kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menakar risiko 2019


Jumat, 28 Desember 2018 / 19:44 WIB
Menakar risiko 2019
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - Kamis, (20/12) ada kabar sedikit menggembirakan dari otoritas moneter di Kebon Sirih. Bank Indonesia (BI) tak mengubah suku bunga acuan, BI 7 Day Repo Rate sehingga bertahan di level 6%.

BI memilih tak reaktif merespon kebijakan moneter ketat dari bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, yang mengerek suku bunga The Fed Fund Rate sebesar 25 basis point menjadi 2,25%-2,5%.

Memang kondisi perekonomian Indonesia saat ini tak sekencang di Amerika Serikat. Laju inflasi Indonesia hingga akhir November 2018 juta terlihat landai-landai saja, yakni sebesar 3,23%. Artinya saat suku bunga acuan tetap 6%, artinya suku riil yang diterima oleh masyarakat masih ada di kisaran 2,77%.

Pertimbangan lain, kurs rupiah dalam beberapa pekan terakhir juga masih sejuk dan cenderung menguat. Jika beberapa waktu lalu sempat jeblok ke Rp 15.000 per dollar AS, sejak awal Desember 2018 relatif stabil di kisaran Rp 14.252-Rp 14.617 per dollar AS.

Memang yang masih mengkhawatirkan adalah posisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Seperti kita tahu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan per November 2018 defisit mencapai US$ 2,05 miliar, lebih besar ketimbang defisit  Oktober 2018 sebesar US$ 1,77 miliar. 

Sampai kapan Indonesia bisa membalik angka defisit neraca perdagangan menjadi surplus, tidak ada yang tahu. Upaya menekan impor seperti impor bahan bakar minyak (BBM) dengan cara wajib mencampur solar dengan bahan bakar nabati (B20), belum menunjukkan hasil. Impor solar masih saja melonjak tinggi November lalu.

Upaya menarik investasi asing juga perlu dipertanyakan efektifitasnya. Misalnya investasi pabrik otomotif yang bertujuan menggarap pasar mobil di dalam negeri, jelas tak menghasilkan devisa ekspor. Demikian juga investasi asing yang rame-rame masuk industri e-commerce, hasil akhirnya memudahkan e-commerce kita untuk mengimpor barang murah yang kadang tak berkualitas dari luar negeri.

Kementerian Perdagangan menyebut 90% produk yang dijual-belikan di e-commerce adalah produk impor. Celakanya banyak pedagang e-commerce yang langsung mengirimkan barang dari luar negeri ke konsumen Indonesia, sehingga tak mudah bagi bank sentral memantau berapa kebutuhan devisa untuk menjaga stabilitas rupiah. Risiko-risiko seperti inilah yang mungkin tak bisa diantisipasi dengan mengetatkan kebijakan moneter 2019. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×