kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menakar potensi belanja perpajakan


Senin, 12 November 2018 / 14:21 WIB
Menakar potensi belanja perpajakan


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Reformasi perpajakan terus bergulir di Tanah Air. Untuk kali pertama, pemerintah merilis laporan belanja perpajakan (tax expenditure report) pada narasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU APBN pada akhir Oktober lalu.

Gagasan belanja perpajakan di Indonesia sejatinya sudah muncul sejak tahun 2014. Kebutuhan akan publikasi Laporan Belanja Perpajakan berawal dari internal Kementerian Keuangan. Dari luar, tekanan atas publikasi Laporan Belanja Perpajakan datang dari negara-negara yang menjalin pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Per definisi, belanja perpajakan adalah penerimaan pajak yang hilang atau berkurang, sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum berlaku. Konsep ini sangat relevan untuk kasus Indonesia yang tengah gencar meluncurkan insentif fiskal.

Berbagai macam insentif fiskal membawa dua dampak sekaligus. Pertama, pemberian insentif fiskal akan meningkatkan investasi yang kemudian menciptakan efek pengganda bagi kegiatan ekonomi. Pada gilirannya, mata rantai aktivitas ekonomi sektoral dan regional turunannya pun akan terangkat.

Kedua, penerimaan pemerintah dari pos perpajakan kemungkinan besar akan anjlok. Alhasil, dampak kedua ini memberikan implikasi yang tidak ringan dalam pencatatannya. Sementara itu efek dampak pada pertumbuhan ekonomi tidak seketika terdeteksi dalam satu tahun, penerimaan perpajakan harus dilaporkan secara tahunan.

Oleh karenanya, perpajakan selama ini masih dipandang hanya sebagai penerimaan (revenue). Akibatnya, laporan perpajakan yang disajikan dalam APBN pun juga hanya memuat satu aspek. Setali tiga uang, belanja negara yang dibiayai dari penerimaan pajak juga mengandung satu aspek yang parsial.

Harus diakui pula, banyak undang-undang perpajakan di Indonesia termaktub dualitas. Undang-Undang PPh, UU PPN, dan UU Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta aturan pelaksanaan turunannya mencantumkan beberapa pengecualian yang mengakibatkan tidak diterimanya pembayaran pajak.

Pengakuan atas pembayaran pajak yang tidak jadi diterima menjadi belanja perpajakan tentu saja sangat konstruktif dalam membangun ekosistem anggaran yang lebih baik. Pendekatan belanja perpajakan akan mampu meminimalisasi bahkan mengeleminasi penghitungan pajak yang bermuara pada stabilitas APBN.

Potensi pajak belum tergali

Kendati memiliki tujuan yang positif, terbitnya laporan belanja perpajakan tidak luput dari sejumlah persoalan. Problema mendasar adalah suboptimalitas pajak. Artinya, makna laporan belanja perpajakan akan menjadi jauh lebih konkret apabila cakupan pajak (tax coverage) telah mencapai level optimal.

Kondisi di atas mirip dengan ekonomi bawah tanah (underground economy). Output kegiatan ekonomi bawah tanah tidak tercatat dalam statistik resmi. Hasil estimasi terhadap ukuran (size) ekonomi bawah tanah selalu diyakini hanya sebagai gunung es di lautan, kecil yang terlihat tetapi di dalamnya jauh lebih besar.

Analogi di atas agaknya tidak terlalu meleset. Pada 2017, rasio antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) mencapai 10,8% yang menjadi angka terendah di ASEAN. Pada tahun yang sama, perkiraan belanja perpajakan senilai Rp 154,7 triliun atau sekitar 1% dari PDB. Jika diperbandingkan, besaran belanja perpajakan ternyata lebih tinggi daripada kekurangan (shortfall) penerimaan pajak tahun 2017 yang sebesar Rp 132,4 triliun. Indikator di atas memunculkan perbedaan penafsiran.

Rendahnya rasio pajak kemungkinan terkait dengan kecilnya penerimaan pajak yang belum tergali lantaran besarnya status informal. Kemungkinan lain, pemerintah memang mengikhlaskan untuk tidak menerima pembayaran pajak. Meski sama-sama kehilangan penerimaan, perbedaan intepretasi memberikan implikasi kebijakan yang berbeda pula.

Lain halnya, jika skala perpajakan sudah mencapai titik optimal misalkan 15% pemangku kepentingan akan bisa memperkirakan antara penerimaan pajak yang hilang dan potensi penerimaan pajak yang masih bisa diraih. Informasi ini penting sebagai bekal dalam mengukur risiko fiskal (fiscal risk).

Pemilihan maraknya insentif fiskal sebagai momentum untuk merilis belanja perpajakan juga kurang pas. Belanja perpajakan tidak selalu harus dikaitkan dengan insentif pajak. Kebijakan perpajakan yang bersifat permanen (alih-alih insentif yang temporer) juga menghendaki adanya perhitungan belanja perpajakan yang rinci.

Aspek simetrisitas juga memperoleh catatan. Kehilangan penerimaan akibat kebijakan perpajakan akan terkompensasi oleh peningkatan potensi basis pajak baru dalam jangka menengah. Dengan logika yang sama, kelebihan penerimaan perpajakan sebagai akibat implementasi kebijakan yang di atas ketentuan umum semestinya juga harus tercakup.

Cacatan tersendiri juga patut disematkan pada respon masyarakat. Efektivitas kebijakan akan terpulang pada sikap masyarakat atas insentif yang diberikan. Jika masyarakat masih menganggap insentif condong sebagai bentuk bantuan yang langsung diterima, kenaikan belanja pemerintah menjadi solusi yang mujarab.

Sebaliknya, jika masyarakat sudah bisa menerima insentif dalam format pengurangan beban dari yang semestinya harus mereka bayar, kenaikan belanja perpajakan dalam narasi APBN menjadi sinyal awal yang positif. Artinya, ekspektasi terhadap misi insentif bakalan tercapai.

Dengan konfigurasi problematika di atas, laporan belanja perpajakan tidak selayaknya dimaknai sebagai justifikasi atas kekurangan pajak apalagi alibi terhadap rendahnya rasio pajak. Selama optimalisasi perpajakan belum tercapai, selama itu pula laporan belanja perpajakan sebatas pada angka yang hanya ada di atas kertas saja.

Padahal jika prasyarat di balik laporan belanja perpajakan sudah terpenuhi, kemanfaatan laporan belanja perpajakan bisa jauh melampaui ongkos penyusunannya. Pada akhirnya, publikasi belanja perpajakan bisa menjadi sarana edukasi yang efektif urgensi perpajakan dalam pembiayaan pembangunan.•

Haryo Kuncoro
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×