing di obligasi pemerintah itu ternyata masih terbilang tinggi ketimbang negara-negara lain, terutama di kawasan ASEAN. Mengutip Laporan Asian Development Bank per Juni 2018, kepemilikan asing di obligasi pemerintah di Malaysia dan Thailand posisi pada triwulan I 2018 masing-masing sebesar 28,9% dan 15,2%. Sementara di Jepang, per Desember 2017 kepemilikan asing tercatat lebih rendah lagi, yaitu di kisaran 10% saja.
Selama ini kerentanan tersebut seringkali menimbulkan gejolak nilai tukar, kekeringan likuiditas perbankan dan defisit neraca modal. Ini terjadi terutama ketika dipicu oleh faktor eksternal. Seperti kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), kenaikan yield US Tresury dan adanya gejolak pasar keuangan global. Faktor eksternal tersebut mengakibatkan investor portofolio global secara berjamaah langsung angkat kaki dari pasar SBN kita, sehingga terjadilah arus modal keluar (capital outflows).
Imbasnya tentu saja nilai tukar rupiah akan tertekan dan terdepresiasi. Lalu pelemahan rupiah pada putaran berikutnya akan berimplikasi luas pada kegiatan ekonomi kita seiring dengan ketergantungan industri yang tinggi pada bahan baku dan barang modal impor. Kita mengalaminya sewaktu terjadi krisis keuangan global tahun 2008-2009 misalnya. Gejolak yang sama menerpa lagi ketika The Fed berencana mengakhiri program quantitative easing-nya (taper tantrum) pada Mei 2013. Dan akhir-akhir ini kita kembali menghadapi hal itu lagi.
Memperbanyak SBN Ritel
Agar mengurangi kerentanan tersebut sekaligus menjadikan struktur pasar keuangan yang tahan terhadap gejolak, selain memperdalam basis investor domestik kelas kakap ataupun investor institusi, pemerintah juga perlu memperluas investor domestik sampai ke kelas ritel. Maka itu, program Yuk Nabung Saham yang digaungkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak November 2015 untuk meningkatkan porsi investor domestik dapat ditiru pemerintah saat ini dengan menjadi program yang serupa, yakni Yuk Nabung SBN Ritel.
Selain berdampak positif pada perbaikan kondisi kerentanan di pasar keuangan kita, sudah pasti sebagai pemegang SBN, masyarakat domestik akan diuntungkan. Pasalnya kupon SBN lumayan tinggi ketimbang rata-rata suku bunga deposito bank.
Misalnya saja, SBR004 yang dijual di Agustus 2018 September 2018 memberikan kupon sebesar 8,05%, sedangkan suku bunga deposito bank masih di kisaran 5% sampai 6%. Alhasil sudah sewajarnya rakyat Indonesia sendirilah yang menikmati tingginya return SBN tersebut.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah, dengan membeli SBN masyarakat turut serta mendukung pembiayaan pembangunan nasional.
Sejatinya upaya memperbanyak investor ritel sudah disadari dan telah dilakukan pemerintah sudah cukup lama. Diawali dengan produk Obligasi Ritel Indonesia (ORI) pada tahun 2006 dengan seri ORI001, kupon 12,05% jangka waktu tiga tahun dan dana yang diperoleh mencapai sebesar Rp 3,28 triliun.
ORI selanjutnya rutin terbit terakhir pada Oktober 2017 seri ORI014 dengan perolehan dana mencapai Rp 8,95 triliun. Selain ORI, pemerintah juga mengeluarkan saving bonds retail (SBR) yang mulai dikeluarkan pada Mei 2014 dengan seri SBR001.
Berbeda dengan ORI, SBR merupakan SBN ritel yang tidak dapat diperdagangkan (non tradable) dan suku bunganya mengambang mengikuti perkembangan suku bunga Bank Indonesia seven day repo rate alias 7DRR ditambah spread yang tetap sebesar 255 basis poin (bps).
Walaupun non tradable, masyarakat pemegang SBR tidak perlu khawatir jika membutuhkan dana segar. SBR memiliki fitur dapat dijual lebih cepat (early redemption) sebesar 50% di tahun pertama.
Terakhir pemerintah berhasil menjual SBR003 secara online mencapai Rp 1,93 triliun pada Mei 2018. Penjualan tersebut cukup sukses. Pasalnya, jumlah itu hampir dua kali lipat dari target indikatif awal sebesar Rp 1 triliun.
Dan jika tidak ada aral melintang, bertepatan dengan bulan Kemerdekaan Indonesia ke-73, pemerintah Indonesia kembali akan mengeluarkan SBN ritel seri SBR004 dengan kupon yang cukup tinggi mencapai 8,05%.
Tidak hanya itu, pemerintah juga menerbitkan SBN ritel syariah yakni sukuk ritel (sukri) dan sukuk tabungan. Sukri mulai dikeluarkan sejak 2009 dan terakhir dikeluarkan pada Maret 2018 seri SR010 dengan perolehan dana mencapai Rp 8,44 triliun. Sedangkan sukuk tabungan mulai dikeluarkan pada September 2016 seri ST001 dengan perolehan dana mencapai Rp 2,52 triliun.
Namun persoalannya, SBN ritel belum begitu masif diterbitkan pemerintah. Mengutip data Kementrian Keuangan, sampai tanggal 13 Agustus 2018, investor ritel hanya memegang Rp 114,5 triliun, terdiri dari ORI sekitar Rp 56,08 triliun, sukri Rp 53,97 triliun, sukuk tabungan Rp 2,52 triliun dan SBR sebesar Rp 1,93 triliun.
Jumlah tersebut baru mencapai 3,28% dari total outstanding SBN yang tercatat Rp 3.492,31 triliun. Sementara di tahun 2018, pemerintah baru menerbitkan SBN ritel sebanyak Rp 10,37 triliun, terdiri dari SR010 sekitar Rp 8,44 triliun dan SBR003 Rp 1,93 triliun.
Oleh karena itu, tampaknya pemerintah perlu lebih giat lagi mengeluarkan SBN ritel baik itu ORI, Sukri maupun SBR agar dapat mendukung program Yuk Nabung SBN Ritel.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu mengupayakan pasokan dollar Amerika Serikat(AS) melalui peningkatan ekspor sebagai substitusi peran investor asing. Ekspor akan menjadikan ketersediaan dollar AS lebih sustain, selain dapat mencegah krisis nilai tukar.•
Ardhienus
Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News