kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menakar potensi penurunan bunga bank


Senin, 22 Januari 2018 / 16:39 WIB
Menakar potensi penurunan bunga bank


| Editor: Tri Adi

Menarik menyimak pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat membuka perdagangan saham awal tahun 2018 di Bursa Efek Indonesia. Dalam sambutannya, Wapres menyampaikan harapannya agar suku bunga perbankan dapat turun secara bertahap di tahun 2018.

Dengan suku bunga yang semakin menyusut, investasi di sektor riil diharapkan semakin bergairah. Tanpa suku bunga yang murah, niscaya roda perekonomian akan berputar lambat dan biaya ekonomi menjadi mahal.

Jika menelisik ke belakang, keinginan pemerintah tersebut bukanlah wacana baru. Sejak awal 2015, Presiden Jokowi sering kali menyampaikan cita-cita serupa. Presiden bahkan secara spesifik menargetkan suku bunga kredit perbankan lebih rendah dari 10%  atau single digit.

Tidak sekadar berwacana, pemerintah sendiri telah merealisasikan kebijakan penurunan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR). Pemerintah tercatat telah tiga kali menurunkan suku bunga KUR, yaitu  dari 12% pada Juli 2015, 9% pada Januari 2016 dan 7% pada Januari 2018.

Sejatinya, industri perbankan akan memasuki era pasar bebas ASEAN tahun 2020. Sangatlah wajar jika pemerintah berharap perbankan domestik terus berbenah diri dan melakukan efisiensi untuk memenangkan persaingan. Salah satu agenda tugas yang harus diselesaikan ialah penyesuaian tingkat suku bunga yang lebih kompetitif.

Dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, suku bunga perbankan Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi. Suku bunga kredit di Malaysia, Thailand dan Filipina berkisar 6%-7%, sedangkan Indonesia masih 10%-13%. Sebagai pasar terbesar di ASEAN, sudah pasti kita semua berharap agar perbankan Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

Meskipun belum menyentuh level satu digit, namun kabar baiknya ialah suku bunga perbankan Indonesia terus menunjukkan tren penurunan sepanjang tahun 2017. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), suku bunga kredit bank umum per Oktober 2017 telah menyusut sebesar 0,4%-0,7% dibanding dengan akhir tahun 2016. Kondisi ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang telah menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRRR) sebesar 0,5% sepanjang 2017 menjadi 4,25%.

Walaupun memiliki korelasi positif, namun kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga bank. Pada praktiknya kebijakan BI 7DRRR memerlukan waktu (time lag) untuk direspon oleh perbankan. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI 7DRRR biasanya akan berjalan lambat.

Tiga pekerjaan rumah

Setidaknya, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memastikan tren penurunan suku bunga kredit terus berlanjut di 2018.

Pertama, menjaga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil. Secara teori, suku bunga kredit akan turun jika suku bunga simpanan turun dan suku bunga simpanan akan turun jika tingkat inflasi juga menurun. BPS mencatat tingkat inflasi nasional tahun 2017 sebesar 3,61% atau jauh lebih rendah ketimbang inflasi tahun 2013 dan 2014 yang mencapai di atas 8%.

Melihat pergerakan harga minyak yang terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir, serta proyeksi kenaikan harga komoditas oleh Bank Dunia, Bank Indonesia memperkirakan kenaikan harga minyak dan harga pangan akan menjadi tantangan pengendalian inflasi 2018. Kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi inti harus didukung dengan kerja sama Tim Pengendalian Inflasi Nasional dan Daerah untuk mengendalikan inflasi volatile foods dan administered price.

Kedua, mendorong efisiensi operasional perbankan. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) perbankan per Oktober 2017 tercatat sebesar 78% atau lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 81%. Kabar angin segar berhembus dari Bank Indonesia pasca dirilisnya kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional. Dengan hadirnya beleid ini, perbankan dapat saling bekerja sama untuk membiayai pengadaan infrastruktur sistem pembayaran, seperti mesin ATM dan EDC seiring adanya sistem interkoneksi dan interoperabilitas. Dengan prinsip ekonomi berbagi (sharing economy), biaya operasional perbankan dapat ditekan. Konsekuensi logisnya ialah ruang penurunan suku bunga kredit semakin terbuka.

Ketiga, meningkatkan likuiditas perbankan. Likuiditas perbankan saat ini lebih longgar dibandingkan tahun sebelumnya. Rasio loan to deposit ratio (LDR) turun dari 91% pada Oktober 2016 menjadi 89% setahun berselang.

Sesuai hukum ekonomi, tingkat bunga akan turun jika permintaan dana menurun atau penawaran dana meningkat. Penurunan permintaan dana tentu bukanlah hal yang diinginkan karena kondisi ini mencerminkan geliat dunia usaha yang sedang lesu. Di sisi lain, kenaikan penawaran dana dapat terwujud melalui kenaikan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).

Potensi penghimpunan DPK masih terbuka lebar. Indeks inklusi keuangan perbankan 2016 sebesar 64%. Artinya, baru 6 dari 10 orang yang memiliki akses terhadap jasa perbankan. Melihat peluang yang masih besar, tidak mengherankan jika beberapa bank menyampaikan rencananya untuk lebih mengoptimalkan layanan digital banking dan branchless banking di 2018 demi menjangkau nasabah baru.

Yang terkini, program inklusi keuangan semakin meluas didukung oleh tren transaksi non tunai yang makin marak di kalangan masyarakat. Kewajiban pembayaran menggunakan kartu elektronik di jalan tol, penyaluran bantuan sosial secara non tunai dan pengembangan sistem  e-government menjadi sedikit contoh bagaimana tren transaksi nontunai diimplementasikan. Dengan sistem non tunai, masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki rekening tabungan bank mau tidak mau dipaksa untuk mulai membuka diri terhadap layanan jasa perbankan.

Di atas kertas industri perbankan kita saat ini masih on the track untuk menurunkan suku bunga jika mempertimbangkan ketiga faktor tersebut. Namun, kita tetap perlu mewaspadai sejumlah faktor risiko, yaitu rencana kebijakan bank sentral Amerika untuk menaikan suku bunga Fed Fund Rate, normalisasi neraca The Fed dan tax reform oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Gejolak eksternal ini berpotensi memicu aliran dana keluar dan pelemahan rupiah bila tidak diantisipasi sejak dini. Jika demikian, perbankan domestik kemungkinan menyesuaikan diri dengan menaikkan suku bunga.                   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×